1.
Biografi
Dan Pendidikan Al-farabi
Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ibn
Muhammad IbnTarkhan ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij, distrik Farab (sekarang
dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana). Turkistan pada tahun 257 H /870 M.
Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Ia
dikenal dikalangan Latin Abad Tengah dengan sebutan Abu Nashr (Abunaser),
sedangkan sebutan nama al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia
dilahirkan. Al-Farabi mempunyai sebutan layaknya sebutan nama bagi orang-orang
Turki, ini dikarenakan ibunya bersal dari negara Turki.
Sejak kecil al-Farabi sudah tekun dan rajin belajar,
apalagi dalam mempelajari bahasa, kosa kata, dan tutur bahasa ia telah cakap
dan luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan
sangat ia pahami. Malah sebaliknya, bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa
ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak ia kuasai. Ada sebuah pendapat yang
mengatakan bahwa Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi
yang dia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa; Arab, Persia, Turki, dan
Kurdi.
Menurut literatur, al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi
ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Ia
belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar al-Saraj dab belajar logika serta filsafat kepada
seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia
kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailani. Tetapi tidak berapa lama di
Harran, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama di
Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang,
dan mengulas buku-buku filsafat. Dalam dunia intelektual Islam ia mendapat
kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (guru kedua), sedangkan yang
menjadi guru pertama adalah Aristoteles yang menyandang delar al-Mu’allim
al-Awwal (guru pertama), selain itu al-Farabi juga meyandang predikat al-Syaikh
al-Rais (Kiyai Utama), gelar-gelar ini didapatkan karena ia banyak memamhami
filsafat Aristoteles.
Sebagai seorang filosof yang ternama, dalam hidupnya
ia dikenal seorang yang tidak berkecimpung di dunia politik pemerintahan. Atas
dasar inilah ia mendapatkan sebuah kebebasan dalam mengeluarkan pemikirannya
yang tidak terikat dengan dogma-dogma yang berbau politik di kala itu. Satu
sisi menguntungkan dirinya, tetapi kalau dilihat dari segi pemerintahan maka ia
juga rugi karena kurangnya pengalaman dalam mengelola urusan kenegaraan, juga
untuk menguji teori-teorinya terhadap kenyataan politik di kala itu.
2.
Karya-karyanya
Di antara pemikiran al-Farabi dituliskan menjadi
sebuah karya, namun ciri khas karyanya al-Farabi bukan saja mengarang
kitab-kitab besar atau makalah-makalah, ia juga memberikan ulasan-ulasan serta
penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al-Dfraudismy dan Plotinus. Di
antara ulasan al-Farabi terhadap karya-karya mereka adalah sebagai berikut:
a.
Ulasannya
terhadap karya Aristoteles
1.
Burhan
(dalil),
2.
Ibarat
(keterangan),
3.
Khitobah
(cara berpidato),
4.
Al-Jadal
(argumentasi/berdebat),
5.
Qiyas
(analogi),
6.
Mantiq
(logika)
b.
Ulasannya
terhadap karya Plotinus ”Kitab
al-Majesti fi-Ihnil Falaq”,
c.
Ulasannya
terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy tentang ”Maqalah Fin-nafsi”.
Sedangkan
karya-karya nyata dari al-Farabi lainnya :
a.
Al-Jami’u
Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails
(pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles),
b.
Tahsilu
as Sa’adah (mencari kebahagiaan),
c.
As
Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan),
d.
Fususu
Al Taram (hakikat kebenaran),
e.
Arro’u
Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan),
f.
As
Syiasyah (ilmu politik),
g.
Fi
Ma’ani Al Aqli,
h.
Ihsho’u
Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu),
i.
At
Tangibu ala As Sa’adah
j.
Isbatu
Al Mufaraqat,
k.
Al
Ta’liqat.
3.
Pemikirannya
a.
Filsafat
Emanasi
Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi
yang di dapatnya dari teori Plotinus apabila terdapat satu zat yang kedua
sesudah zat yang pertama, maka zat yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari
yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar
yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama
ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang
bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form (surat) sesuatu, di mana sesuatu
itu, keluar darinya.
Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba
menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat
Maha-Satu, tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha
Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat Tuhan,
bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu? Menurut
al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari
al-Farabi karena ia menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya
banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti materi dan
Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan
Penggerak Pertama (prime cause), ini telah dikemukakan oleh Aristoteles. Di
dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta (Shani,
Agent), yang menciptakan dari tiada menjadi ada (cretio ex nihilo). Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya
mencoba untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat
doktrin Neoplatonis Monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang
dianggap penggerak Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu
dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dalam arti, Allah menciptakan alam
semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan
materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, meneurut filosof Muslim, Kun
(jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu)
bukan kepada La syai’ (nihil).
Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Surat Yasin ayat
82.
إِنَّمَا
أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia
menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka
terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).
Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir
tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan
merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul
wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal
pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua
berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga
(wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).
a.
Wujud
II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah Langit
Pertama (al-Asmaul awwal),
b.
Wujud
III / Akal kedua menimbulkan Wujud
IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),
c.
Wujud
IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus,
d.
Wujud
V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,
e.
Wujud
VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,
f.
Wujud
VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,
g.
Wujud
VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,
h.
Wujud
IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,
i.
Wujud
X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.
Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada pemikiran
Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal.
Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi
dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan
kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang
berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula,
kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari
Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah
benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi
menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauhdan bintang-bintang tetap. Ia
menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh , sembilan di antaranya untuk mengurus
benda-benda langit yang sembilan, sedangkan akal sepuluh yaitu akal bulan yang
mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal itu saling berurutan, maka pada
Tuhan, yaitu Wujud Pertama yang hanya terdapat pada satu objek pemikiran yaitu
zat-Nya saja. Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran yaitu
Tuhan dan diri akal itu sendiri. Pemikiran akal pertama dalam kedudukannya
sebagai Wajibul Wujud karena Tuhan, dan sebagai Wujud yang mengetahui Tuhan,
keluarlah akal kedua dan seterusnya.
b.
Filsafat
Metafisika
Mengenai pembicaraan filsafat metafisika ini, seperti
para filosof lainnya, yakni membahas tentang masalah ke-Tuhanan. Al-Farabi
membagi ilmu Ketuhanan menjadi 3 (tiga) yaitu: pertama, membahas semua wujud
dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud. Kedua, membahas prinsip-prinsip
burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (paticulars), yaitu ilmu yang berdiri
sendiri karena penelitiannya tentang Wujud tertentu. Ketiga, membahas semua
Wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu?
Kemudian terlebih dahulu dibahas apakah Wujud serupa itu ada atau tidak,
kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa Wujud serupa itu ada. Apakah Wujud
serupa itu sedikit atau banyak? Apakah Wujud serupa itu berketerbatasan atau
tidak? kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa keterbatasan.
Al-Farabi ketika menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan),
menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa
al-Maujud al-Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam pemikiran
adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud.
Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak ada
alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada,
ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah
Wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud itu tidak ada, akan timbul kemustahilan
karena Wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan
Tuhan. Adapun mumkin al-Wujud tidak akan berubah menjadi Wujud Aktual tanpa
adanya Wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi
Wajib al-Wujud. Walaupun demikian, mustahil terjadi daur dan tasalsul
(processus in infinitum) karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada
Wajib al-Wujud.
c.
Filsafat
ke-Nabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat
hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam
agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi
diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki
oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah
yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan
Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan
oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar
dari nafsunya sendiri. Allah berfirman
pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى * عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang
sangat kuat.”
Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan
eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa besar, dan membawa
pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan
akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini disebabkan adanya
pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu
Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya
tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW. Di antara
kritikan yang di gambarkan olehnya adalah: pertama, Nabi sebenarnya tidak
diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan manusia akal tanpa
terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan
dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan
larangan-Nya. Kedua, ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak
ada bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan
tempat-tempat lainnya. Ketiga, mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang
hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa bertasbih dan
srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang
Badar dan mengapa dalam perang Uhud tidak. Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat
dan bukan persoalan yang luar biasa. Orang yang non-Arab jelas saja heran
dengan balaghah al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab
dan Muhammad adalah Khalifah yang paling Fasahah dikalangan orang Arab.
Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci,
lebih berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku
Astronomi, logika dan obat-obatan menurutnya.
Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat
yang sangat bertentangan dengan al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut.
Dalam ajaran Islam, al-Qur’an adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber
inspirasi yang benar, dapat diterima akal, dipercaya melalui keyakinan, dan
sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu berarti ia telah
menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan ini dipandang sebuah
pelanggaran dalam kehidupan. Dalam al-Qur’an ada dijelaskan:
ذَلِكَ
الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
”Kitab
(Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (Q.S.
al-Baqarah: 2-3)
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat
berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu ”ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi
ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal
Fa’al dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu
tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang
dalam penjelasan al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat
berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat
daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni
dari Akal kesepuluh.”
Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara
filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak
bertentangan dengan pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari
filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan tersesat, karena
antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al
(Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat
al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber
hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad.
Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi
mempunyai potensi untuk berhubungan dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam
keadaan terjaga maupun tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena pada
hakikatnya Wahyu bukanlah sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah
cerita dan kebohongan yang di buat oleh Nabi. Wahyu berisikan firman-firman
Allah, datangnya langsung dari Allah, melalui perantara Jibril, dan melalui
tabir mimpi. Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak dimiliki oleh manusia
lainnya. Ada sebagian manusia yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para
Nabi, maka mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang
mereka mengalaminya ketika tidur, mereka ini di sebut para Auliya. Ada lagi
lebih ke bawah yakni, manusia yang awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali
sehingga tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun
terbangun.
Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori
ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan
dengan keadaan sosial dan kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua
sosok pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah
Negeri, karena keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber
syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara
Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih hubungan dengan Akal Fa’al
melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa
kejiwaan.
Dalam sebuah analisa al-Farabi, ada sebuah kritik yang
dikemukakan A. Hanafi, yang termuat dalam buku Filsafat Islam, yakni:
pertama, teori al-Farabi
telah menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan yang diperoleh
melalui pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya.
Akan tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan
tersebut, sebab selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya
juga sama, maka tentang cara memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan.
Dengan perkataan lain, nilai suatu
kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya, melainkan keppada
sumbernya. Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi dapat
naik ke alam atas melalui pikiran, karena ada pikiran ada kekuatan suci yang
memungkinkannya naik ke alam cahaya, tempat menerima perintah-perintah Tuhan.
Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi
melalui kekuatan pikirannya yang besar.
Kedua, apabila seoarang
Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al melalui pemikiran dan renungan, maka
artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu pengetahuan yang bisa dicapai oleh
setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa dicari (muktasab), sedangkan
menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifat-sifat (keadaan) yang berasal dari
diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bis a dicapai seseorang melalui ilmu dan usahanya,
juga bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan dapat berhubungan dengan
alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang diberikan oleh Tuhan kepada
orang yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-Farabi
berkata; filsafat itu tidak mudah diperoleh, sebab setiap orang bi sa
berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai filsafat yang sebenarnya hanyalah
sedikit saja. Al-Farabi juga menetapkan bahwa seorang Nabi mempunyai imajinasi
yang luar biasa atau kekuatan rahasia tertentu. Boleh jadi menurut pendapatnya,
imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah (mempunyai potensi dari sejak
lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas mengatakan
demikian.
Ketiga, kalau sekiranya
al-Farabi dapat terlepas dari kedua kritik tersebut di atas, maka sukarlah ia
terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran psikologis terhadap Wahyu
banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana Malaikat Jibril turun kepada
Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia biasa kadang terdengar oleh Nabi seperti
bunyi lonceng.
Inilah teori ke-Nabian yang telah dicapainya, kemudian
ia hubungkan dengan persoalan-persoalan sosial dan kejiwaan. Akhirnya ia
membuat sebuah kesimpulan bahwa Nabi adalah seorang yang mempunyai pribadi
shaleh dan mempunyai jiwa untuk memimpin sebuah negeri.
d.
Filsafat
Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan
membuat karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi
mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik.
Sama halnya dengan para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara
yang baik, maka para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang
pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai politik semata.
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat
al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’,
al- Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang
mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia
tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama
dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk
menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah
kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang
fana ini, tetapi juga di akhirat nanti.[19] Pendapatnya ini menyangkut tujuan
hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.
Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua
golongan masyarakat, yakni:
a)
Masyarakat
Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang
mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau
unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar,
maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh
pusatanya.Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga
bahagian, pertama masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang
sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut
perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang
terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut
negara nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri
atas para penghuni satu kota (negara kota).
b)
Masyarakat
Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum
sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil seperti masyarakat yang
penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga.
Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan
adalah keluarga.
Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah,
kategori yang pertama, yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah),
yang mana jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan
seperti satu anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh
sakit, maka tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat
Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan
fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan
sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai
dengan kdan spesialisasi mereka. Fungsi utama dalam filsafat politik atau
pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan
fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara dalam filsafat
politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa
dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara merupakan
sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta
pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad yang dapat berkomunikasi
dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai Wahyu.
Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan
bakat dan kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat
seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala,
dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas
yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan). Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya
kepada sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah peringkat
tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan
Negara dan begitu seterusnya sampai golongan terendah.
Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah memangku
jabatan resmi dalam satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia
kemukakan ini bersifat khayalan semata. Perlu dipahami bahwa seorang filosof
belum akan merasa puas dalam membicarakan sesuatu sebelum sampai pada
hakikatnya, yakni dasar segala dasar. Maka sama halnya dengan filsafat
pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar berfilsafat atau teori untuk
teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar manusia hidup dalam satu
pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga akhirat. Atas dasar ini
pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama filsafat pemerintahan al-Farabi
adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.
Al-Farbi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai
Kepala Negara adalah Nabi/Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur
Negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang
dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah
pimpinan Negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat
dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat
dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri
beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara
bersama harus bersatu memimpin masyarakat.
Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan
orang yang sehat karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu
unsur dengan unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah ibarat orang
yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di Negara
itu. Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya Negera yang fasik,
Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam hal ini, al-Farabi menunjukkan
sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam: pertama,
Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya memperoleh minuman
dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Kedua, Negeri
Kapitalis (baddalah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta
dan benda. Ketiga, Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya
mementingkan kehormatan saja. Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah),
yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya. Keempat,
Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin merdeka
melakukan keinginan masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar