SEJARAH
PEMIKIRAN FILSAFAT; AL-KINDI, AL-FARABI DAN IBNU SINA
Oleh: Muhamad Hipni
A. PENDAHULUAN
Salah satu unsur terpenting dalam diri manusia adalah
karena ia di anugerahi potensi akal yang dapat berfikir dan memecahkan
masalah-masalah kehidupannya. Dan sudah tercatat dalam sejarah, sebuah
peradaban yang pernah tampil di atas pentas kehidupan selalu ditandai dari
meningkatnya taraf berfikir. Perubahan besar yang dialami seluruh kawasan dunia
eropa dan negara-negara barat lainnya dari cengkeraman abad pertengahan menuju
era kebangkitannya atau yang lebih popular dengan masa renaissance adalah
disebabkan karena bangkitnya para pemikir dan filosof untuk menentang kejumudan
berfikir akibat legitimasi doktrinal kalangan gereja dan penguasa-penguasa
dzalim yang mengatas namakan agama demi kekuasaan dan penindasan terhadap
rakyat. Hasil pergulatan antara pemikiran kebangkitan yang dipimpin oleh para
pemikir dan filosof dengan para penguasa dan kalangan gereja tentu telah
melahirkan perubahan mendasar dalam kesejarahan masyarakat eropa. Dan satu hal
yang pasti bahwa setiap pemikiran yang memiliki metode untuk mewujudkannya
dalam realitas kehidupan selalu meraih kemenangan kendati pada permulaannya
dilalui dengan pengorbanan yang sengit dan jalanan yang terjal. Demikian pula yang
terjadi pada pertumbuhan dan peradaban Islam, ia lahir dari jepitan budaya
barbar yang tidak memiliki peradaban apapun, tidak terekam sama sekali oleh
sejarah bahwa masyarakat yang melahirkan peradaban besar tersebut sebelumnya
memiliki prestasi berfikir yang patut dibanggakan dan dapat di analisa menjadi
embrio kelahiran dan benih-benih kemunculan peradaban Islam. Masyarakat
Jahiliyah sebelum Islam datang adalah masyarakat pedalaman yang dikurung oleh
sifat egoisme cultural, pertentangan suku serta kebanggaan terhadap nenek
moyang Kedatangan Rasulullah SAW dengan membawa Risalah yang agung adalah jelas
merupakan satu hal baru bagi masyarakat jahiliyah, oleh karena itu mereka
semula menentang mati-matian. Yang pada gilirannya Islam mampu memberikan pencerahan
pemikiran terhadap mereka sehingga Arab lalu berhasil keluar dari kejumudan
berfikir dan tampil sebagai masyarakat dengan peradaban yang bisa menantang
kepongahan dua adidaya besar yaitu Romawi dan Persia.
Fakta ini mengungkapkan satu rahasia terbesar yang
patut direnungkan dan dikaji secara filosofis bahwa pemikiran adalah hal
terpenting bagi jatuh bangunnya sebuah peradaban. Melalui aktifitas berfikir
ini sebuah masyarakat akan mengalami kemajuan dan kebangkitannya, sekaligus
melalui pola berfikir pulalah sebuah masyarakat justru merosot tajam dan
terhempas dalam keterpurukannya. Berdasarkan kajian secara kritis, maka penulis
sengaja mengetengahkan corak pemikiran para filosof Islam, terutama Al-Kindi,
Al-Farabi dan Ibn Sina. Apakah pemikiran filsafat mereka telah memberikan
kontribusi besar bagi terwujudnya peradaban Islam gemilang dan menjadi sebab
bagi kemajuan-kemajuan yang diraih? Atau eksistensi pemikiran mereka adalah
akibat dari derasnya pemikiran sebagai kelanjutan dari metode berfikir khas Islam,
atau malah justru menambah kerumitan dan problema tersendiri bagi
keberlangsungan peradaban ini.
B. SEJARAH
PEMIKIRAN AL-KINDI
1. Biografi
dan Karyanya
Al-Kindi merupakan salah satu filosof yang merupakan
keturunan Arab asli. ia bernama Abu Yusuf bin Ishak. Silsilah nasabnya sampai
kepada Ya’rub bin Qahthan, yaitu nenek pertama dari suku Arabia Selatan.
Ayahnya Al-Kindi pernah menjadi wali di wilayah kufah pada saat pemerintahan
al-Mahdi dan Harun Al-Rashid. Sedangkan nenek-neneknya adalah para penguasa di
daerah Kindah dan sekitarnya yaitu daerah Arabia Selatan.
Al-kindi mendapatkan kedudukan yang istimewa pada masa
pemerintahan Al-Ma’mun dan al-Mu’tas}im. Bahkan disebutkan ia menjadi guru dari
anak al-Mu’tas}im yaitu Ahnad. Al-Kindi mengalami proses kemajuan berfikir dan
penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Mendalamnya pengetahuan
al-Kindi nampak dalam karyanya yang meliputi berbagai bidang antara lain:
logika, filsafat, geometri, matematika, aritmatika, musik, astronomi dan
lain-lain. Seluruh karyanya dicatat oleh Ibn Nadim sebanyak 241 topik. Dalam
bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik, geometri 23 topik, matematika 13
topik, aritmatika 5 topik, musik 7 topik, astronomi dan perbintangan 45 topik,
geologi 8 topik, medis 22 topik, diskusi 17 topik, psikologi 5 topik, politik
12 topik, dimensi 8 topik, sebab-sebab wujud keduniaan (ahdathiyah) 14 topik
dan lain-lain sebanyak 33 topik.
Namun dari sekian banyak karya al-Kindi tersebut telah
banyak yang hilang dan musnah dan hanya sedikit yang ada hingga sekarang. Di
antara karya-karyanya yang terkenal di temukan oleh seorang orientalis
berkebangsaan Jerman yaitu Hillmuth Ritter di perpustakaan Aya Sofia di
Istambul dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah tersebut membahas tentang
soal-soal alam dan filsafat, antara lain masalah ke esaan Tuhan, akal, jiwa dan
filsafat pertama.
Di
antara unsur-unsur filsafat yang terdapat pada pemikiran al-Kindi adalah
sebagai berikut:
a. Aliran
pythagoras tentang matematika sebagai jalan menuju filsafat
b. Pikiran-pikiran
Aristoteles mengenai masalah fisika dan metafisika, meskipun al-kindi tidak
sepakat dengan pendapat Aristoteles tentang qadim nya alam
c. Pikiran-pikiran
Plato mengenai masalah kejiwaan
d. Pikiran-pikiran
Plato dan Aristoteles mengenai masalah etika
e. Wahyu
dan Iman (ajaran-ajaran agama) menyangkut soal-soal yang berkaitan dengan Tuhan
dan sifat-sifatnya.
f. Aliran
Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat
Al-qur’an.
Selain bidang filsafat, Al-Kindi juga memperhatikan ilmu
falak. Ia menulis buku tentang masalah masalah kedokteran dan obat-obatan.
Sebagian kaum orientalis memilih al-Kindi sebagai satu di antara sepuluh orang
yang mempunyai predikat sebagai puncak pemikir manusia.
2. Pandangan
tentang Integrasi Agama dengan Filsafat
Di tengah pertentangan antara kelompok agamawan yang
anti filsafat dengan para filosof mengenai masalah keagamaan, maka al-Kindi
berupaya memberikan gambaran menyangkut persinggungan antara filsafat dengan
agama. Menurutnya bahwa filsafat adalah sebuah ilmu untuk menemukan kebenaran
sebagaimana agama juga ilmu tentang kebenaran. Oleh karena itu tidak ada
perbedaan antara keduanya. Pandangannya mengenai kesanggupan akal manusia di
dalam menemukan rahasia-rahasia apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah
jelas merupakan pengaruh pemikiran Mu’tazilah. Ilmu filsafat pertama yang
mencakup masalah ketuhanan, ke esaan, keutamaan, dan ilmu-ilmu lain yang
menjelaskan bagaimana memperoleh hal-hal yang bermanfaat dan menjauhkan dari
hal-hal yang merugikan juga dibawa oleh para Rasul Tuhan.
Menurut al-Kindi kita harus mengambil kebenaran
darimanapun kita memperolehnya sekalipun dari bangsa-bangsa yang mungkin amat
jauh dari negeri kita. Orang yang berupaya mencari kebenaran tidaklah lebih
utama dari kebenaran itu sendiri. Bahkan ia menyebutkan bahwa orang yang
mengingkari filsafat adalah orang yang mengingkari kebenaran. Para penentang
filsafat juga menggunakan rumusan-rumusan filsafat ketika mereka memperkuat
argumentasinya tentang tidak perlunya filsafat.
Gagasan Al-Kindi untuk mempertemukan hubungan agama
dengan filsafat juga nampak dari penjelasannya ketika misalnya secara lahiriyah
ada kontradiksi antara ayat di dalam Alqur’an dengan hasil rumusan filsafat
maka yang mesti dilakukan adalah takwil, karena karakter kebahasaan dalam
bahasa arab memiliki dua arti yaitu arti yang sebenarnya dan arti majazi (arti
kiasan). Penarikan makna dari arti kiasan ini tentu harus dilakukan dengan
jalan takwil, dengan syarat harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli agama
sekaligus sebagai seorang pemikir. Kendatipun misalnya ada pertentangan antara
risalah yang dibawa oleh nabi dengan hasil filsafat, maka perbedaan tersebut
hanya mengenai cara, sumber dan ciri-cirinya, karena ilmu nabi-nabi diterima
oleh mereka setelah jiwanya dibersihkan oleh Tuhan dan dipersiapkan menerima
pengetahuan dengan cara yang luar biasa di luar hukum alam. Namun para filosof
haruslah berupaya mencari kebenaran itu dengan sungguh-sungguh dengan cara
mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan menguraikan dengan
sebaik-baiknya.
3. Konsepnya
tentang Filsafat Metafisika
Mengenai pembahasan tentang masalah di wilayah
metafisika, Al-Kindi juga memberikan kontribusi pemikirannya yang tercatat
dalam beberapa risalahnya, di antaranya “tentang filsafat pertama” dan “tentang
keesan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Terkait dengan ini Al-Kindi
mengemukakan pendapatnya mengenai seputar hakikat Tuhan, bukti-bukti wujud
Tuhan dan sifat-sifatNya.
Tentang hakikat Tuhan ia menyatakan bahwa Tuhan tidak
ada permulaan yang menyebabkan ia ada. Tuhan akan selalu ada dan tidak
berakhir, serta menjadi sebab bagi keberadaan wujud yang lain. Kemudian dalam
rangka membuktikan keberadaan Tuhan ia membangun argumentasinya melalui tiga
hal. Pertama, baharunya alam, kedua, Keaneka ragaman dalam wujud dan ketiga,
menyangkut keteraturan alam.
Langkah pertama ketika membuktikan wujud Tuhan dengan
argumentasi baharunya alam ia mengemukakan pendapatnya melalui satu argumentasi
bahwa sesuatu tidak mungkin menjadi sebab bagi wujud dirinya. Dengan demikian
alam semesta ini bersifat baharu dan mempunyai permulaan waktu, sekaligus juga
bersifat terbatas. Berdasarkan argumentasi ini ia menegaskan bahwa Tuhanlah
yang telah menciptakan alam semesta dari tidak ada menjadi ada.
Sedangkan argumentasi kedua mengenai keaneka ragaman
dalam wujud, Al-kindi membuktikan keberadaan Tuhan dengan menyatakan bahwa alam
ini baik yang bersifat inderawi maupun alam lain yang menyamainya, tidak
mungkin ada ke anekaragaman tanpa ada keseragaman, atau sebaliknya ada
keseragaman tanpa ada keanekaragaman. Jika alam inderawi tergabung dalam
keanekaragaman dengan keseragaman secara bersama-sama, maka hal itu bukan
disebabkan karena kebetulan namun karena adanya sesuatu yang menjadi sebab.
Namun sebab tersebut tentu bukan dari alam itu sendiri, karena jika demikian
maka tidak akan ada ujung pangkalnya dan tidak akan pernah berakhir dan itu
adalah mustahil terjadi. Oleh karena itu, sebab tersebut haruslah berada di
luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya. Karena sebab
harus ada sebelum efek atau akibatnya.
Mengenai pembuktian wujud Tuhan melalui argumentasi
keteraturan alam, Al-Kindi mengungkapkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa
alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat yang tidak
nampak. Sedangkan zat yang tidak nampak tersebut hanya bias diketahui
keberadaannya melalui bekas-bekas Nya dan keteraturan yang ada di alam semesta
ini. Langkah argumentasi ini dikenal dengan sebutan “illat tujuan”.
Kemudian pandangan al-Kindi mengenai sifat-sifat
Tuhan, ia mengemukakan pendapatnya bahwa ke esaan Tuhan sebagai salah satu
sifatnya dapat dibuktikan bahwa Tuhan bukanlah materi, bukan bentuk, tidak
mempunyai kuantitas dan juga mempunyai kualitas. Ia tidak memiliki hubungan
ketergantungan dengan yang lain, semisal sebagai ayah atau sebagai anak. Tidak
bisa di sifati dengan apa yang ada dalam pikiran. Ia bukan genus, bukan
differentia (fasal), bukan proprium (Khas), bukan accident (‘arad}), tidak
bertubuh dan tidak bergerak. Oleh sebab itu menurut al-Kindi Tuhan hanya
bersifat Esa saja. tidak ada hal lain kecuali esa semata.
Oleh sebab itu pula, Tuhan bersifat azali, yaitu zat
yang sama sekali tidak ada permulaannya. Keberadaannya tidak tergantung pada
yang lain atau tidak berkaitan dengan sebab. Dengan demikian ia bukanlah subyek
atau predikat. Kesimpulannya Tuhan adalah sebab pertama dimana wujudnya bukan
karena adanya sebab yang lain. Menurut Al-Kindi sifat azali Tuhan juga menuntut
ia tidak bergerak karena dalam gerak memungkinkan adanya pertukaran yang tidak
sesuai dengan wujud Tuhan yang sempurna. Karena zat yang azali itu tidak
bergerak maka zaman atau waktu tidak berlaku padaNya. karena zaman merupakan
bagian dari bilangan gerak. Namun menurut al-Kindi Tuhan memiliki pekerjaan khusus
yang disebut dengan “ibda” yaitu
menjadikan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, namun tidak
mengandung pengertian bahwa ia mempunyai perasaan atau menerima pengaruh.
4. Studi
Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi
Sejarah filsafat yang berkembang di dunia Islam tidak
bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam di tengah-tengah kaum muslimin,
terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah. Al-Kindi merupakan filosof muslim
yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tas}im, dimana pemikiran
Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu. Sehingga amat wajar jika
pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara berfikir dari rumusan logika
yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam metode berfikir. Namun al-Kindi
telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada filsafat daripada sekedar
masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama mutakallimin. Oleh karena itu
ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam yang membuka jalan atas
derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki pemikiran para pemikir
muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya membatasi kajian mengenai
pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan, disebabkan topik yang menjadi
titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran Islam.
Jika kita mencermati pemikiran Al-Kindi mengenai
keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda dari apa yang digagas oleh
ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan Tuhan melalui metode
pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya alam dan keteraturannya.
Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk membuktikan
keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya. Misalnya dengan
proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan makhluknya,
sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk. Dengan
demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya. Berdasarkan
logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa keanekaragaman
mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin terjadi karena
kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia maksud adalah
Tuhan.
Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya bisa berfungsi
melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera ataupun melalui
informasi akurat yang menjamin kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak dapat di
amati secara inderawi maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka
hal yang demikian merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang
keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal
yang dapat dijangkau oleh setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang
arab bahwa tidak akan ada kotoran unta jika tidak ada untanya. Namun ketika ia melampaui batas jangkauan
akal dengan mencoba membahas subtansi zat Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah
ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh
makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat
penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan
berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun
mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian
bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak
lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan
logika sebagai justifikasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar