Jika fenomena yang terjadi di alam ini dilihat dari kacamata sains, maka harus
diikuti fakta-fakta logis dan empiris yang menggunakan metode ilmiah, seperti
eksperimen, observasi, dan komparasi.
Bahkan,
cara pandang sains menilai naif pada segala gejala yang di luar nalar. Akal
dianggap tidak mencari sebab dan akhir sebuah kehidupan. Begitulah teori
filsafat aliran positivisme yang menolak aktifitas yang berkaitan dengan
teologis dan metafisik.
Aliran
ini seolah-olah menolak keberadaan kekuasaan Tuhan, maupun metafisika. Atau
setidaknya, boleh dikata dalam padangan aliran ini Tuhan tak campur tangan
dalam soal alam. Padahal, Auguste Comte, filsuf yang menjadi tonggak aliran ini
adalah ilmuan Prancis yang sebagian hidupnya berada dalam lingkungan keluarga
Katolik yang taat.
Filsafat
positivisme ini mulai bergulir sejak abad-19, ini berarti sesudah berkembangnya
filsafat teologi dan metafisika. Kendati demikian, kehadiran filsafat
positivisme tak serta-merta menghapus atau menafikan aliran-aliran filsafat
terdahulu. Filsafat positisme menjadi salah satu aliran tersendiri yang
menambah khasanah keilmuan dan metode berfikir.
Penelitian
ilmiah dengan metode ini berkembang di berbagai negara dengan proses penerapan
yang disesuaikan dengan kondisi setempat.
Sebetulnya,
aliran positivisme tak bisa dikatakan temuan original Comte, sebab sebelumnya
sejumlah filsuf pendahulunya juga memiliki cara pandang yang sama. Hakekat
pembahasan dan pemecahannya sama saja, hanya cara penyebutannya yang berbeda.
Misalnya
Immanuel Kant pada abad ke-17 dengan filsafat rasionalisme dan empirisme,
aliran ini meyakini hanya perangkat inderawi manusia yang menggambarkan
eksistensi segala hal.
Kemudian
ada Rene Descartes. Filsuf Prancis ini memiliki pandangan mekanisnya mengenai
alam semesta, sikapnya yang positif terhadap penjajakan ilmiah, tekanan yang
diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan, pembelaannya
terhadap dasar awal sikap skeptis, dan titik pusat perhatian pada epistemologi.
Lalu ada Galileo Galile dari Italia, serta Sir Isaac Newton dan Sir Francis
Bacon, keduanya Inggris.
Pemikiran
mereka sebangun dengan Comte. Kendati demikian, Comte tetap saja menjadi
pelopor aliran positivisme.
A. Biografi
Auguste Comte
Bernama
lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, ia lahir di Montpellier,
Perancis, 17 Januari 1798. Keluarganya yang bangsawan khatolik, membuatnya
mampu melangkah ke dunia pendidikan. Semula ia sekolah Ecole Polytechnique di
Paris. Saat itu, perguruan ini terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis
republikanisme dan filosofi proses. Setelah sekolah itu tutup pada 1816, Comte
pindah ke sekolah kedokteran di Montpellier.
Belakangan
ia meninggalkan Paris, sebab menemukan sesuatu yang tak bisa diterima akal
sehatnya tentang perbedaan antara agama Katolik dengan pemikiran keluarga
monarki yang berkuasa saat itu. Lalu, pada 1817, ia berguru pada Calude Henri
de Rouvroy, seorang sosialis yang ide-idenya sangat berperan mempengaruhi
pemikiran positivisme, marxisme, dan Thorstein
Veblen.
Dari
sinilah Come masuk ke wilayah intelektual. Terpengaruh pada gurunya itulah
Comte meneliti filosofi positivisme. Salah satu karyanya berjudul Plan de
Travaux Scientifiques Necessaires Pour Reorganiser la societe (Rencana studi
ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat) pada 1822. Namun, penelitiannya
sempat terseok-seok sebab ia tak mendapat posisi akademis. Kendati demikian, ia
tetap bisa melanjutkannya dengan bantuan sponsor dan beberapa temannya.
Comte
juga pernah dirawat di rumah sakit jiwa pada 1826, ia kabur saat menjalani
perawatan. Ia sembut setelah dirawat isterinya, Caroline Massin. Kemudian pada
1842 menerbitkan bukunya yang berjudul Le Cours de Philosophie Positivistic.
Lalu ia menerbitkan bukunya yang berjudul Systeme de Politique Positive pada
1851. Enam tahun kemudian, Comte wafat. Jasadnya dimakamkan di Cimetiere du
Pere Lachaise.
1. Proses
Positivisme
Terbangunnya
sebuah visi yang komprehensif tentulah lahir dari sebuah pemikiran sangat
matang. Ini tidak terlepas dari lingkungan dan masa yang mempengaruhi suatu
perenungan. Begitulah konsep yang terbangun pada diri Auguste Comte dengan
gagasan tentang filsafat positivisme.
Ini
bisa dilihat dari perjalanan hidupnya. Ia menghabiskan masa kecilnya dalam
lingkungan bangsawan katolik, di samping itu keadaan negeri Prancis masih
berada dalam genggaman Raja Louis XVI. Saat puncak krisis yang melanda Prancis
yang telah berada di bawah pemerintahan monarki absolut selama berbad-abad.
Menginjak
masa remaja, Comte yang sudah masuk ke dunia pendidikan tinggi di Ecole
Polytechnique di Paris dan kedokteran di Montpellier. Pola fikir yang telah
terasah dengan daya nalar yang tajam tentu terganggu dengan kondisi negaranya
yang berada di bawah pemerintahan monarki absolut yang memang dilanda revolusi.
Dikenal dengan Revolution Francaise, masa ini menjadi periode sosial radikal
pergolakan politik yang meluas hingga ke seluruh Eropa.
Pada
diri Comte, bisa dilihat dua sisi yang juga bergejolak. Di satu sisi dia
melihat sistem pemerintahan bobrok dan korup yang merampas hak-hak kemanusiaan,
di sisi lain agamanya mengajarkan tentang keadilan dan kasih sayang. Padahal di
masa itu, masih dipercaya bahwa raja sebagai wakil Tuhan dalam memelihara
kemaslahatan masyarakat. Dua paham yang sangat bertolak belakang itu
menyebabkan ia hengkang dari Paris, kemudian berguru pada Claude Hendri de
Ruvroy yang lebih dikenal dengan nama Saint-Simon, pada 1817.
Saint
Simon ini seorang sosialis di Prancis. Ilmuan inilah yang menganjurkan bentuk
sosialisme teknokratis, yaitu perekonomian dikelola dan dipimpin para
industrialis dan para ahli yang diangkat berdasarkan prestasi. Ide-ide Simon
ini tentu saja mempengaruhi pemikiran Comte, hingga lahirlah filsfat
positivisme.
Dari
kenyataan hidup dan proses belajar serta perkembangan keilmuan yang
dimilikinya, Auguste Comte mengemukakan teori mengenai perkembangan akal budi
manusia yang secara linier bergerak dalam urutan yang tidak terputus. Bermula
dari tahap mistis (teologis) kemudian metafisis, lalu tahap positif.
Tahap
Teologis. Comte membagi tiga macam pola pikir manusia dalam tahap teologis ini.
Pertama animisme, di sini manusia belum mengenal konsep umum pada
makhluk-makhluk. bahkan menganggap tiap benda atau makhluk merupakan satu sosok
individu yang berbeda dengan yang lain. Setiap benda memiliki rohnya
masing-masing. Pola fikir seperti ini ada dalam manusia purba. Animisme ini
jamak dilihat dalam proses sesajen pada pohon-pohon besar. Bahkan di Indonesia
hal semacam ini masih hidup di beberapa daerah, misalnya di Kalimantan pada
suku dayak, dan di Nias, Sumatera Utara.
Kemudian,
yang kedua adalah politeisme. Di sini pemikiran manusia mulai berkembang, roh
tidak lagi berada di tiap benda, namun ada pada kelompok benda yang memiliki
kesamaan tertentu. Secara harfiah, polteisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu
poly theoi yang berarti banyak Tuhan. Politeisme adalah kepercayaan pada
dewa-dewa. Tujuan beragama dalam politeisme bukan hanya memberi sesajen atau
persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa kepada
mereka untuk menjauhkan amarahnya dari masyarakat yang bersangkutan.
Selanjutnya,
adalah monoteisme. Di sini manusia sudah mempercayai hanya ada satu roh yang
mengendalikan alam ini, itulah Tuhan. Cara berpikir ini memiliki pengaruh yang
besar pada perkembangan budaya, sosial, dan pemerintahan, hingga sekarang ini.
Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang kemudian dijadikan
pedoman hidup masyarakat.
a. Tahap
Metafisis. Comte menyebutkan tahap metafisis ini sebagai modifikasi dari teologis,
atau tahap peralihan. Manusia mulai merombak cara berfikir, mencari penerangan
yang logis dan berusaha keras menggali hakikat atau esensi dari sesuatu.
Analisis berfikir ditingkatkan, adapun dogma agama dan irasionalitas mulai
ditinggalkan.
Pada tahap metafisis ini manusia mencari sebab pertama
dan tujuan akhir dari kehidupan. Manusia mulai bertanya-tanya dan mulai untuk
mencari bukti-bukti yang nyata terhadap pandangan suatu doktrin.
b. Tahap
metafisik menggunakan kekuatan atau bukti yang nyata yang dapat berhubungan
langsung dengan manusia. Ini adalah abad
nasionalisme dan kedaulatan umum sudah mulai tampak.
c. Tahap
Positif. Pandangan hidup yang awalnya
didasarkan pada dogma agama, sekarang beralih digantikan ilmu pengetahuan
positif. Pada tahap ini, Comte menafikan segala sesuatu yang non-inderawi. Ia
mengakui bahwa cara pandang itu sebangun dengan pendahulunya seperti Immanuel
Kant, Rene Descartes, Galileo Galile, Sir Isaac Newton dan Sir Francis Bacon.
Pandangan
mereka, pengetahuan hanya yang didasarkan pada fakta-fakta logis dan empiris,
dan fakta-fakta tersebut harus didekati dengan menggunakan metode ilmiah, yakni
eksperimen, observasi, dan komparasi.
Comte
mengatakan bahwa pengetahuan yang tidak berdasarkan fakta-fakta positif dan
mendekatinya tidak dengan metode ilmu pengetahuan, itu fantasi atau spekulasi
liar. Jenis pengetahuan spekulasi atau fantasi liar inilah yang disebutnya
teologi dan metafisika.
Menurut
Comte, semua gejala dan kejadian alam dijelaskan berdasarkan observasi,
eksperimen, komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus
dibersihkan dari muatan teologis dan metafisis. Akal tidak lagi berorientasi
pada pencarian pada sebab pertama dan tujuan akhir kehidupan.
Comte
pun menjelaskan fungsi lain dari ilmu pengetahuan positif, yaitu di dalam
dirinya sendiri mengandung alat untuk mencapai, baik kemajuan (progress) maupun
ketertiban (order). Ia menyatakan bahwa kemajuan yang didasarkan pada ilmu
pengetahuan akan membawa manusia menuju masyarakat yang tertib, stabil, aman,
dan harmonis.
Selain
itu, ilmu pengetahuan juga mampu mencegah kita dari nafsu untuk berperang dan
melakukan penindasan terhadap manusia dan alam.
2. Asumsi
dan Fase Positivisme
AUGUSTE
Comte membagi tiga asumsi dasar ilmu pengetahuan positif. Asumsi pertama, ilmu
pengetahuan harus bersifat objektif. Objektivitas berlangsung pada kedua pihak,
yaitu subjek dan objek ilmu pengetahuan.
a. Pada
pihak subjek, seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya terpengaruh oleh
sentimen pribadi, penilaian etis, kepercayaan agama, kepentingan kelompok,
filsafat, atau apapun yang mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang
diobservasi.
b. Pada
pihak objek, aspek dan dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam observasi,
misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditoleransi keberadaannya. Asumsi Kedua,
ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang terjadi berulang kali,
bukan berurusan dengan hal-hal yang unik dan terjadi satu kali karena hal
tersebut tidak akan membantu untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi. Comte
menjelaskan hubungan antara penjelasan ilmiah dan prediksi: “Karena penjelasan
ilmiah merupakan sisi depan prediksi, penjelasan ilmiah itu meletakkan dasar
bagi pengendalian instrumental atas fenomena dengan cara memberikan jenis
informasi yang akan memungkinkan orang memanipulasi variabel-variabel tertentu
untuk menciptakan suatu keadaan atau mencegah terciptanya keadaan itu.”
c. Asumsi
Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap kejadian alam dari antarhubungannya
dengan kejadian alam yang lain. Mereka diandaikan saling berhubungan dan
membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Oleh sebab itu, perhatian ilmuwan
tidak diletakkan pada hakikat atau esensi, melainkan pada relasi-relasi luar,
khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda atau kejadian-kejadian alam.
Selain itu, Comte juga membagi dua fase filsafat
positivistik ini, yaitu statika social dan dinamika social. Statika Sosial
adalah masyarakat sebagai kenyataan dengan kaidah-kaidah yang menyusun tatanan
sosial. Ini adalah saat dimana masyarakat mulai tersusun atau terbangun. Ia
menyebutkan, social statics adalah bagian paling elementer dari ilmu sosiologi.
Fungsi dari sosial statics untuk mencari hukum-hukum
tentang aksi dan reaksi dari berbagai bagian di dalam sistem sosial. Selain
itu, fase ini juga mencari hukum–hukum tentang gejala-gejala sosial yang
bersamaan waktu terjadinya. Di dalam sosial statics, terdapat 4 doktrin yaitu
doktrin tentang individu, keluarga, masyarakat, dan negara.
Sedangkan dinamika social (social dynamics) yang
artinya masyarakat pada saat itu berada dalam penciptaan sejarahnya dan mulai
menanjak dalam kemajuannya. Singkat kata, fase ini adalah teori tentang
perkembangan manusia. Dia berpendapat di dalam masyarakat terjadi perkembangan
yang terus menerus. Namun ia mengakui bahwa perkembangan umum dari masyarakat
tidak merupakan jalan lurus.
Tentu saja, Comte tidak membicarakan tentang asal usul
manusia. Soalnya, masalah itu berada di luar batas ruang lingkup ilmu
pengetahuan. Lagi pula, filsafat positif yang diajukannya mengatakan bahwa
semua ilmu pengetahuan haruslah dapat dibuktikan dalam kenyataan.
3. Agama
dan Hukum
Auguste Comte benar-benar hanya menempatkan ilmu pasti
sebagai dasar dari filsafat karena ia memiliki dalil-dalil yang bersifat umum
dan paling abstrak. Sedangkan psiologi tidak diberi ruang dalam system Comte.
Hal ini sesuai dengan pendapatnya bahwa manusia tidak akan pernah menyelidiki
diri sendiri.
Sedangkan soal agama, Comte menciptakan suatu
kristianitas yang baru berdasarkan dirinya sendiri. Ia mengelompokkan dalam
tiga jenis agama. Pertama, agama sebagai penghormatan atas alam, dan semua
adalah Tuhan. Kedua, agama merupakan penyembahan terhadap kaidah moral sebagai
kekuasaan. Ketiga, agama adalah kekuasaan yang tidak terbatas yang terungkap
dalam alam yang merupakan sumber dan akhir dari cita moral. Moralitas adalah
hakikat dari benda-benda. Soal kehidupan, Comte menekankan kepada hal yang
bersifat emosional yang penuh perasaan dalam hal ini untuk dapat menciptakan
suatu masyarakat yang bersifat alturistik.
Dan ia juga menekankan pada kehidupan yang bersifat
praktis, jelas, nyata, dan mudah, ini adalah sambungan dari filsafat
positifnya. Alasannya, jika ilmu pengetahuan haruslah terbukti real dan nyata,
maka kehidupan haruslah kehidupan yang jelas, nyata, real dan mudah.
Filsafat poistisme juga berpengaruh ke filsafat hukum.
Perkembangan hukum pun bisa ditarik alurnya mulai dari teologi, metafisik,
hingga ke hukum positif. Walau dalam istilahnya dibagi dalam empat pembabakan,
yaitu zaman purbakala, abad pertengahan, zaman renaissance dan zaman baru,
hingga ke zaman modern ini, namun dalam karakternya memiliki kesamaan dengan
filsafat pada umumnya.
Mendalami filsfata positivisme ini, ada baiknya juga
merenungkan saran dari Prof Dr M Solly Lubis SH. Dalam bukunya berjudul
Filsafat Ilmu dan Penelitian, ia mengutip Francis Bacon, “Bahwa filsafat yang
dangkal memang cenderung ke ateisme namun filsafat yang dalam akan membawa
kembali kepada agama. Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu
mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Seperti dikatakan oleh Einstein,
Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun juga teori yang
menjembatani antara keduanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar