FILSAFAT KAUM SOFIS, SOCRATES, PLATO, DAN ARISTOTELES
A.
Kaum
Sofis
Sebelum abad ke-5 sebutan “Sofis” (sophistes) belum
digunakan untuk menyebut para kaum Sofis. Sebelum abad ke-5 arti istilah itu
adalah “seorang yang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam
bidang tertentu”. Istilah ini sering diartikan “sarjana” atau “cendekiawan”.
Herodotos memakai nama sophistes untuk Pythagoras. Pengarang Yunani yang
bernama Androtion (abad ke-4 SM) menggunakan nama ini untuk menunjukkan
“ketujuh orang bijaksana” dari abad ke-6 dan Sokrates. Lysias, ahli pidato
Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 memakai nama ini untuk Plato.
Pada abad ke-4 para “sarjana” atau “cendikiawan” bukan lagi disebut “sofis”
akan tetapi “filosofos” (philosophos), sedangkan nama sophistes khusus dipakai
untuk guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota untuk mengajar dan memainkan
peranan penting dalam masyarakat Yunani. Akhirnya sebutan “Sofis” menjadi suatu
sebutan yang tidak harum lagi, karena seorang Sofis adalah “orang yang menipu
orang lain dengan memakai alasan-alasan yang tidak sah”. Para guru yang
bekeliling tersebut dituduh sebagai orang-orang yang meminta uang bagi ajaran
mereka.
Kaum Sofis muncul pada pertengahan abad ke-5 SM.
Beberapa orang filsuf sofis yang terkenal tidak berasal dari Athena, namun
semua nya pernah mengunjungi dan berkarya di Athena.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya kaum
Sofis, yaitu:
1.
Perkembangan
secara pesat kota Athena dalam bidang politik dan ekonomi.
2.
Setelah
kota Athena mengalami keramaian penduduknya yang bertempat tinggal, maka
kebutuhan dalam bidang pendidikan tidak terelakkan lagi desakan kaum
intelektual.
3.
Karena
pemukiman perkotaan bangsa Yunani biasanya terletak di pantai, kontak dan
pergaulan dengan bangsa lain tidak dapat dihindari lagi.
Salah satu tokoh Sofisme adalah Gorgias (480-380).
Gorgias inilah tokoh Sofisme yang paling banyak muridnya, walaupun masih banyak
lagi tokoh yang kecil, misalnya Hippias, Prodikos, Kritias. Menurut pendapat
Gorgias yang penting dalam bagaimana dapat meyakinkan orang lain agar menerima
pendapat kita, dengan demikian dalam berdebat bukan mencari kebenaran, tetapi
bagaimana memenangkan perdebatan. Pemikiran yang penting meliputi:
a)
Mencari
keterangan tentang asal-usul yang ada.
b)
Bagaiman
peran manusia sebagai makhluk yang mempunyai kehendak berfikir karena dengan
kehendak berfikir itulah manusia pengetahuan yang nantinya akan menentukan
sikap hidupnya.
Karyanya yang terkenal adalah “Tentang alam atau
tentang yang tidak ada”. Ia adalah seorang nihilis. Baginya, tiada satu pun
yang ada. Seandainya ada sesuatu, sesuatu itu tidak dapat dikenal. Seandainya
sesuatu itu dapat dikenal, pengetahuan itu tidak dapat disampaikan kepada orang
lain. Selanjutnya Sofisme berkembang ke jurusan yang ditentukan oleh Gorgias,
yaitu cenderung kepada nihilisme.
Penilaian orang terhadap kaum Sofis ini berbeda-beda,
ada yang berpendapat bahwa kaum Sofis itu menguntungkan dan ada juga yang
berpendapat bahwa kaum Sofis itu hanya merusak saja.
Hal terpenting munculnya Sofisme ini adalah mempunyai
peran sangat penting dalam rangka menyiapkan kelahiran pemikiran filsafat
Yunani klasik yang dipelopori Socrates, Plato, Aristoteles.
B.
Sokrates
1.
Riwayat
Hidup
Sebenarnya tidak ada yang tahu persis bilamana
Sokrates dilahirkan. Akan tetapi yang jelas, bahwa pada tahun 399 ia dijatuhi
hukuman mati dengan harus meminum racun. Oleh karena itu, pada waktu itu ia
berumur 70 tahun, yang kemudian dikurangkan dengan tahun kematiannya. Maka jika
dilihat umurnya itu barangkali ia dilahirkan pada tahun ± 470 SM. Dan
kemungkinan ia itu berasal dari keluarga yang kaya, yang kemudian menjadi
miskin.
Sokrates dilahirkan di Athena, bisa dikatakan bahwa
dia menjalani sebagian besar hidupnya di alun-alun dan pasar-pasar untuk
berbicara dengan orang-orang yang ditemuinya disana. Dia juga dapat tenggelam
dalam pemikiran selama berjam-jam tanpa henti.
Sokrates, bisa dikatakan adalah tokoh paling misterius
dalam sejarah filsafat. Sokrates tidak pernah menuliskan pemikirannya bahkan
sebaris pun, namun dia menjadi salah seorang filosof yang memiliki pengaruh
paling besar dalam pemikiran filsafat kemudian. Bahkan bisa dikatakan filsafat
memulai babak baru pada masa sokrates.
2.
Sokrates
dan Kaum Sofis
Sokrates dan Kaum Sofis hidup pada rentang waktu yang
sama, tapi mengapa Sokrates tidak dikatakan sebagai seorang Sofis, karena
Sokrates berbeda dengan Kaum Sofis. Perbedaan mendasar dan paling penting
adalah bahwa Sokrates tidak pernah menganggap dirinya sebagai seorang sofis
(orang yang pandai dan bijaksana ), melainkan sebagai seorang yang mencintai
kebijaksanaaan.
Disini, dapat kita lihat perbedaaan besar antara
seorang Sofis dan Sokrates. Jika seorang Sofis menuntut bayaran untuk apa yang
mereka ajarkan, sedangkan Sokrates tidak, jika kaum Sofis menganggap dirinya mengetahui
segalanya, maka sebaliknya Sokrates menganggap dirinya tidak mengetahui
apa-apa. Sokrates berbeda dengan seorang Sofis, meskipun mereka hidup sezaman.
Sokrates juga menentang pendapat para Sofis dalam
pendapat mereka tentang relativisme. Jika para Sofis berkeyakinan relativisme,
Sokrates sebaliknya menurut Sokrates ada kebenaran yang objektif, yang tidak
tergantung pada saya atau pada kita penjelasan tentang ini akan dibahas lebih
dalam, dalam penjelasan tentang ajaran Sokrates.
Sekilas cerita tentang Sokrates, pada suatu hari,
salah seorang sahabat Sokrates pernah bertanya kepada Dewata Delphol, apakah
ada orang yang lebih bijaksana daripada sokrates ? Dewata tersebut menjawab:
bahwa tidak ada orang yang lebih bijaksana daripada Sokrates. Sokrates terkejut
dan tidak percaya dengan jawaban dewata itu. Sokrates kemudian mulai mencari
tahu tentang hal itu.
Sebenarnya dia mencari tahu dengan tujuan, untuk
membuktikan bahwa jawaban dewata itu salah, Sokrates kemudian bercakap-cakap
dengan para negarawan dengan maksud menunjukkan bahwa mereka lebih bijaksana
daripada dia sendiri. Orang tersebut memang dipandang bijaksana oleh banyak
orang dan mereka sendiri pun berkeyakinan bahwa mereka itu bijaksana. Namun
dari percakapan-percakapan yang telah Sokrates lakukan dia tidak menemukan
jawaban yang pas dan Sokrates juga menemukan bahwa mereka itu tidak bijaksana.
Kemudian Sokrates pergi pada para penyair, tukang-tukang dengan tujuan yang
sama, tapi hasilnya sama. Oleh karena itu Sokrates kemudian menarik kesimpulan
bahwa dia lebih bijaksana dari mereka semua. Sokrates lebih bijaksana karena
dia menyadari bahwa ia tidak bijaksana.
3.
Ajaran-Ajaran
Sokrates
a.
Cara
Pengajaran Sokrates
Sebelum kita memasuki ajaran Sokrates sebelumnya mari
kita bahas dulu bagaimana cara pengajaran Sokrates. Cara pengajaran Sokrates
itu sangat berbanding terbalik dengan cara pengajaran seorang Sofis , yang
hanya satu arah saja dari Sofis itu pada orang yang diajarkannya, dimana cara
pengajaran ini adalah cara pengajaran yang dapat kita temukan dari zaman dahulu
sampai zaman sekarang. Sokrates tidak seperti itu, dia tidak ingin menggurui
orang tapi dia memberi kesan bahwa dia ingin belajar dari orang yang diajak
berdialog olehnya.
Cara pengajaran Sokrates ini disebut Dialektika, dalam
pengajaran ini dialog memegang peranan yang penting, dia memulai dialog
tersebut dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seakan-akan dia tidak
mengetahui apa-apa. Dan dengan cara itu dia berhasil membuat lawan bicaranya
mengakui kelemahan argumen mereka, yang membuat mereka menyadari apa yang benar
dan apa yang salah.
Sebutan lain untuk cara pengajaran Sokrates adalah
Maieutika yaitu seni kebidanan, karena dengan cara ini Sokrates memposisikan
dirinya sebagai seorang bidan. Mengapa disebut seni kebidanan? Karena menurut
Sokrates dia tidak melahirkan sendiri anak itu melainkan ia hanya membantu
orang-orang itu melahirkan wawasan yang benar, dan Sokrates meyakini bahwa
pemahaman sejati itu timbul dari dalam diri seseorang itu sendiri, hal itu
tidak bisa ditanamkan oleh orang lain. Pemahaman sejati itulah yang dapat
membawa kita pada wawasasn yang benar.
b.
Inti
Ajaran Sokrates
Menurut Sokrates, bahwasanya pengertian dari etika
atau intisari dari etika yaitu budi, yang berarti tahu. Orang yang tahu dengan
sendirinya berbudi baik. Sebagai contoh, apabila seseorang telah mengetahui
tentang kebenaran adanya kenikmatan surga dan siksa neraka, maka sudah pasti ia
akan mengikuti jalan ajaran Tuhannya untuk memperoleh kenikmatan tersebut. Dan
hanya orang-orang yang tidak mempercayai adanya kenikmatan surga dan siksa
nerakalah yang enggan untuk melaksanakan aturan dari Tuhannya yang dapat
membawanya kepada kenikmatan surga tersebut. Akan tetapi ia malahan melakukan
tindakan yang dilarang oleh Tuhannya dan meninggalkan perintah dari Tuhannya.
Sedangkan paham etika Sokrates selanjutnya yaitu
kelanjutan daripada metode-metodenya. Selanjutnya, siapa yang mengetahui hukum
mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Tak mungkin ada
pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi berdasar atas
pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari.
Dari ucapan itu nyatalah bahwa ajaran etika Sokrates
intelektual sifatnya. Selain dari itu juga rasional. Apabila budi adalah tahu,
maka tak ada orang yang sengaja atas maunya sendiri berbuat jahat.
Kedua-duanya, budi dan tahu itu saling berhubungan. Apabila budi adalah tahu,
berdasarkan timbangan yang benar, maka “jahat” hanya datang dari orang yang
tidak tahu, orang yang tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang
benar. Orang yang kesasar adalah korban daripada ketidak tahuannya sendiri.
Kesasar bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas
maunya sendiri.
Menurut Sokrates, manusia itu pada dasarnya baik.
Seperti segala barang yang ada itu mempunyai tujuan, begitu juga hidup manusia.
Apa misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya. Begitu juga dengan manusia.
Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
Dari pandangan etika yang rasional itu Sokrates sampai
kepada sikap hidup, yang penuh dengan rasa keagamaan. Menurut keyakinannya,
mendapatkan kezaliman lebih baik dari berbuat zalim. Sikap itu diperlihatkannya
dengan kata dan perbuatannya, dalam pembelaannya di muka hakim. Sokrates adalah
orang yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut wujud yang
tertentu. Hal itu katanya adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada Tuhan
dipercayakannya segala-galanya yang tak dapat diduga oleh otak manusia. Jiwa
manusia itu dipandangannya bagian daripada Tuhan yang menyusun alam. Sering
pula dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasai sebagai suara dari dalam, yang
menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya.
Sokrates tidak memberikan suatu sistim dan tidak
meninggalkan tulisan dari ajarannya sedikitpun, maka sangat susah untuk
memperjelas ajaran Sokrates yang sebenarnya. Akan tetapi, sebagaimana yang kami
temukan di dalam sebuah buku referensi kami, barangkali ajarannya dapat
dirangkum sebagai berikut: “Jiwa manusia bukan hanya nafasnya, akan tetapi asas
hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa itu adalah inti sari
manusia, hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena
jiwa itu inti sari manusia, maka manusia wajib mengutamakan kebahagiaan
jiwanya, itulah yang disebutnya daimonion atau eudaimonia.” Bukan dia saja yang
begitu katanya. Semua orang dapat mendengar suara daimonion itu dari dalam
jiwanya, apabila ia mau. Daimonion yang dimaksud disini adalah suara hati atau
fitrah.
Menurut Sokrates, alat untuk mencapai eudaimonia atau
kebahagiaan adalah kebajikan atau keutamaan (arete). Kebajikan atau keutamaan
di sini bukan diartikan secara moral, akan tetapi secara yang lebih luas
daripada itu. Sebagaimana contohnya, kebajikan atau keutamaan seorang pemotong
rumput ialah kebajikan dan keutamaan yang menjadikan pemotong rumput itu
menjadi pemotong rumput yang baik dan handal, karena ia telah menguasai
pekerjaannya itu dengan baik, karena ia mempunyai keahlian dalam bidang itu.
Demikian juga dengan kebajikan atau keutamaan seorang dokter, seorang petani dan
lainnya. Pendirian Sokrates yang terkenal adalah: “Keutamaan adalah
Pengetahuan”. Kebajikan atau keutamaan di bidang hidup yang baik, pasti akan
menjadikan hidup menjadi lebih baik. Hidup baik berarti: mempraktekkan
pengetahuannya itu di dalam kehidupannya yang lebih baik. Jadi, baik atau
jahatnya seseorang tergantung pada pengetahuannya, bukan kemauannya. Tidak
mungkin orang dengan sengaja melakukan kesalahan. Karena kalau orang itu
melakukan kesalahan, berarti orang itu tidak berpengetahuan tentang itu.
Oleh karena itu, kebajikan atau keutamaan adalah
pengetahuan tentang yang baik, dan yang baik itu hanya ada satu dan bersifat
menyeluruh. Jadi, memiliki satu kebajikan itu bertarti memiliki segala
kebajikan. Contohnya: Jika satu hal itu baik untuk suatu kampus maka baik juga
untuk mahasiswa dan staff-staffnya. Jika tidak, maka itu bukan dinamakan dengan
kebajikan sejati. Memiliki arte, yaitu memiliki kebajikan atau keutamaan
berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia.
Dan dalam pandangan Sokrates tentang keagamaan,
terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semuanya itu menunjukan kebulatan
ajarannya, yang menjadikan ia seorang filosof yang terutama seluruh masa.
4.
Pengikut
Ajaran Sokrates
Meskipun Sokrates merupakan Filosof yang paling penuh
teka-teki, dan Sokrates juga dianggap agak membingungkan. Namun tak lama
setelah kematiannya dia dianggap sebagai pendiri sejumlah aliran pemikiran
filsafat. Sokrates tidak pernah memiliki murid dalam arti yang sebenarnya,
Sokrates juga tidak pernah mendirikan mazhab apapun, Sokrates hanya mengajak
pengikutnya agar mereka berfilsafat sendiri. Setelah kematian Sokrates,
pengikut-pengikut Sokrates itupun memilih jalan mereka masing-masing, dari
semua pengikut Sokrates itu tidak ada yang dapat membandingi Plato. Pengikut
Sokrates yang lain disebut dengan “The Minor Socratics”, yang kemudian
mereka-mereka ini mendirikan beberapa pokok ajaran, antara lain :
a.
Madzhab
Megara
Didirikan oleh pengikut Sokrates yang bernama
Eukleides dari Megara. Ia mencoba mendamaikan “yang ada” dari mazhab Elea
dengan “yang baik” dari Sokrates.
b.
Madzhab
Elis dan Eretria
Didirikan oleh Eretria, ia menaruh perhatian pada
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan dialektika.
c.
Mazhab
Kunis/Sinis
Tokoh utamanya adalah Antisthenes, dalam bidang dialektika
ia menentang teori Plato mengenai ide yang berdiri sendiri, dan dalam bidang
etika ia beranggapan bahwa manusia mempunyai keutamaan, bila ia tahu, ia kan
melepaskan diri dari barang jasmani dan segala macam kesenangan karena
kesenangan adalah musuh besar bagi orang yang ingin hidup bahagia.
d.
Mazhab
Hedonis/Kurenis
Tokoh utamanya Aristippos, ajarannya adalah bahwa
keutamaan tidak lain daripada mencari ”yang baik”. Namun yang baik disini
disamakan dengan kesenangan (hedone), kesenangan disini juga termasuk
kesenangan badani juga, akan tetapi seorang yang bijaksana tidak akan mengejar
kesenangan tanpa batas, karena kesenangan yang tanpa batas akan menyebabkan
kesusahan. Dalam perspektif hedonisme, pengendalian diri dan pertarakan perlu
untuk mencapai cara hidup yang ideal.
C.
Plato
1.
Riwayat
Hidup
Sejak masa mudanya, Plato (427-347) adalah murid dan
pengagum Sokrates, ia dilahirkan dari keluarga yang terkemuka. Selama kurang
lebih 8 tahun ia belajar kepada Sokrates, hampir seluruh karyanya, yang menjadi
pokok sentral pembahasannya adalah Sokrates. Maka tidak heran kalau filsafatnya
sangat dipengaruhi oleh pandangan gurunya itu, meskipun gurunya Sokrates tidak
meninggalkan karya-karya tulisan, lain halnya dengan Plato ia rajin menulis
dengan karya sastra yang bermutu tinggi.
Berikut beberapa karya buku yang ditulis oleh Plato:
Apologia, Politeia, Sophists, Timaios, dan karya-karya yang lainnya, seperti
disini ada salah satu karangan bukunya yang terakhir yang berjudul Nomoi
(undang-undang), dan juga karangan bukunya yang berjudul Apologia, yang
didalamnya terdapat dialog-dialog Plato yang kurang lebih tergolong dalam tiga
periode; yaitu periode awal, pertengahan dan periode akhir. oleh sebab itu
Cicero mengatakan, “Plato Cribens Est Mortuus” Plato meninggal ketika sedang
menulis (dalam usia 80 tahun).
Hampir dari beberapa karya Plato menggunakan metode
dialog, karena memang Plato sendiri sangat mengagumi gurunya (Sokrates), serta
memang bagi Plato, gurunya memiliki peranan penting dalam karya-karyanya. Dan
bahkan tidak bisa dipungkiri bahwa filsafatnya pun akan terpengaruhi oleh
gurunya itu, meskipun memang Plato sendiri memiliki metode tersendiri, untuk
menjelaskan pemikiran-pemikirannya.
Ada tiga ciri atau sifat khusus filsafat Plato; pertama, bersifat Sokratik, dalam
karya-karya yang ditulis pada usia mudanya, Plato selalu menampilkan
kepribadian dan perkataan Sokrates sebagai topic sentral karangannya. Kedua,berbentuk dialog, hampir semua
karya Plato berbentuk atau bernada dialog, hal ini di satu pihak , memang merupakan
ungkapan rasa takjub dan takjim Plato yang tulus kepada Sokrates, gurunya, yang
juga memakai metode dialog atau dinamakan metode dialektika, dilain pihak juga
ia berpendapat, “bahwa pena dan tinta membekukan pemikiran sejati dalam
huruf-huruf yang membisu”. Jika pemikiran itu memang perlu dituliskan, bentuk
yang paling cocok adalah percakapan (dialog). Ketiga, adanya mite-mite, Plato memakai mite-mite untuk
mengemukakan ajarannya mengenai hal-hal abstrak dan adiduniawi (misalnya
tentang ide-ide, keutamaan jiwa).
2.
Ajaran
tentang Dunia Ide
Dengan ajarannya tentang ide-ide, Plato bukan hanya
berhasil menciptakan suatu system filsafat yang merangkum dan merangkul
berbagai persoalan filosofis sebelumnya, seperti persoalan Parmenides versus
Herakleitos), melainkan juga membangun suatu kerangka pemikiran yang
pengaruhnya luar biasa besar pada pemikiran filosofis dibarat beratus-ratus
tahun sesudah ia wafat.
Apa itu ide-ide? Ide dalam pandangan Plato adalah
citra pokok dan perdana dari realitas (dari kata yunani, eidos, yang berarti
gambar atau citra. Jadi tidak boleh disamakan begitu saja dengan kata “ide”
dalam bahasa Indonesia yang berarti gagasan, cita-cita). Ide-ide itu bersifat
nonmaterial, abadi dan tidak berubah. Menurut ide-ide sebagai citra pokok inilah,
segala benda yang konkrit, kelihatan terbentuk dan mendapatkan wujudnya.
Ide-ide ada secara objektif. Artinya ide-ide ada begitu saja tanpa tergantung
pada dunia pemikiran dan proses pencerapan indrawi kita. Kalau Sockrates
mencari pengertian-pengertian mendalam dan sejati dari hakikat universal
tindakan moral manusia, (misalnya apa itu keadilan pada umumnya), Plato
memperluas bidang pencariannya sampai pada hakikat umum dari segala sesuatu.
Tidak terbatas hanya pada bidang moral, melainkan juga meliputi “segala yang
ada”.
Misalnya Plato mempertanyakan apa itu hakikat umum
dari berbagai jenis singa, dan berbagai macam segi tiga. Apa itu “kesingaan”
dan “kesegitigaan”? dari sini lantas Plato menerima adanya “ada” yang berdiri
sendiri diluar pemikiran kita (Sokrates tidak sampai pada kesimpulan ini) dan
menamakan itu ide-ide. Jadi ada ide keadilan, ide singa, ide segi tiga, dan
sebagainya.
Bagi Plato ide bukanlah gagasan yang hanya terdapat
dalam pikiran saja, yang bersifat subyektif. Ide ini bukan gagasan yang dibuat
oleh manusia, yang ditemukan manusia, sebab ide ini bersifat objektif, artinya
berdiri sendiri,, lepas dari pada subyek yang berfikir, tidak tergantung pada
pemikiran manusia, akan tetapi justru sebaliknya, idelah yang memimpin pikiran
manusia. Tiap orang berbeda dengan orang lain, tidak ada dua orang yang persis
sama, akan tetapi keduanya adalah sama-sama manusia. Hal ini disebabkan karena
tiap manusia mendapat bagian daripada ide manusia. Tiap manusia mengungkapkan
dengan cara masing-masing ide manusia yang bersifat umum itu. Ide manusia ini
kekal dan tidak berubah. Akan tetapi ide ini tidak bisa diungkapakan secara
sempurna pada tiap manusia. Segala sesuatu yang kita ketahui, melalui
pengamatan, yang beraneka ragam dan serba berubah itu dalah pengungkapan
ide-idenya. Jadi tiap pengamatan mengingatkan kita kepada ide-ide yang diamati
itu.
Untuk memahami alasan-alasan Plato menerima adanya
ide-ide yang berdiri sendiri ini, kita perlu merujuk pada ilmu pasti, tidak
dibicarakan gambar-gambar konkret, misalnya suatu garis atau suatu bangun segi
tiga, melainkan garis atau segitiga pada umumnya. Tentu saja dalam pelajaran
dikelas, suatu segi tiga dengan ukuran tertentu digambarkan oleh guru di papan
tulis (misalnya, segi tiga yang kedua kakinya sama panjang). Namun demikian
dalil-dalil yang diterangkannya bukan hanya berlaku untuk segi tiga yang
tergambar di papan tulis itu, melainkan berlaku juga untuk semua dan setiap
segi tiga, yakni segi tiga pada umumnya, atau segi tiga ideal. Maka, kalau ilmu
pasti bicara bukan tentang segi tiga konkret, melainkan mengenai segitiga pada
umumnya atau segi tiga ideal,tentunya harus diterima bahwa segi tiga pada
umumnya atau segi tiga ideal itu juga memiliki realitas, kendati tidak dapat
ditangkap oleh panca indera. Sebab, adalah mustahil kalau ilmu pasti bicara
mengenai sesuatu yang tidak ada. Jadi harus terdapat suatu ide segi tiga. Segi
tiga- segi tiga yang digambarkan dipapan tulis atau yang terwujud dalm suatu
bangunan hanyalah tiruan tidak sempurna dari ide segi tiga itu. Gambar segi
tiga dipapan tulis bisa dihapus, bangunan berbentuk segi tiga bisa rusak dan
dihancurkan, namun ide segi tiga tinggal tetap dalam keabadian, tidak terjamah
sama sekali. Bagi Plato ilmu pasti adalah ilmu yang dapat menjelaskan kebenaran
ajarannya.
Selanjutnya Plato mengajarkan bahwa ide-ide tidak
lepas satu dari yang lain. Ide seekor singa, misalnya mempunyai hubungan dengan
“ide satu”, sedangkan ide satu sendiri mempunyai hubungan dengan “ide
ganjil”.Contoh lain, “ide api” mempunyai hubungan dengan “ide panas” dan lain
sebagainya. Plato menamakan hubungan antara ide-ide itu sebagai “persekutuan”
(koinonia).
Dalam bukunya, politeia, Plato mengatakan bahwa
diantara ide-ide terdapat suatu tatanan atau hierarki. Dan puncak dari segala
ide adalah ide “yang baik”(agathon). Ide yang baik ini adalah ide dari segala
ide, dan karenanya secara kualitatif melampaui mereka. Ibarat matahari yanga
sinarnya membuat kita sanggup melihat dan mengenali segala sesuatu, demikian
pula ide “yang baik” merupakan sebab segala pengetahuan dan kebenaran, dan
karenanya berada lebih tinggi dan jauh lebih indah daripada segala pengetahuan
dan kebenaran.
Berdasarkan ajarannya mengenai ide-ide ini, Plato
menyatakan adanya dua dunia, yakni dunia ide-ide dimana tidak ada perubahan dan
tiada kejamakan, artinya yang baik hanya satu, yang adil hanya satu, dan yang
indah hanya satu saja yang hanya terbuka bagi rasio kita (dunia rasional), dan
dunia jasmani yang hanya terbuka bagi pancaindra kita (dunia indrawi). Dalam
dunia rasional, tidak ada perubahan dan kenisbian. Perubahan dan kenisbian
hanya ada dalam dunia indrawi yang memang memperlihatkan ketidakmantapan tanpa
henti. Singa ini atau singa itu akan mati, namun singa pada umumnya, yakni ide
singa, tinggal tetap. Begitupula gambar segitiga dipapan tulis dapat dihapus,
tetapi ide segi tiga sama sekali tidak terjamah. Ide-ide itu abadi.
Dengan teori dua dunianya ini, Plato berhasil
mendamaikan pertentangan antara pemikiran Herakleitos dan Parmenides.
Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, Herakleitus berpendirian bahwa segala
sesuatu senantiasa berubah dan tidak ada sesuatupun yang sempurna sifatnya.
Ajaran Plato mengatakan bahwa hal itu memang benar, tetapi hanya berlaku
didunia inderawi. Sementara itu menurut Parmenides, “yang ada” segala-galanya
itu sempurna, utuh dan mantap. Plato barkata, “itu benar juga, tetapi berlaku
hanya untuk dunia rasional atau dunia ide-ide”.
Bagaimana kedua dunia ini saling berhubungan? Menurut
Plato ide-ide adalah model (paradigma) bagi berbagai benda konkret. Benda-benda
konkret merupakan gambaran tidak sempurna yang menyerupai model tersebut. Kalau
partisipasi (mathexis) benda-benda konkret itu pada ide-ide semakin besar atau
kalau mereka semakin meniru dan semakin menyerupai ide-ide, semakin indah dan
semakin baiklah benda-benda itu. Dengan demikian, Plato membantah pandangan
Kaum Sofis, khususnya Protagoras yang berpendapat bahwa pengenalan kita
semata-mata bersifat subyektif dan tergantung pada keadaanjiwa kita: manusia
adalah ukuran bagi segala-galanya. Plato membantah, “tidak” ide-ide adalah
ukuran untuk segala-galanya.
D.
Aristoteles
1.
Riwayat
Hidup
Aristoteles (384-324 SM) dilahirkan di Stagira
(wilayah yunani utara, Makedonia), anak seorang dokter pribadi raja Makedonia,
kira-kira pada waktu umur 18 tahun, ia dikirim ke Athena untuk belajar pada
Plato selama 20 tahun ia menjadi murid Plato. Namun kemudian ia meninggalkan
ajaran gurunya itu. “ amicus palto, magic amica veritas (Plato memang
sahabatku, tetapi kebenaran jauh lebih akrab denganku)”, kata Aristoteles. Ia
menikah dengan Pythias yang memberikan kepadanya seorang putri bernama sama dan
seorang putra bernama Nikomachos, yang untuknya kelak Aristoteles menulis buku
etika terkenal, ethica nikomacheia.
Pada tahun 343/42 SM, ia menjadi guru Alexander agung.
Kemudian ia mendirikan sekolah sendiri yang dinamainya Lykeion, sebab tempatnya
dekat halaman yang dipersembahkan kepada dewa Apollo Lykeions. Tahun 323 SM,
setelah kematian Alexander, Aristoteles dikejar-kejar oleh pihak yang memusuhi
partai Makedonia. Ia nyaris dihukum mati, kemungkinan besar karena tuduhan
penghujatan terhadap para dewa. Namun agar orang-orang Athena tidak berdosa
untuk kedua kalinya terhadap filsafat, Aristoteles melarikan diri dari kota itu
dan tinggal di Kalkhis hingga akhir hayatnya dalam usia 62 tahun.
Aristoteles sama seperti Plato, ia pun senang menulis,
namun berbeda dengan tulisan-tulisan Plato yang bergaya sastra dan rasional.
Aristoteles lebih mengarah kepada metode empiris, apa yang ditulisnya merupakan
hasil telaah lapangan. Hasil karyanya banyak sekali, akan tetapi sulit menyusun
karyanya secara sistematis, sebagian orang ada yang membaginya atas 8 bagian,
mengenai: logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika, etika,
politik, ekonomi, retorika dan poetika. Ada juga yang menguraikan perkembangan
aristoteles meliputi tiga tahap, yaitu:
- Tahap di Academia, ketika masih setia
terhadap gurunya, Plato termesuk ajarannya tentang ide
- Tahap di Assos, ketika ia berbalik
daripada Plato, mengkritik ajaran Palate tentang ide-ide, serta menentukan
filsafatnya sendiri
- Tahap ketika ia disekolahannya di
Athena, waktu ia berbalik dari berspekulasi kepenyelidikan empiris,
mengindakan yang konkrit dan yang individual.
Dari sekian banyak tulisan Aristoteles, sebagian tulisannya
hilang tak berbekas, setelah kematiannya pada tahun 322 SM, karya-karyanya
nyaris dilupakan orang selama sekitar 200 tahun. Pada abad ke-1 SM, karya-karya
itu dibawa keroma dan dipublikasikan oleh Andronikos dari Rhodos. Pada puncak
abad pertengahan, karya Aristoteles mendapat tempat istimewa didunia barat
(Eropa) lewat orang-orang arab, utamanya lewat Ibn Rushd (1126-1198).
Karya-karya Aristoteles kemudian mulai diminati dan dipelajari secara serius
disana. Dan pada saat itu orang tidak segan-segan menyebut aristoteles sebagai
sang filsuf.
Berikut
ini adalah beberapa objek materi pembahasan filsafat Aristoteles, yaitu:
· Tentang logika
· Metafisika
· Ajaran tentang
Allah
· Etika kebahagiaan
· Negara
· Seni budaya
Salah satu meteri pembahasan yang berhubungan dengan
penolakan Aristoteles terhadap gurunya, Plato, adalah “metafisika”. Dibawah
ini, kami akan coba membahas objek kajiannya ini.
2.
Metafisika
(Pengetahuan tentang “Yang Ada” Sejauh Ada)
Sebutan “metafisika” sebenarnya hanya suatu sebutan
yang kebetulan saja. Istilah ini tidak berasal dari Aristoteles sendiri,
melainkan dari Andronikos dari Rhodos ada juga yang mengatakan kata
“metafisika” ini berasal dari muridnya yang bernama Nikolaus dari Damaskus abad
ke-1 SM. Aristoteles sendiri menyebut ilmu pengetahuan itu “filsafat pertama”.
Sebab metafisika merupakan pengetahuan yang mendasari filsafat teoritis. Dalam
sejarah filsafat, metafisika atau “filsafat pertama” ajaran Aristoteles ini
dinamakan juga ontology, artinya ajaran logos tentang “ yang sungguh-sungguh
ada” (ontos on).
Dalam ajarannya tentang metafisika, Aristoteles
mengkritik Plato, “ide-ide sama sekali tidak membantu kita, baik untuk
mengenali benda-benda maupun untuk memahami ‘yang ada’ dari benda-benda itu.
Sebab ide-ide tidak terdapat dalam benda-benda yang (menurut Plato)
berpartisipasi padanya. Dengan demikian, perbedaan terpenting antara guru dan
murid itu jelas. Aristoteles mau mengoreksi ajaran Plato mengenai dualisme
antara dunia ide-ide dan dunia benda-benda konkret. Untuk itu Aristoteles berkata
bahwa hakikat suatu benda itu berada dalam benda itu sendiri, jadi bukan dalam
segala macam ide ala Plato.
Bagaimana hal ini harus difahami? Aristoteles
menjawabnya dengan suatu teori yang dikemudian hari dikenal sebagai ajaran
“Hylemorfisme”. Menurut ajaran ini, setiap benda selalu merupakan
pengejawantahan dari materi (Hyle) dan bentuk (Morphe). Keduanya merupakan
prinsip-prinsip metafisik, jadi keberadaan mereka tidak dapat ditunjuk dengan
jari, tetapi harus diandaikan begitu saja, supaya kita dapat mengerti adanya
benda-benda jasmani. Materi adalah prinsip yang sama sekali tidak ditentukan,
sama sekali terbuka. Materi adalah kemungkinan (potensia) belaka untuk menerima
suatu bentuk. Namun dalam kenyataannya materi, selalu mempunyai salah satu bentuk.
Adapun bentuk adalah prinsip yang menentukan atau yang menberikan aktualitas
pada materi. Bentuk memerlukan materi agar bisa tampak dengan jelas, dan materi
membutuhkan bentuk agar dapat mewujudkan kemungkinannya menjadi realitas yang
sesungguhnya (aktualitas). Berkat materi suatu benda merupakan benda konkret
(misalnya pohon ini), dan berkat bentuk suatu benda konkret mempunyai kodrat
tertentu, termasuk jenis tertentu (misalnya pohon, dan bukan binatang). Menurut
Aristoteles, segala ‘yang ada’ berkembang dari suatu kemungkinan menjadi
kenyataan.
Untuk lebih memahami tentang ajaran ini, marilah kita
ambil contoh dari “patung kuda kayu” terdapat dua unsur yang menyatu sekaligus
dalam patung kuda itu yakni kayu dan rupa. materi dalam benda konkret itu
adalah kayu, sedangkan kuda adalah bentuk. Jadi bentuk tidak pernah lepas dari
bahan dan bahan tidak pernah lepas dari bentuk.
Dengan demikian jelas, bahwa bagi Aristoteles, hakikat
suatu benda tidak berada diluar, melainkan didalam benda itu sendiri. dengan
kata lain hakikat suatu benda bukan terletak pada ide-ide yang terletak entah
dimana nan jauh di alam seberang sana (melawan Plato) melainkan
mengejawantahkan dirinya secara riil dan secara bertahap dalam serangkaian
kejadian atau penampakan. Sebab Aristoteles menekankan adanya gerak atau proses
perkembangan dalam setiap benda.
Perubahan dan gerak dalam arti yang lebih luas
mencakup hal”menjadi” dan “binasa” serta segala perubahan lainnya, baik
dibidang bilangan maupun dibidang mutu dan dibidang ruang. Tiap gerak
sebenarnya mewujudkan suatu perubahan dari apa yang ada sebagai “potensi” keapa
yang ada “secara terwujud”. Oleh karena itu setiap gerak mewujudkan suatu
perpindahan dari apa yang ada sebagai potensi keapa yang ada secara terwujud.
Dari dirinya sendiri apa yang ada secara terwujud tidak dapat mengusahakan
perubahannya. Untuk itu diperlukan adanya suatu penggerak yang pada dirinya
sendiri memiliki kesempurnaan, yang tidak perlu disempurnakan. Penggerak
pertama yang tidak digerakan oleh penggerak yang lain. Kuasanya tak terhingga
dan kekal, tidak berasal dari dalam dunia, sebab didalam jagat raya ini tiap
gerak digerakkan oleh sesuatu yang lain. Penggerak pertama ini adalah Allah.
Ialah yang menyebabkan gerak abadi, yang tidak digerakkan, karena terbebas dari
materi. Allah adalah aktus purus, aktus murni.
Ajaran tentang gerak ini pertama-tama diterapkan
didalam dunia gejala yang berubah-ubah ini. Didalam dunia inilah kita
menghadapi pengertian-pengertian tentang “yang ada sebagai potensi” dan yang
ada “secara terwujud”. Dan kedua ini adalah sebutan yang melambangkan dari
materi (hule) dan bentuk (morfe). Bentuk “ada” atau asas “ada”(morfe) telah
kita temui pada Plato, yaitu idea. Akan tetapi ide bagi Plato adalah pola
segala sesuatu yang tempatnya diluar dunia ini, yang berdiri sendiri, lepas
dari benda yang konkrit yang ada hanyalah penerapannya. Bagi Aristoteles ide
adalah asas yang imanen atau yang berada didalam benda yang konkret, yang
secara sempurna menentukan jenis benda itu disebut demikian (meja, kursi dll).
Materi (hule) dalam arti yang mutlak adalah asas atau
lapisan bawah yang paling akhir dan umum. Tiap benda yang dapat diamati disusun
dari padanya. Oleh karena itu materi perlu mutlak bagi pembentukan segala
sesuatu. Materi pada dirinya, artinya lepas dari segala bentuk, tidak memiliki
kenyataan, bukan hal yang berdiri sendiri. Sekalipun demikian materi bukan hal
yang “tidak ada” sama sekali. Materi adalah kenyataan yang belum terwujud atau
menjadi ditentukan oleh bentuk. Padanya ada kemungkinan untuk menjadi nyata,
karena kekuatan yang membentuknya. Dilain pihak bentuk, yang dapat menjadikan
materi menjadi nyata, bukanlah pola yang kekeal dari segala hal yang nyata,
bukan hany ide Plato akan tetapi sekaligus juga menjadi tujuan yang akan
dicapai materi, dan kekuatan yang menjadikan materi yang belum terbentuk
menjadi nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar