Rabu, 21 Desember 2016

FILSAFAT KAUM SOFIS, SOCRATES, PLATO, DAN ARISTOTELES

FILSAFAT KAUM SOFIS, SOCRATES, PLATO, DAN ARISTOTELES
A.    Kaum Sofis
Sebelum abad ke-5 sebutan “Sofis” (sophistes) belum digunakan untuk menyebut para kaum Sofis. Sebelum abad ke-5 arti istilah itu adalah “seorang yang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”. Istilah ini sering diartikan “sarjana” atau “cendekiawan”. Herodotos memakai nama sophistes untuk Pythagoras. Pengarang Yunani yang bernama Androtion (abad ke-4 SM) menggunakan nama ini untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad ke-6 dan Sokrates. Lysias, ahli pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 memakai nama ini untuk Plato. Pada abad ke-4 para “sarjana” atau “cendikiawan” bukan lagi disebut “sofis” akan tetapi “filosofos” (philosophos), sedangkan nama sophistes khusus dipakai untuk guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota untuk mengajar dan memainkan peranan penting dalam masyarakat Yunani. Akhirnya sebutan “Sofis” menjadi suatu sebutan yang tidak harum lagi, karena seorang Sofis adalah “orang yang menipu orang lain dengan memakai alasan-alasan yang tidak sah”. Para guru yang bekeliling tersebut dituduh sebagai orang-orang yang meminta uang bagi ajaran mereka.
Kaum Sofis muncul pada pertengahan abad ke-5 SM. Beberapa orang filsuf sofis yang terkenal tidak berasal dari Athena, namun semua nya pernah mengunjungi dan berkarya di Athena.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya kaum Sofis, yaitu:
1.     Perkembangan secara pesat kota Athena dalam bidang politik dan ekonomi.
2.     Setelah kota Athena mengalami keramaian penduduknya yang bertempat tinggal, maka kebutuhan dalam bidang pendidikan tidak terelakkan lagi desakan kaum intelektual.
3.     Karena pemukiman perkotaan bangsa Yunani biasanya terletak di pantai, kontak dan pergaulan dengan bangsa lain tidak dapat dihindari lagi.
Salah satu tokoh Sofisme adalah Gorgias (480-380). Gorgias inilah tokoh Sofisme yang paling banyak muridnya, walaupun masih banyak lagi tokoh yang kecil, misalnya Hippias, Prodikos, Kritias. Menurut pendapat Gorgias yang penting dalam bagaimana dapat meyakinkan orang lain agar menerima pendapat kita, dengan demikian dalam berdebat bukan mencari kebenaran, tetapi bagaimana memenangkan perdebatan. Pemikiran yang penting meliputi:
a)     Mencari keterangan tentang asal-usul yang ada.
b)     Bagaiman peran manusia sebagai makhluk yang mempunyai kehendak berfikir karena dengan kehendak berfikir itulah manusia pengetahuan yang nantinya akan menentukan sikap hidupnya.
Karyanya yang terkenal adalah “Tentang alam atau tentang yang tidak ada”. Ia adalah seorang nihilis. Baginya, tiada satu pun yang ada. Seandainya ada sesuatu, sesuatu itu tidak dapat dikenal. Seandainya sesuatu itu dapat dikenal, pengetahuan itu tidak dapat disampaikan kepada orang lain. Selanjutnya Sofisme berkembang ke jurusan yang ditentukan oleh Gorgias, yaitu cenderung kepada nihilisme.
Penilaian orang terhadap kaum Sofis ini berbeda-beda, ada yang berpendapat bahwa kaum Sofis itu menguntungkan dan ada juga yang berpendapat bahwa kaum Sofis itu hanya merusak saja.
Hal terpenting munculnya Sofisme ini adalah mempunyai peran sangat penting dalam rangka menyiapkan kelahiran pemikiran filsafat Yunani klasik yang dipelopori Socrates, Plato, Aristoteles.
B.    Sokrates
1.     Riwayat Hidup
Sebenarnya tidak ada yang tahu persis bilamana Sokrates dilahirkan. Akan tetapi yang jelas, bahwa pada tahun 399 ia dijatuhi hukuman mati dengan harus meminum racun. Oleh karena itu, pada waktu itu ia berumur 70 tahun, yang kemudian dikurangkan dengan tahun kematiannya. Maka jika dilihat umurnya itu barangkali ia dilahirkan pada tahun ± 470 SM. Dan kemungkinan ia itu berasal dari keluarga yang kaya, yang kemudian menjadi miskin.
Sokrates dilahirkan di Athena, bisa dikatakan bahwa dia menjalani sebagian besar hidupnya di alun-alun dan pasar-pasar untuk berbicara dengan orang-orang yang ditemuinya disana. Dia juga dapat tenggelam dalam pemikiran selama berjam-jam tanpa henti.
Sokrates, bisa dikatakan adalah tokoh paling misterius dalam sejarah filsafat. Sokrates tidak pernah menuliskan pemikirannya bahkan sebaris pun, namun dia menjadi salah seorang filosof yang memiliki pengaruh paling besar dalam pemikiran filsafat kemudian. Bahkan bisa dikatakan filsafat memulai babak baru pada masa sokrates.
2.     Sokrates dan Kaum Sofis
Sokrates dan Kaum Sofis hidup pada rentang waktu yang sama, tapi mengapa Sokrates tidak dikatakan sebagai seorang Sofis, karena Sokrates berbeda dengan Kaum Sofis. Perbedaan mendasar dan paling penting adalah bahwa Sokrates tidak pernah menganggap dirinya sebagai seorang sofis (orang yang pandai dan bijaksana ), melainkan sebagai seorang yang mencintai kebijaksanaaan.
Disini, dapat kita lihat perbedaaan besar antara seorang Sofis dan Sokrates. Jika seorang Sofis menuntut bayaran untuk apa yang mereka ajarkan, sedangkan Sokrates tidak, jika kaum Sofis menganggap dirinya mengetahui segalanya, maka sebaliknya Sokrates menganggap dirinya tidak mengetahui apa-apa. Sokrates berbeda dengan seorang Sofis, meskipun mereka hidup sezaman.
Sokrates juga menentang pendapat para Sofis dalam pendapat mereka tentang relativisme. Jika para Sofis berkeyakinan relativisme, Sokrates sebaliknya menurut Sokrates ada kebenaran yang objektif, yang tidak tergantung pada saya atau pada kita penjelasan tentang ini akan dibahas lebih dalam, dalam penjelasan tentang ajaran Sokrates.
Sekilas cerita tentang Sokrates, pada suatu hari, salah seorang sahabat Sokrates pernah bertanya kepada Dewata Delphol, apakah ada orang yang lebih bijaksana daripada sokrates ? Dewata tersebut menjawab: bahwa tidak ada orang yang lebih bijaksana daripada Sokrates. Sokrates terkejut dan tidak percaya dengan jawaban dewata itu. Sokrates kemudian mulai mencari tahu tentang hal itu.
Sebenarnya dia mencari tahu dengan tujuan, untuk membuktikan bahwa jawaban dewata itu salah, Sokrates kemudian bercakap-cakap dengan para negarawan dengan maksud menunjukkan bahwa mereka lebih bijaksana daripada dia sendiri. Orang tersebut memang dipandang bijaksana oleh banyak orang dan mereka sendiri pun berkeyakinan bahwa mereka itu bijaksana. Namun dari percakapan-percakapan yang telah Sokrates lakukan dia tidak menemukan jawaban yang pas dan Sokrates juga menemukan bahwa mereka itu tidak bijaksana. Kemudian Sokrates pergi pada para penyair, tukang-tukang dengan tujuan yang sama, tapi hasilnya sama. Oleh karena itu Sokrates kemudian menarik kesimpulan bahwa dia lebih bijaksana dari mereka semua. Sokrates lebih bijaksana karena dia menyadari bahwa ia tidak bijaksana.
3.     Ajaran-Ajaran Sokrates
a.      Cara Pengajaran Sokrates
Sebelum kita memasuki ajaran Sokrates sebelumnya mari kita bahas dulu bagaimana cara pengajaran Sokrates. Cara pengajaran Sokrates itu sangat berbanding terbalik dengan cara pengajaran seorang Sofis , yang hanya satu arah saja dari Sofis itu pada orang yang diajarkannya, dimana cara pengajaran ini adalah cara pengajaran yang dapat kita temukan dari zaman dahulu sampai zaman sekarang. Sokrates tidak seperti itu, dia tidak ingin menggurui orang tapi dia memberi kesan bahwa dia ingin belajar dari orang yang diajak berdialog olehnya.
Cara pengajaran Sokrates ini disebut Dialektika, dalam pengajaran ini dialog memegang peranan yang penting, dia memulai dialog tersebut dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seakan-akan dia tidak mengetahui apa-apa. Dan dengan cara itu dia berhasil membuat lawan bicaranya mengakui kelemahan argumen mereka, yang membuat mereka menyadari apa yang benar dan apa yang salah.
Sebutan lain untuk cara pengajaran Sokrates adalah Maieutika yaitu seni kebidanan, karena dengan cara ini Sokrates memposisikan dirinya sebagai seorang bidan. Mengapa disebut seni kebidanan? Karena menurut Sokrates dia tidak melahirkan sendiri anak itu melainkan ia hanya membantu orang-orang itu melahirkan wawasan yang benar, dan Sokrates meyakini bahwa pemahaman sejati itu timbul dari dalam diri seseorang itu sendiri, hal itu tidak bisa ditanamkan oleh orang lain. Pemahaman sejati itulah yang dapat membawa kita pada wawasasn yang benar.
b.     Inti Ajaran Sokrates
Menurut Sokrates, bahwasanya pengertian dari etika atau intisari dari etika yaitu budi, yang berarti tahu. Orang yang tahu dengan sendirinya berbudi baik. Sebagai contoh, apabila seseorang telah mengetahui tentang kebenaran adanya kenikmatan surga dan siksa neraka, maka sudah pasti ia akan mengikuti jalan ajaran Tuhannya untuk memperoleh kenikmatan tersebut. Dan hanya orang-orang yang tidak mempercayai adanya kenikmatan surga dan siksa nerakalah yang enggan untuk melaksanakan aturan dari Tuhannya yang dapat membawanya kepada kenikmatan surga tersebut. Akan tetapi ia malahan melakukan tindakan yang dilarang oleh Tuhannya dan meninggalkan perintah dari Tuhannya.
Sedangkan paham etika Sokrates selanjutnya yaitu kelanjutan daripada metode-metodenya. Selanjutnya, siapa yang mengetahui hukum mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi berdasar atas pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari.
Dari ucapan itu nyatalah bahwa ajaran etika Sokrates intelektual sifatnya. Selain dari itu juga rasional. Apabila budi adalah tahu, maka tak ada orang yang sengaja atas maunya sendiri berbuat jahat. Kedua-duanya, budi dan tahu itu saling berhubungan. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka “jahat” hanya datang dari orang yang tidak tahu, orang yang tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang kesasar adalah korban daripada ketidak tahuannya sendiri. Kesasar bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas maunya sendiri.
Menurut Sokrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti segala barang yang ada itu mempunyai tujuan, begitu juga hidup manusia. Apa misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya. Begitu juga dengan manusia. Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
Dari pandangan etika yang rasional itu Sokrates sampai kepada sikap hidup, yang penuh dengan rasa keagamaan. Menurut keyakinannya, mendapatkan kezaliman lebih baik dari berbuat zalim. Sikap itu diperlihatkannya dengan kata dan perbuatannya, dalam pembelaannya di muka hakim. Sokrates adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut wujud yang tertentu. Hal itu katanya adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada Tuhan dipercayakannya segala-galanya yang tak dapat diduga oleh otak manusia. Jiwa manusia itu dipandangannya bagian daripada Tuhan yang menyusun alam. Sering pula dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasai sebagai suara dari dalam, yang menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya.
Sokrates tidak memberikan suatu sistim dan tidak meninggalkan tulisan dari ajarannya sedikitpun, maka sangat susah untuk memperjelas ajaran Sokrates yang sebenarnya. Akan tetapi, sebagaimana yang kami temukan di dalam sebuah buku referensi kami, barangkali ajarannya dapat dirangkum sebagai berikut: “Jiwa manusia bukan hanya nafasnya, akan tetapi asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa itu adalah inti sari manusia, hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena jiwa itu inti sari manusia, maka manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya, itulah yang disebutnya daimonion atau eudaimonia.” Bukan dia saja yang begitu katanya. Semua orang dapat mendengar suara daimonion itu dari dalam jiwanya, apabila ia mau. Daimonion yang dimaksud disini adalah suara hati atau fitrah.
Menurut Sokrates, alat untuk mencapai eudaimonia atau kebahagiaan adalah kebajikan atau keutamaan (arete). Kebajikan atau keutamaan di sini bukan diartikan secara moral, akan tetapi secara yang lebih luas daripada itu. Sebagaimana contohnya, kebajikan atau keutamaan seorang pemotong rumput ialah kebajikan dan keutamaan yang menjadikan pemotong rumput itu menjadi pemotong rumput yang baik dan handal, karena ia telah menguasai pekerjaannya itu dengan baik, karena ia mempunyai keahlian dalam bidang itu. Demikian juga dengan kebajikan atau keutamaan seorang dokter, seorang petani dan lainnya. Pendirian Sokrates yang terkenal adalah: “Keutamaan adalah Pengetahuan”. Kebajikan atau keutamaan di bidang hidup yang baik, pasti akan menjadikan hidup menjadi lebih baik. Hidup baik berarti: mempraktekkan pengetahuannya itu di dalam kehidupannya yang lebih baik. Jadi, baik atau jahatnya seseorang tergantung pada pengetahuannya, bukan kemauannya. Tidak mungkin orang dengan sengaja melakukan kesalahan. Karena kalau orang itu melakukan kesalahan, berarti orang itu tidak berpengetahuan tentang itu.
Oleh karena itu, kebajikan atau keutamaan adalah pengetahuan tentang yang baik, dan yang baik itu hanya ada satu dan bersifat menyeluruh. Jadi, memiliki satu kebajikan itu bertarti memiliki segala kebajikan. Contohnya: Jika satu hal itu baik untuk suatu kampus maka baik juga untuk mahasiswa dan staff-staffnya. Jika tidak, maka itu bukan dinamakan dengan kebajikan sejati. Memiliki arte, yaitu memiliki kebajikan atau keutamaan berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia.
Dan dalam pandangan Sokrates tentang keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semuanya itu menunjukan kebulatan ajarannya, yang menjadikan ia seorang filosof yang terutama seluruh masa.
4.     Pengikut Ajaran Sokrates
Meskipun Sokrates merupakan Filosof yang paling penuh teka-teki, dan Sokrates juga dianggap agak membingungkan. Namun tak lama setelah kematiannya dia dianggap sebagai pendiri sejumlah aliran pemikiran filsafat. Sokrates tidak pernah memiliki murid dalam arti yang sebenarnya, Sokrates juga tidak pernah mendirikan mazhab apapun, Sokrates hanya mengajak pengikutnya agar mereka berfilsafat sendiri. Setelah kematian Sokrates, pengikut-pengikut Sokrates itupun memilih jalan mereka masing-masing, dari semua pengikut Sokrates itu tidak ada yang dapat membandingi Plato. Pengikut Sokrates yang lain disebut dengan “The Minor Socratics”, yang kemudian mereka-mereka ini mendirikan beberapa pokok ajaran, antara lain :
a.      Madzhab Megara
Didirikan oleh pengikut Sokrates yang bernama Eukleides dari Megara. Ia mencoba mendamaikan “yang ada” dari mazhab Elea dengan “yang baik” dari Sokrates.
b.     Madzhab Elis dan Eretria
Didirikan oleh Eretria, ia menaruh perhatian pada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan dialektika.
c.      Mazhab Kunis/Sinis
Tokoh utamanya adalah Antisthenes, dalam bidang dialektika ia menentang teori Plato mengenai ide yang berdiri sendiri, dan dalam bidang etika ia beranggapan bahwa manusia mempunyai keutamaan, bila ia tahu, ia kan melepaskan diri dari barang jasmani dan segala macam kesenangan karena kesenangan adalah musuh besar bagi orang yang ingin hidup bahagia.
d.     Mazhab Hedonis/Kurenis
Tokoh utamanya Aristippos, ajarannya adalah bahwa keutamaan tidak lain daripada mencari ”yang baik”. Namun yang baik disini disamakan dengan kesenangan (hedone), kesenangan disini juga termasuk kesenangan badani juga, akan tetapi seorang yang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan tanpa batas, karena kesenangan yang tanpa batas akan menyebabkan kesusahan. Dalam perspektif hedonisme, pengendalian diri dan pertarakan perlu untuk mencapai cara hidup yang ideal.
C.    Plato
1.     Riwayat Hidup
Sejak masa mudanya, Plato (427-347) adalah murid dan pengagum Sokrates, ia dilahirkan dari keluarga yang terkemuka. Selama kurang lebih 8 tahun ia belajar kepada Sokrates, hampir seluruh karyanya, yang menjadi pokok sentral pembahasannya adalah Sokrates. Maka tidak heran kalau filsafatnya sangat dipengaruhi oleh pandangan gurunya itu, meskipun gurunya Sokrates tidak meninggalkan karya-karya tulisan, lain halnya dengan Plato ia rajin menulis dengan karya sastra yang bermutu tinggi.
Berikut beberapa karya buku yang ditulis oleh Plato: Apologia, Politeia, Sophists, Timaios, dan karya-karya yang lainnya, seperti disini ada salah satu karangan bukunya yang terakhir yang berjudul Nomoi (undang-undang), dan juga karangan bukunya yang berjudul Apologia, yang didalamnya terdapat dialog-dialog Plato yang kurang lebih tergolong dalam tiga periode; yaitu periode awal, pertengahan dan periode akhir. oleh sebab itu Cicero mengatakan, “Plato Cribens Est Mortuus” Plato meninggal ketika sedang menulis (dalam usia 80 tahun).
Hampir dari beberapa karya Plato menggunakan metode dialog, karena memang Plato sendiri sangat mengagumi gurunya (Sokrates), serta memang bagi Plato, gurunya memiliki peranan penting dalam karya-karyanya. Dan bahkan tidak bisa dipungkiri bahwa filsafatnya pun akan terpengaruhi oleh gurunya itu, meskipun memang Plato sendiri memiliki metode tersendiri, untuk menjelaskan pemikiran-pemikirannya.
Ada tiga ciri atau sifat khusus filsafat Plato; pertama, bersifat Sokratik, dalam karya-karya yang ditulis pada usia mudanya, Plato selalu menampilkan kepribadian dan perkataan Sokrates sebagai topic sentral karangannya. Kedua,berbentuk dialog, hampir semua karya Plato berbentuk atau bernada dialog, hal ini di satu pihak , memang merupakan ungkapan rasa takjub dan takjim Plato yang tulus kepada Sokrates, gurunya, yang juga memakai metode dialog atau dinamakan metode dialektika, dilain pihak juga ia berpendapat, “bahwa pena dan tinta membekukan pemikiran sejati dalam huruf-huruf yang membisu”. Jika pemikiran itu memang perlu dituliskan, bentuk yang paling cocok adalah percakapan (dialog). Ketiga, adanya mite-mite, Plato memakai mite-mite untuk mengemukakan ajarannya mengenai hal-hal abstrak dan adiduniawi (misalnya tentang ide-ide, keutamaan jiwa).
2.     Ajaran tentang Dunia Ide
Dengan ajarannya tentang ide-ide, Plato bukan hanya berhasil menciptakan suatu system filsafat yang merangkum dan merangkul berbagai persoalan filosofis sebelumnya, seperti persoalan Parmenides versus Herakleitos), melainkan juga membangun suatu kerangka pemikiran yang pengaruhnya luar biasa besar pada pemikiran filosofis dibarat beratus-ratus tahun sesudah ia wafat.
Apa itu ide-ide? Ide dalam pandangan Plato adalah citra pokok dan perdana dari realitas (dari kata yunani, eidos, yang berarti gambar atau citra. Jadi tidak boleh disamakan begitu saja dengan kata “ide” dalam bahasa Indonesia yang berarti gagasan, cita-cita). Ide-ide itu bersifat nonmaterial, abadi dan tidak berubah. Menurut ide-ide sebagai citra pokok inilah, segala benda yang konkrit, kelihatan terbentuk dan mendapatkan wujudnya. Ide-ide ada secara objektif. Artinya ide-ide ada begitu saja tanpa tergantung pada dunia pemikiran dan proses pencerapan indrawi kita. Kalau Sockrates mencari pengertian-pengertian mendalam dan sejati dari hakikat universal tindakan moral manusia, (misalnya apa itu keadilan pada umumnya), Plato memperluas bidang pencariannya sampai pada hakikat umum dari segala sesuatu. Tidak terbatas hanya pada bidang moral, melainkan juga meliputi “segala yang ada”.
Misalnya Plato mempertanyakan apa itu hakikat umum dari berbagai jenis singa, dan berbagai macam segi tiga. Apa itu “kesingaan” dan “kesegitigaan”? dari sini lantas Plato menerima adanya “ada” yang berdiri sendiri diluar pemikiran kita (Sokrates tidak sampai pada kesimpulan ini) dan menamakan itu ide-ide. Jadi ada ide keadilan, ide singa, ide segi tiga, dan sebagainya.
Bagi Plato ide bukanlah gagasan yang hanya terdapat dalam pikiran saja, yang bersifat subyektif. Ide ini bukan gagasan yang dibuat oleh manusia, yang ditemukan manusia, sebab ide ini bersifat objektif, artinya berdiri sendiri,, lepas dari pada subyek yang berfikir, tidak tergantung pada pemikiran manusia, akan tetapi justru sebaliknya, idelah yang memimpin pikiran manusia. Tiap orang berbeda dengan orang lain, tidak ada dua orang yang persis sama, akan tetapi keduanya adalah sama-sama manusia. Hal ini disebabkan karena tiap manusia mendapat bagian daripada ide manusia. Tiap manusia mengungkapkan dengan cara masing-masing ide manusia yang bersifat umum itu. Ide manusia ini kekal dan tidak berubah. Akan tetapi ide ini tidak bisa diungkapakan secara sempurna pada tiap manusia. Segala sesuatu yang kita ketahui, melalui pengamatan, yang beraneka ragam dan serba berubah itu dalah pengungkapan ide-idenya. Jadi tiap pengamatan mengingatkan kita kepada ide-ide yang diamati itu.
Untuk memahami alasan-alasan Plato menerima adanya ide-ide yang berdiri sendiri ini, kita perlu merujuk pada ilmu pasti, tidak dibicarakan gambar-gambar konkret, misalnya suatu garis atau suatu bangun segi tiga, melainkan garis atau segitiga pada umumnya. Tentu saja dalam pelajaran dikelas, suatu segi tiga dengan ukuran tertentu digambarkan oleh guru di papan tulis (misalnya, segi tiga yang kedua kakinya sama panjang). Namun demikian dalil-dalil yang diterangkannya bukan hanya berlaku untuk segi tiga yang tergambar di papan tulis itu, melainkan berlaku juga untuk semua dan setiap segi tiga, yakni segi tiga pada umumnya, atau segi tiga ideal. Maka, kalau ilmu pasti bicara bukan tentang segi tiga konkret, melainkan mengenai segitiga pada umumnya atau segi tiga ideal,tentunya harus diterima bahwa segi tiga pada umumnya atau segi tiga ideal itu juga memiliki realitas, kendati tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Sebab, adalah mustahil kalau ilmu pasti bicara mengenai sesuatu yang tidak ada. Jadi harus terdapat suatu ide segi tiga. Segi tiga- segi tiga yang digambarkan dipapan tulis atau yang terwujud dalm suatu bangunan hanyalah tiruan tidak sempurna dari ide segi tiga itu. Gambar segi tiga dipapan tulis bisa dihapus, bangunan berbentuk segi tiga bisa rusak dan dihancurkan, namun ide segi tiga tinggal tetap dalam keabadian, tidak terjamah sama sekali. Bagi Plato ilmu pasti adalah ilmu yang dapat menjelaskan kebenaran ajarannya.
Selanjutnya Plato mengajarkan bahwa ide-ide tidak lepas satu dari yang lain. Ide seekor singa, misalnya mempunyai hubungan dengan “ide satu”, sedangkan ide satu sendiri mempunyai hubungan dengan “ide ganjil”.Contoh lain, “ide api” mempunyai hubungan dengan “ide panas” dan lain sebagainya. Plato menamakan hubungan antara ide-ide itu sebagai “persekutuan” (koinonia).
Dalam bukunya, politeia, Plato mengatakan bahwa diantara ide-ide terdapat suatu tatanan atau hierarki. Dan puncak dari segala ide adalah ide “yang baik”(agathon). Ide yang baik ini adalah ide dari segala ide, dan karenanya secara kualitatif melampaui mereka. Ibarat matahari yanga sinarnya membuat kita sanggup melihat dan mengenali segala sesuatu, demikian pula ide “yang baik” merupakan sebab segala pengetahuan dan kebenaran, dan karenanya berada lebih tinggi dan jauh lebih indah daripada segala pengetahuan dan kebenaran.
Berdasarkan ajarannya mengenai ide-ide ini, Plato menyatakan adanya dua dunia, yakni dunia ide-ide dimana tidak ada perubahan dan tiada kejamakan, artinya yang baik hanya satu, yang adil hanya satu, dan yang indah hanya satu saja yang hanya terbuka bagi rasio kita (dunia rasional), dan dunia jasmani yang hanya terbuka bagi pancaindra kita (dunia indrawi). Dalam dunia rasional, tidak ada perubahan dan kenisbian. Perubahan dan kenisbian hanya ada dalam dunia indrawi yang memang memperlihatkan ketidakmantapan tanpa henti. Singa ini atau singa itu akan mati, namun singa pada umumnya, yakni ide singa, tinggal tetap. Begitupula gambar segitiga dipapan tulis dapat dihapus, tetapi ide segi tiga sama sekali tidak terjamah. Ide-ide itu abadi.
Dengan teori dua dunianya ini, Plato berhasil mendamaikan pertentangan antara pemikiran Herakleitos dan Parmenides. Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, Herakleitus berpendirian bahwa segala sesuatu senantiasa berubah dan tidak ada sesuatupun yang sempurna sifatnya. Ajaran Plato mengatakan bahwa hal itu memang benar, tetapi hanya berlaku didunia inderawi. Sementara itu menurut Parmenides, “yang ada” segala-galanya itu sempurna, utuh dan mantap. Plato barkata, “itu benar juga, tetapi berlaku hanya untuk dunia rasional atau dunia ide-ide”.
Bagaimana kedua dunia ini saling berhubungan? Menurut Plato ide-ide adalah model (paradigma) bagi berbagai benda konkret. Benda-benda konkret merupakan gambaran tidak sempurna yang menyerupai model tersebut. Kalau partisipasi (mathexis) benda-benda konkret itu pada ide-ide semakin besar atau kalau mereka semakin meniru dan semakin menyerupai ide-ide, semakin indah dan semakin baiklah benda-benda itu. Dengan demikian, Plato membantah pandangan Kaum Sofis, khususnya Protagoras yang berpendapat bahwa pengenalan kita semata-mata bersifat subyektif dan tergantung pada keadaanjiwa kita: manusia adalah ukuran bagi segala-galanya. Plato membantah, “tidak” ide-ide adalah ukuran untuk segala-galanya.
D.    Aristoteles
1.     Riwayat Hidup
Aristoteles (384-324 SM) dilahirkan di Stagira (wilayah yunani utara, Makedonia), anak seorang dokter pribadi raja Makedonia, kira-kira pada waktu umur 18 tahun, ia dikirim ke Athena untuk belajar pada Plato selama 20 tahun ia menjadi murid Plato. Namun kemudian ia meninggalkan ajaran gurunya itu. “ amicus palto, magic amica veritas (Plato memang sahabatku, tetapi kebenaran jauh lebih akrab denganku)”, kata Aristoteles. Ia menikah dengan Pythias yang memberikan kepadanya seorang putri bernama sama dan seorang putra bernama Nikomachos, yang untuknya kelak Aristoteles menulis buku etika terkenal, ethica nikomacheia.
Pada tahun 343/42 SM, ia menjadi guru Alexander agung. Kemudian ia mendirikan sekolah sendiri yang dinamainya Lykeion, sebab tempatnya dekat halaman yang dipersembahkan kepada dewa Apollo Lykeions. Tahun 323 SM, setelah kematian Alexander, Aristoteles dikejar-kejar oleh pihak yang memusuhi partai Makedonia. Ia nyaris dihukum mati, kemungkinan besar karena tuduhan penghujatan terhadap para dewa. Namun agar orang-orang Athena tidak berdosa untuk kedua kalinya terhadap filsafat, Aristoteles melarikan diri dari kota itu dan tinggal di Kalkhis hingga akhir hayatnya dalam usia 62 tahun.
Aristoteles sama seperti Plato, ia pun senang menulis, namun berbeda dengan tulisan-tulisan Plato yang bergaya sastra dan rasional. Aristoteles lebih mengarah kepada metode empiris, apa yang ditulisnya merupakan hasil telaah lapangan. Hasil karyanya banyak sekali, akan tetapi sulit menyusun karyanya secara sistematis, sebagian orang ada yang membaginya atas 8 bagian, mengenai: logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika, etika, politik, ekonomi, retorika dan poetika. Ada juga yang menguraikan perkembangan aristoteles meliputi tiga tahap, yaitu:
  • Tahap di Academia, ketika masih setia terhadap gurunya, Plato termesuk ajarannya tentang ide
  • Tahap di Assos, ketika ia berbalik daripada Plato, mengkritik ajaran Palate tentang ide-ide, serta menentukan filsafatnya sendiri
  • Tahap ketika ia disekolahannya di Athena, waktu ia berbalik dari berspekulasi kepenyelidikan empiris, mengindakan yang konkrit dan yang individual.
Dari sekian banyak tulisan Aristoteles, sebagian tulisannya hilang tak berbekas, setelah kematiannya pada tahun 322 SM, karya-karyanya nyaris dilupakan orang selama sekitar 200 tahun. Pada abad ke-1 SM, karya-karya itu dibawa keroma dan dipublikasikan oleh Andronikos dari Rhodos. Pada puncak abad pertengahan, karya Aristoteles mendapat tempat istimewa didunia barat (Eropa) lewat orang-orang arab, utamanya lewat Ibn Rushd (1126-1198). Karya-karya Aristoteles kemudian mulai diminati dan dipelajari secara serius disana. Dan pada saat itu orang tidak segan-segan menyebut aristoteles sebagai sang filsuf.
Berikut ini adalah beberapa objek materi pembahasan filsafat Aristoteles, yaitu:
·       Tentang logika
·       Metafisika
·       Ajaran tentang Allah
·       Etika kebahagiaan
·       Negara
·       Seni budaya
Salah satu meteri pembahasan yang berhubungan dengan penolakan Aristoteles terhadap gurunya, Plato, adalah “metafisika”. Dibawah ini, kami akan coba membahas objek kajiannya ini.

2.     Metafisika (Pengetahuan tentang “Yang Ada” Sejauh Ada)
Sebutan “metafisika” sebenarnya hanya suatu sebutan yang kebetulan saja. Istilah ini tidak berasal dari Aristoteles sendiri, melainkan dari Andronikos dari Rhodos ada juga yang mengatakan kata “metafisika” ini berasal dari muridnya yang bernama Nikolaus dari Damaskus abad ke-1 SM. Aristoteles sendiri menyebut ilmu pengetahuan itu “filsafat pertama”. Sebab metafisika merupakan pengetahuan yang mendasari filsafat teoritis. Dalam sejarah filsafat, metafisika atau “filsafat pertama” ajaran Aristoteles ini dinamakan juga ontology, artinya ajaran logos tentang “ yang sungguh-sungguh ada” (ontos on).
Dalam ajarannya tentang metafisika, Aristoteles mengkritik Plato, “ide-ide sama sekali tidak membantu kita, baik untuk mengenali benda-benda maupun untuk memahami ‘yang ada’ dari benda-benda itu. Sebab ide-ide tidak terdapat dalam benda-benda yang (menurut Plato) berpartisipasi padanya. Dengan demikian, perbedaan terpenting antara guru dan murid itu jelas. Aristoteles mau mengoreksi ajaran Plato mengenai dualisme antara dunia ide-ide dan dunia benda-benda konkret. Untuk itu Aristoteles berkata bahwa hakikat suatu benda itu berada dalam benda itu sendiri, jadi bukan dalam segala macam ide ala Plato.
Bagaimana hal ini harus difahami? Aristoteles menjawabnya dengan suatu teori yang dikemudian hari dikenal sebagai ajaran “Hylemorfisme”. Menurut ajaran ini, setiap benda selalu merupakan pengejawantahan dari materi (Hyle) dan bentuk (Morphe). Keduanya merupakan prinsip-prinsip metafisik, jadi keberadaan mereka tidak dapat ditunjuk dengan jari, tetapi harus diandaikan begitu saja, supaya kita dapat mengerti adanya benda-benda jasmani. Materi adalah prinsip yang sama sekali tidak ditentukan, sama sekali terbuka. Materi adalah kemungkinan (potensia) belaka untuk menerima suatu bentuk. Namun dalam kenyataannya materi, selalu mempunyai salah satu bentuk. Adapun bentuk adalah prinsip yang menentukan atau yang menberikan aktualitas pada materi. Bentuk memerlukan materi agar bisa tampak dengan jelas, dan materi membutuhkan bentuk agar dapat mewujudkan kemungkinannya menjadi realitas yang sesungguhnya (aktualitas). Berkat materi suatu benda merupakan benda konkret (misalnya pohon ini), dan berkat bentuk suatu benda konkret mempunyai kodrat tertentu, termasuk jenis tertentu (misalnya pohon, dan bukan binatang). Menurut Aristoteles, segala ‘yang ada’ berkembang dari suatu kemungkinan menjadi kenyataan.
Untuk lebih memahami tentang ajaran ini, marilah kita ambil contoh dari “patung kuda kayu” terdapat dua unsur yang menyatu sekaligus dalam patung kuda itu yakni kayu dan rupa. materi dalam benda konkret itu adalah kayu, sedangkan kuda adalah bentuk. Jadi bentuk tidak pernah lepas dari bahan dan bahan tidak pernah lepas dari bentuk.
Dengan demikian jelas, bahwa bagi Aristoteles, hakikat suatu benda tidak berada diluar, melainkan didalam benda itu sendiri. dengan kata lain hakikat suatu benda bukan terletak pada ide-ide yang terletak entah dimana nan jauh di alam seberang sana (melawan Plato) melainkan mengejawantahkan dirinya secara riil dan secara bertahap dalam serangkaian kejadian atau penampakan. Sebab Aristoteles menekankan adanya gerak atau proses perkembangan dalam setiap benda.
Perubahan dan gerak dalam arti yang lebih luas mencakup hal”menjadi” dan “binasa” serta segala perubahan lainnya, baik dibidang bilangan maupun dibidang mutu dan dibidang ruang. Tiap gerak sebenarnya mewujudkan suatu perubahan dari apa yang ada sebagai “potensi” keapa yang ada “secara terwujud”. Oleh karena itu setiap gerak mewujudkan suatu perpindahan dari apa yang ada sebagai potensi keapa yang ada secara terwujud. Dari dirinya sendiri apa yang ada secara terwujud tidak dapat mengusahakan perubahannya. Untuk itu diperlukan adanya suatu penggerak yang pada dirinya sendiri memiliki kesempurnaan, yang tidak perlu disempurnakan. Penggerak pertama yang tidak digerakan oleh penggerak yang lain. Kuasanya tak terhingga dan kekal, tidak berasal dari dalam dunia, sebab didalam jagat raya ini tiap gerak digerakkan oleh sesuatu yang lain. Penggerak pertama ini adalah Allah. Ialah yang menyebabkan gerak abadi, yang tidak digerakkan, karena terbebas dari materi. Allah adalah aktus purus, aktus murni.
Ajaran tentang gerak ini pertama-tama diterapkan didalam dunia gejala yang berubah-ubah ini. Didalam dunia inilah kita menghadapi pengertian-pengertian tentang “yang ada sebagai potensi” dan yang ada “secara terwujud”. Dan kedua ini adalah sebutan yang melambangkan dari materi (hule) dan bentuk (morfe). Bentuk “ada” atau asas “ada”(morfe) telah kita temui pada Plato, yaitu idea. Akan tetapi ide bagi Plato adalah pola segala sesuatu yang tempatnya diluar dunia ini, yang berdiri sendiri, lepas dari benda yang konkrit yang ada hanyalah penerapannya. Bagi Aristoteles ide adalah asas yang imanen atau yang berada didalam benda yang konkret, yang secara sempurna menentukan jenis benda itu disebut demikian (meja, kursi dll).

Materi (hule) dalam arti yang mutlak adalah asas atau lapisan bawah yang paling akhir dan umum. Tiap benda yang dapat diamati disusun dari padanya. Oleh karena itu materi perlu mutlak bagi pembentukan segala sesuatu. Materi pada dirinya, artinya lepas dari segala bentuk, tidak memiliki kenyataan, bukan hal yang berdiri sendiri. Sekalipun demikian materi bukan hal yang “tidak ada” sama sekali. Materi adalah kenyataan yang belum terwujud atau menjadi ditentukan oleh bentuk. Padanya ada kemungkinan untuk menjadi nyata, karena kekuatan yang membentuknya. Dilain pihak bentuk, yang dapat menjadikan materi menjadi nyata, bukanlah pola yang kekeal dari segala hal yang nyata, bukan hany ide Plato akan tetapi sekaligus juga menjadi tujuan yang akan dicapai materi, dan kekuatan yang menjadikan materi yang belum terbentuk menjadi nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar