Rabu, 21 Desember 2016

SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT; AL-KINDI, AL-FARABI DAN IBNU SINA

SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT; AL-KINDI, AL-FARABI DAN IBNU SINA
Oleh: Muhamad Hipni
A.    PENDAHULUAN
Salah satu unsur terpenting dalam diri manusia adalah karena ia di anugerahi potensi akal yang dapat berfikir dan memecahkan masalah-masalah kehidupannya. Dan sudah tercatat dalam sejarah, sebuah peradaban yang pernah tampil di atas pentas kehidupan selalu ditandai dari meningkatnya taraf berfikir. Perubahan besar yang dialami seluruh kawasan dunia eropa dan negara-negara barat lainnya dari cengkeraman abad pertengahan menuju era kebangkitannya atau yang lebih popular dengan masa renaissance adalah disebabkan karena bangkitnya para pemikir dan filosof untuk menentang kejumudan berfikir akibat legitimasi doktrinal kalangan gereja dan penguasa-penguasa dzalim yang mengatas namakan agama demi kekuasaan dan penindasan terhadap rakyat. Hasil pergulatan antara pemikiran kebangkitan yang dipimpin oleh para pemikir dan filosof dengan para penguasa dan kalangan gereja tentu telah melahirkan perubahan mendasar dalam kesejarahan masyarakat eropa. Dan satu hal yang pasti bahwa setiap pemikiran yang memiliki metode untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan selalu meraih kemenangan kendati pada permulaannya dilalui dengan pengorbanan yang sengit dan jalanan yang terjal. Demikian pula yang terjadi pada pertumbuhan dan peradaban Islam, ia lahir dari jepitan budaya barbar yang tidak memiliki peradaban apapun, tidak terekam sama sekali oleh sejarah bahwa masyarakat yang melahirkan peradaban besar tersebut sebelumnya memiliki prestasi berfikir yang patut dibanggakan dan dapat di analisa menjadi embrio kelahiran dan benih-benih kemunculan peradaban Islam. Masyarakat Jahiliyah sebelum Islam datang adalah masyarakat pedalaman yang dikurung oleh sifat egoisme cultural, pertentangan suku serta kebanggaan terhadap nenek moyang Kedatangan Rasulullah SAW dengan membawa Risalah yang agung adalah jelas merupakan satu hal baru bagi masyarakat jahiliyah, oleh karena itu mereka semula menentang mati-matian. Yang pada gilirannya Islam mampu memberikan pencerahan pemikiran terhadap mereka sehingga Arab lalu berhasil keluar dari kejumudan berfikir dan tampil sebagai masyarakat dengan peradaban yang bisa menantang kepongahan dua adidaya besar yaitu Romawi dan Persia.
Fakta ini mengungkapkan satu rahasia terbesar yang patut direnungkan dan dikaji secara filosofis bahwa pemikiran adalah hal terpenting bagi jatuh bangunnya sebuah peradaban. Melalui aktifitas berfikir ini sebuah masyarakat akan mengalami kemajuan dan kebangkitannya, sekaligus melalui pola berfikir pulalah sebuah masyarakat justru merosot tajam dan terhempas dalam keterpurukannya. Berdasarkan kajian secara kritis, maka penulis sengaja mengetengahkan corak pemikiran para filosof Islam, terutama Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibn Sina. Apakah pemikiran filsafat mereka telah memberikan kontribusi besar bagi terwujudnya peradaban Islam gemilang dan menjadi sebab bagi kemajuan-kemajuan yang diraih? Atau eksistensi pemikiran mereka adalah akibat dari derasnya pemikiran sebagai kelanjutan dari metode berfikir khas Islam, atau malah justru menambah kerumitan dan problema tersendiri bagi keberlangsungan peradaban ini.
B.    SEJARAH PEMIKIRAN AL-KINDI
1.     Biografi dan Karyanya
Al-Kindi merupakan salah satu filosof yang merupakan keturunan Arab asli. ia bernama Abu Yusuf bin Ishak. Silsilah nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Qahthan, yaitu nenek pertama dari suku Arabia Selatan. Ayahnya Al-Kindi pernah menjadi wali di wilayah kufah pada saat pemerintahan al-Mahdi dan Harun Al-Rashid. Sedangkan nenek-neneknya adalah para penguasa di daerah Kindah dan sekitarnya yaitu daerah Arabia Selatan.
Al-kindi mendapatkan kedudukan yang istimewa pada masa pemerintahan Al-Ma’mun dan al-Mu’tas}im. Bahkan disebutkan ia menjadi guru dari anak al-Mu’tas}im yaitu Ahnad. Al-Kindi mengalami proses kemajuan berfikir dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Mendalamnya pengetahuan al-Kindi nampak dalam karyanya yang meliputi berbagai bidang antara lain: logika, filsafat, geometri, matematika, aritmatika, musik, astronomi dan lain-lain. Seluruh karyanya dicatat oleh Ibn Nadim sebanyak 241 topik. Dalam bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik, geometri 23 topik, matematika 13 topik, aritmatika 5 topik, musik 7 topik, astronomi dan perbintangan 45 topik, geologi 8 topik, medis 22 topik, diskusi 17 topik, psikologi 5 topik, politik 12 topik, dimensi 8 topik, sebab-sebab wujud keduniaan (ahdathiyah) 14 topik dan lain-lain sebanyak 33 topik.
Namun dari sekian banyak karya al-Kindi tersebut telah banyak yang hilang dan musnah dan hanya sedikit yang ada hingga sekarang. Di antara karya-karyanya yang terkenal di temukan oleh seorang orientalis berkebangsaan Jerman yaitu Hillmuth Ritter di perpustakaan Aya Sofia di Istambul dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah tersebut membahas tentang soal-soal alam dan filsafat, antara lain masalah ke esaan Tuhan, akal, jiwa dan filsafat pertama.
Di antara unsur-unsur filsafat yang terdapat pada pemikiran al-Kindi adalah sebagai berikut:
a.      Aliran pythagoras tentang matematika sebagai jalan menuju filsafat
b.     Pikiran-pikiran Aristoteles mengenai masalah fisika dan metafisika, meskipun al-kindi tidak sepakat dengan pendapat Aristoteles tentang qadim nya alam
c.      Pikiran-pikiran Plato mengenai masalah kejiwaan
d.     Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles mengenai masalah etika
e.      Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) menyangkut soal-soal yang berkaitan dengan Tuhan dan sifat-sifatnya.
f.      Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Al-qur’an.
Selain bidang filsafat, Al-Kindi juga memperhatikan ilmu falak. Ia menulis buku tentang masalah masalah kedokteran dan obat-obatan. Sebagian kaum orientalis memilih al-Kindi sebagai satu di antara sepuluh orang yang mempunyai predikat sebagai puncak pemikir manusia.
2.     Pandangan tentang Integrasi Agama dengan Filsafat
Di tengah pertentangan antara kelompok agamawan yang anti filsafat dengan para filosof mengenai masalah keagamaan, maka al-Kindi berupaya memberikan gambaran menyangkut persinggungan antara filsafat dengan agama. Menurutnya bahwa filsafat adalah sebuah ilmu untuk menemukan kebenaran sebagaimana agama juga ilmu tentang kebenaran. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara keduanya. Pandangannya mengenai kesanggupan akal manusia di dalam menemukan rahasia-rahasia apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah jelas merupakan pengaruh pemikiran Mu’tazilah. Ilmu filsafat pertama yang mencakup masalah ketuhanan, ke esaan, keutamaan, dan ilmu-ilmu lain yang menjelaskan bagaimana memperoleh hal-hal yang bermanfaat dan menjauhkan dari hal-hal yang merugikan juga dibawa oleh para Rasul Tuhan.
Menurut al-Kindi kita harus mengambil kebenaran darimanapun kita memperolehnya sekalipun dari bangsa-bangsa yang mungkin amat jauh dari negeri kita. Orang yang berupaya mencari kebenaran tidaklah lebih utama dari kebenaran itu sendiri. Bahkan ia menyebutkan bahwa orang yang mengingkari filsafat adalah orang yang mengingkari kebenaran. Para penentang filsafat juga menggunakan rumusan-rumusan filsafat ketika mereka memperkuat argumentasinya tentang tidak perlunya filsafat.
Gagasan Al-Kindi untuk mempertemukan hubungan agama dengan filsafat juga nampak dari penjelasannya ketika misalnya secara lahiriyah ada kontradiksi antara ayat di dalam Alqur’an dengan hasil rumusan filsafat maka yang mesti dilakukan adalah takwil, karena karakter kebahasaan dalam bahasa arab memiliki dua arti yaitu arti yang sebenarnya dan arti majazi (arti kiasan). Penarikan makna dari arti kiasan ini tentu harus dilakukan dengan jalan takwil, dengan syarat harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli agama sekaligus sebagai seorang pemikir. Kendatipun misalnya ada pertentangan antara risalah yang dibawa oleh nabi dengan hasil filsafat, maka perbedaan tersebut hanya mengenai cara, sumber dan ciri-cirinya, karena ilmu nabi-nabi diterima oleh mereka setelah jiwanya dibersihkan oleh Tuhan dan dipersiapkan menerima pengetahuan dengan cara yang luar biasa di luar hukum alam. Namun para filosof haruslah berupaya mencari kebenaran itu dengan sungguh-sungguh dengan cara mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan menguraikan dengan sebaik-baiknya.
3.     Konsepnya tentang Filsafat Metafisika
Mengenai pembahasan tentang masalah di wilayah metafisika, Al-Kindi juga memberikan kontribusi pemikirannya yang tercatat dalam beberapa risalahnya, di antaranya “tentang filsafat pertama” dan “tentang keesan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Terkait dengan ini Al-Kindi mengemukakan pendapatnya mengenai seputar hakikat Tuhan, bukti-bukti wujud Tuhan dan sifat-sifatNya.
Tentang hakikat Tuhan ia menyatakan bahwa Tuhan tidak ada permulaan yang menyebabkan ia ada. Tuhan akan selalu ada dan tidak berakhir, serta menjadi sebab bagi keberadaan wujud yang lain. Kemudian dalam rangka membuktikan keberadaan Tuhan ia membangun argumentasinya melalui tiga hal. Pertama, baharunya alam, kedua, Keaneka ragaman dalam wujud dan ketiga, menyangkut keteraturan alam.
Langkah pertama ketika membuktikan wujud Tuhan dengan argumentasi baharunya alam ia mengemukakan pendapatnya melalui satu argumentasi bahwa sesuatu tidak mungkin menjadi sebab bagi wujud dirinya. Dengan demikian alam semesta ini bersifat baharu dan mempunyai permulaan waktu, sekaligus juga bersifat terbatas. Berdasarkan argumentasi ini ia menegaskan bahwa Tuhanlah yang telah menciptakan alam semesta dari tidak ada menjadi ada.
Sedangkan argumentasi kedua mengenai keaneka ragaman dalam wujud, Al-kindi membuktikan keberadaan Tuhan dengan menyatakan bahwa alam ini baik yang bersifat inderawi maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada ke anekaragaman tanpa ada keseragaman, atau sebaliknya ada keseragaman tanpa ada keanekaragaman. Jika alam inderawi tergabung dalam keanekaragaman dengan keseragaman secara bersama-sama, maka hal itu bukan disebabkan karena kebetulan namun karena adanya sesuatu yang menjadi sebab. Namun sebab tersebut tentu bukan dari alam itu sendiri, karena jika demikian maka tidak akan ada ujung pangkalnya dan tidak akan pernah berakhir dan itu adalah mustahil terjadi. Oleh karena itu, sebab tersebut haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya. Karena sebab harus ada sebelum efek atau akibatnya.
Mengenai pembuktian wujud Tuhan melalui argumentasi keteraturan alam, Al-Kindi mengungkapkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat yang tidak nampak. Sedangkan zat yang tidak nampak tersebut hanya bias diketahui keberadaannya melalui bekas-bekas Nya dan keteraturan yang ada di alam semesta ini. Langkah argumentasi ini dikenal dengan sebutan “illat tujuan”.
Kemudian pandangan al-Kindi mengenai sifat-sifat Tuhan, ia mengemukakan pendapatnya bahwa ke esaan Tuhan sebagai salah satu sifatnya dapat dibuktikan bahwa Tuhan bukanlah materi, bukan bentuk, tidak mempunyai kuantitas dan juga mempunyai kualitas. Ia tidak memiliki hubungan ketergantungan dengan yang lain, semisal sebagai ayah atau sebagai anak. Tidak bisa di sifati dengan apa yang ada dalam pikiran. Ia bukan genus, bukan differentia (fasal), bukan proprium (Khas), bukan accident (‘arad}), tidak bertubuh dan tidak bergerak. Oleh sebab itu menurut al-Kindi Tuhan hanya bersifat Esa saja. tidak ada hal lain kecuali esa semata.
Oleh sebab itu pula, Tuhan bersifat azali, yaitu zat yang sama sekali tidak ada permulaannya. Keberadaannya tidak tergantung pada yang lain atau tidak berkaitan dengan sebab. Dengan demikian ia bukanlah subyek atau predikat. Kesimpulannya Tuhan adalah sebab pertama dimana wujudnya bukan karena adanya sebab yang lain. Menurut Al-Kindi sifat azali Tuhan juga menuntut ia tidak bergerak karena dalam gerak memungkinkan adanya pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang sempurna. Karena zat yang azali itu tidak bergerak maka zaman atau waktu tidak berlaku padaNya. karena zaman merupakan bagian dari bilangan gerak. Namun menurut al-Kindi Tuhan memiliki pekerjaan khusus yang disebut dengan “ibda”  yaitu menjadikan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, namun tidak mengandung pengertian bahwa ia mempunyai perasaan atau menerima pengaruh.
4.     Studi Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi
Sejarah filsafat yang berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah. Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tas}im, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu. Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama mutakallimin. Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan, disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran Islam.
Jika kita mencermati pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya alam dan keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya. Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk. Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya. Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia maksud adalah Tuhan.

Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera ataupun melalui informasi akurat yang menjamin kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau oleh setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan ada kotoran unta jika tidak ada untanya.  Namun ketika ia melampaui batas jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi zat Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan logika sebagai justifikasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar