FILSAFAT
ISLAM AL-GHAZALI DAN PEMIKIRAN FILSAFATNNYA
A. Biografi
dan Pendidikan Al-Ghazali
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad,
Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan
wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah
memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf
yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang
bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka
ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan
belajar Imam Ghazali. Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada
tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di
negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang
merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar
Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya,
maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia
mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat
menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq
(logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam
Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”.
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali
meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar, ia pergi ke Mu’askar untuk
melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani
Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang
ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali.
Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M.
Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di
kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama
4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik
yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri
dari keramaian.
Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi
Nizamiyah ia juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam
dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam
masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung
lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik
pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara
musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah
pertemuan al-Ghazali dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik
Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang
sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib
al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand,
Persi. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah
Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali,
merupakan orang-orang yang selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada
al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang terkenal. Dalam hal
ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah
Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan
pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M).
Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di
mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi
penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham
Al-Muluk.
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh
Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik
dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi
permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang
berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya
aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat
dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum,
shingga simapti masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat
direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi
sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan
pengaruhnya untuk membuat kekacauan.
Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam
memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah
untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam
kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang
pernah ia singgahi dan terobosan yang ia
lakukan antara lain:
a. Ketika
ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4
(empat) tahun.
b. Ia
meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2
(dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri,
akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di
mesjid Damaskus.
c. kemudian
ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di
mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama
dari Allah.
d. Tidak
lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai
Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099
M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan
kebesaran Islam sesudah Baghdad.
e. Dari
Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana
ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama
Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan
pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk
pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang
ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia
menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
f. Selanjutnya
ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini
khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk
melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya.
B. Karya-Karya
Al-Ghazali
Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam,
tentunya ia sangat tekun untuk menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis
al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis
sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang berapa jumlah
buku yang dikarang oleh al-Ghazali seperti halnya yang dilakukan oleh
Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul
Muallafat Al-Ghazali.Dala buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan
kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok.
Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang
terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai
karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat
dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.
Mengenai kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali
meliputi bidang ilmu yang populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir
al-Qur’an, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih, tasawuf, mantiq, falsafat, dan
lainnya.
1) Ihya
Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama)
Ini merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya
selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara syam, Yerussalem,
Hijaz dan Yus, dan yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafat,
bukan saja terkenal di kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia Barat dan
luar Islam.
2) Tahafut
al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).
3) Al-Munqidz
min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
Kedua kitab ini , yaitu Tahafut al-Falasifah dan
Al-Munqidz min Adh-Dhalal merupakan kitab yang memuat di dalamnya tentang
permasalahan adanya peperangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd),
disebabkan sikap al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai
mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu :
· Pengingkaran
terhadap kebangkitan jasmani.
· Membatasi
pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja,
· Adanya
kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.
4) Al-Iqtashad
fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam)
5) Jawahir
Al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an),
6) Mizan
Al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan),
Dalam buku ini, juga menyepakti bahwa persoalan yang
tiga hal dalam kitab Tahafut
al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan
orang-orang tasawuf juga. Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ‘ala Ghairi Ahlihi, ia
mengakui qadimnya alam.
7) Al-Maqasshid
Al-Asna fi Ma’ani Asma’illah Al-Husna (tentang arti nama-nama Tuhan),
8) Faishal
At-Tafriq Baina Al-Islam Wa Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq),
9) Al-Qisthas
Al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).
10) Al-Mustadhhir,
11) Hujjat
Al-Haq (dalil yang benar),
12) Mufahil
Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah ushul ad-din),
13) Kimiya
As-sa’adah (menerangkan syubhat ahli ibadah),
14) Al-Basith
(fiqh),
15) Al-Wasith
(fiqh),
16) Al-Wajiz
(fiqh),
17) Al-Khulasahah
Al-Mukhtasharah (fiqh),
18) Yaqut
At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil (tafsir 40 jilid),
19) Al-Mustasfa
(ushul fiqh),
20) Al-Mankhul
(ushul fiqh),
21) Al-Muntaha
fi ‘ilmi Al-Jadal (cara-cara berdebat yang baik),
22) Mi’yar
Al-‘ilmi,
23) Al-Maqashid
(yang dituju),
24) Al-Madnun
bihi ’ala Ghairi Ahlihi,
25) Misykat
Al-anwar (pelajaran keagamaan),
26) Mahku
An-Nadhar,
C. Pemikiran
Filsafat Al-Ghazali
a. Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari
karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah
mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa
mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan
bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat
sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan
bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu
logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya
yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang
meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai
menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil
kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf
tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang
hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika
(thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali
tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang
lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada
pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan
dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih
dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
b. Iradat
Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali
berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata,
tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan
penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak
merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom)
yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan
undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu
dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan
dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan
waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan
iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala
kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa
sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali
seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat
Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari
kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak
mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala
sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga
dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka
menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar
dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak
bisa terbakar oleh api.
c. Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus
dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata
lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan
pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal
“Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat
al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih,
pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan
sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap
Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan
menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip
filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang
tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia,
dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa
kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang
berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang
termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh,
tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna
mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa
yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.
D. Pandangan
Al-Ghazali terhadap Filsafat
Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan
berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi
filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin
dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah
terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato,
Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan
kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya,
ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi
..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan
agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini
bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi
keindahan ...”
Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa
al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan
pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.
Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan
sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu
menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum
Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang
keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru
menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan,
bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan
menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat
orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?
Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal,
al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:
1. Filosof
Materialis (Dhariyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya
Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.
2. Filosof
Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai
penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup
banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya
Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari
Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa
sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3. Filosof
Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato
dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya
(Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari
sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang
kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran
ini di dunia Islam.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para
filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut
diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia
membaginya menjadi 20 bahagian, antara lain:
1. Membatalkan
pendapat mereka bahwa alam ini azali,
2. Membatalkan
pendapat mereka bahwa akal ini kekal,
3. Menjelaskan
keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam
ini diciptakan-Nya,
4. Menjelaskan
kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,
5. Menjelaskan
kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,
6. Membatalkan
pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak
terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah
mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9. Menjelaskan
kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya,
10. Menjelaskan
pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak
berakhir),
11. Menjelaskan
kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya
12. Menjelaskan
kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui
zat-Nya,
13. Membatalkan
pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat,
14. Menjelaskan
pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan
kemauan-Nya,
15. Membatalkan
apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,
16. Membatalkan
pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,
17. Membatalkan
pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum
alam,
18. Menjelaskan
pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri
sendiri tidak mempunyai tubuh,
19. Menjelaskan
pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia,
20. Membatalkan
pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang
akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh. [16]
Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah
tersebut ada tiga hal yang bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir,
antara lain :
a. Alam
semesta dan semua substansi qadim.
Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini
qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas
ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi
zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih
dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian
berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam
belum ada.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim
(tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat
dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam
membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan
Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas
menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan
segala isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada
awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam
maka alam ada di samping adanya Tuhan.[17]
Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof
mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam
sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara
itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya.
Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah berfungsi membedakan
(memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu
bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat
antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada suat sifat khusus
yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikata para filosof Muslim
menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama
lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu
diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali
sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka
filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus
diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang
bertindak secara aktual. ”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa,
dan Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang
ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki
dan dalam bentuk yang Dia kehendaki”.
Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan
tentang qadimnya alam hanya sebuah perbedaan penafsiran antara teolog Muslim
dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari
tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa
timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang
lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun,
mesti qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan
tidak di batasi oleh zaman. Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam
dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu alam ini qidam pula.
Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim
dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada
perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari
energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru.
Agaknya, interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modren.
Menurut ilmu fisika modren, antara energi dan materi
tidak bisa lagi ditarik garis pemisah yang tegas, energi dapat berubah menjadi
materi dan materi dapat berubah menjadi energi. Dengan kata lain, energi ialah
materi yang direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang dipadatkan.
b. Tuhan
tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di
alam.
Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui
juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman
yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan
filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut
al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai
Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui
yang selain-Nya.
Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh
al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan
kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada
objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa
perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak
berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada
di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian
berpindah lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu,
bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa)
semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami
perubahan.
Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan
dalil-dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik
yang besar atau yang kecil.
Dalil
pertama:
وَمَا
تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ
إِلا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ
مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ
وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya:
”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al
Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi
atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun
sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan
tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab
yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)
Dalil
kedua :
قُلْ
أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا
فِي الأرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم
Artinya:”Katakanlah:
"Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal
Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).
Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas
segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang
universal, bukan perkara yang kecil (partikular). Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah
ucapan seperti di bawah ini :
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para
filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal,
tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah
menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan ketidakberimanannya mereka.
Maka yang benar adalah ”tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi
yang luput dari pengetahuan-Nya.”
Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan
berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i
(parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk
materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully, mencakup berbagai
jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat diketahui melalui akal. Allah
bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera
untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para
filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.
c. Pembangkitan
Jasmani Tidak Ada.
Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan
dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani
(jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya
kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani.
Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di
dunia saja.
Kesesuaian suasana rohani maka ketika dibangkitkan
nanti saat di akhirat bersifat rohani pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani
tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan. Dalam mengulas alasan-alasan, mereka
mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan. Pertama,
manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan
oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang
mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup,
yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada,
dan badan tidak ada pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan
mengembalikan badan yang sudah tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan
mengembalikan hidupnya yang sudah tidak ada. Dalam perkataan lain, badan
manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk
manusia dan diberikan hidup kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh)
manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di
dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri
dengan lengkap. Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan,
baik badan dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain
samasekali. Jadi, yang dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya)
tidak terpenting, sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan
karena bendanya (badannya).
Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat
bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad ketika keduanya telah
berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti
kehidupan telah berakhir dan tubuh
menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama
dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya
suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi
kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan
pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan
lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat
kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya.
Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah
proses yang panjang, seperti panjangnya
proses kapas hingga menjadi kain.
Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan
al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada
kehidupan rohani saja. Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad
dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia
untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga
dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali, bukanlah
kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah
pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman
demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan
al-Hadits, karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan
dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :
”... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan
seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia
tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari
badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan
bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu
benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual
karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak
adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum
yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga
mengatakan; banyak hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan
adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya
kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan
dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula
maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh
manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi
gemuk, dan seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk
jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa
menciptakan segala sesuatu. dan dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit
bagi-Nya menjadikan setetes sperma
menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf,
otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit
berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang
berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan
rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.
Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof
Muslim kalau di kaji secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah
perbedaan Interprestasi karena bedanya
titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan
Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah
Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan
kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para
filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh
pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari
al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada
kebangkitan.
d. Pandangannya
terhadap Ilmu
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia,
karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam
prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat sebuah
karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul
Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan
sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai
bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak
menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang
bersangkutan dengan syari’at.
Pada karyanya
yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min
Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :
”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu
manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu
(pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus
ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu
sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk
mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk
mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi)
yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya
adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham
yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang
luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan
(teori Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the
Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal (timbangan amal), al-Ghazali
mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :
1. Pembagian
ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
2. Pembagian
pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang
dicapai (hushuli).
3. Pembagian
atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
4. Pembagian
ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu
kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang
telah diuraikannya, yang paling luas di bahas olehnya dalam melakukan
pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan
religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas
sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.
Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan
terlihat pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya
banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat,
karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan
yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan
akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali
banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak
melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf
inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh
al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air
yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil
argumen-argumen ilmu kalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar