Rabu, 21 Desember 2016

Filsafat Positivisme Auguste Comte

Jika fenomena yang terjadi di alam ini dilihat dari kacamata sains, maka harus diikuti fakta-fakta logis dan empiris yang menggunakan metode ilmiah, seperti eksperimen, observasi, dan komparasi.
Bahkan, cara pandang sains menilai naif pada segala gejala yang di luar nalar. Akal dianggap tidak mencari sebab dan akhir sebuah kehidupan. Begitulah teori filsafat aliran positivisme yang menolak aktifitas yang berkaitan dengan teologis dan metafisik.
Aliran ini seolah-olah menolak keberadaan kekuasaan Tuhan, maupun metafisika. Atau setidaknya, boleh dikata dalam padangan aliran ini Tuhan tak campur tangan dalam soal alam. Padahal, Auguste Comte, filsuf yang menjadi tonggak aliran ini adalah ilmuan Prancis yang sebagian hidupnya berada dalam lingkungan keluarga Katolik yang taat.
Filsafat positivisme ini mulai bergulir sejak abad-19, ini berarti sesudah berkembangnya filsafat teologi dan metafisika. Kendati demikian, kehadiran filsafat positivisme tak serta-merta menghapus atau menafikan aliran-aliran filsafat terdahulu. Filsafat positisme menjadi salah satu aliran tersendiri yang menambah khasanah keilmuan dan metode berfikir.
Penelitian ilmiah dengan metode ini berkembang di berbagai negara dengan proses penerapan yang disesuaikan dengan kondisi setempat.
Sebetulnya, aliran positivisme tak bisa dikatakan temuan original Comte, sebab sebelumnya sejumlah filsuf pendahulunya juga memiliki cara pandang yang sama. Hakekat pembahasan dan pemecahannya sama saja, hanya cara penyebutannya yang berbeda.
Misalnya Immanuel Kant pada abad ke-17 dengan filsafat rasionalisme dan empirisme, aliran ini meyakini hanya perangkat inderawi manusia yang menggambarkan eksistensi segala hal.
Kemudian ada Rene Descartes. Filsuf Prancis ini memiliki pandangan mekanisnya mengenai alam semesta, sikapnya yang positif terhadap penjajakan ilmiah, tekanan yang diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan, pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptis, dan titik pusat perhatian pada epistemologi. Lalu ada Galileo Galile dari Italia, serta Sir Isaac Newton dan Sir Francis Bacon, keduanya Inggris.
Pemikiran mereka sebangun dengan Comte. Kendati demikian, Comte tetap saja menjadi pelopor aliran positivisme.
A.    Biografi Auguste Comte
Bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, ia lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798. Keluarganya yang bangsawan khatolik, membuatnya mampu melangkah ke dunia pendidikan. Semula ia sekolah Ecole Polytechnique di Paris. Saat itu, perguruan ini terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan filosofi proses. Setelah sekolah itu tutup pada 1816, Comte pindah ke sekolah kedokteran di Montpellier.
Belakangan ia meninggalkan Paris, sebab menemukan sesuatu yang tak bisa diterima akal sehatnya tentang perbedaan antara agama Katolik dengan pemikiran keluarga monarki yang berkuasa saat itu. Lalu, pada 1817, ia berguru pada Calude Henri de Rouvroy, seorang sosialis yang ide-idenya sangat berperan mempengaruhi pemikiran  positivisme, marxisme, dan Thorstein Veblen.
Dari sinilah Come masuk ke wilayah intelektual. Terpengaruh pada gurunya itulah Comte meneliti filosofi positivisme. Salah satu karyanya berjudul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires Pour Reorganiser la societe (Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat) pada 1822. Namun, penelitiannya sempat terseok-seok sebab ia tak mendapat posisi akademis. Kendati demikian, ia tetap bisa melanjutkannya dengan bantuan sponsor dan beberapa temannya.
Comte juga pernah dirawat di rumah sakit jiwa pada 1826, ia kabur saat menjalani perawatan. Ia sembut setelah dirawat isterinya, Caroline Massin. Kemudian pada 1842 menerbitkan bukunya yang berjudul Le Cours de Philosophie Positivistic. Lalu ia menerbitkan bukunya yang berjudul Systeme de Politique Positive pada 1851. Enam tahun kemudian, Comte wafat. Jasadnya dimakamkan di Cimetiere du Pere Lachaise.
1.     Proses Positivisme
Terbangunnya sebuah visi yang komprehensif tentulah lahir dari sebuah pemikiran sangat matang. Ini tidak terlepas dari lingkungan dan masa yang mempengaruhi suatu perenungan. Begitulah konsep yang terbangun pada diri Auguste Comte dengan gagasan tentang filsafat positivisme.
Ini bisa dilihat dari perjalanan hidupnya. Ia menghabiskan masa kecilnya dalam lingkungan bangsawan katolik, di samping itu keadaan negeri Prancis masih berada dalam genggaman Raja Louis XVI. Saat puncak krisis yang melanda Prancis yang telah berada di bawah pemerintahan monarki absolut selama berbad-abad.
Menginjak masa remaja, Comte yang sudah masuk ke dunia pendidikan tinggi di Ecole Polytechnique di Paris dan kedokteran di Montpellier. Pola fikir yang telah terasah dengan daya nalar yang tajam tentu terganggu dengan kondisi negaranya yang berada di bawah pemerintahan monarki absolut yang memang dilanda revolusi. Dikenal dengan Revolution Francaise, masa ini menjadi periode sosial radikal pergolakan politik yang meluas hingga ke seluruh Eropa.
Pada diri Comte, bisa dilihat dua sisi yang juga bergejolak. Di satu sisi dia melihat sistem pemerintahan bobrok dan korup yang merampas hak-hak kemanusiaan, di sisi lain agamanya mengajarkan tentang keadilan dan kasih sayang. Padahal di masa itu, masih dipercaya bahwa raja sebagai wakil Tuhan dalam memelihara kemaslahatan masyarakat. Dua paham yang sangat bertolak belakang itu menyebabkan ia hengkang dari Paris, kemudian berguru pada Claude Hendri de Ruvroy yang lebih dikenal dengan nama Saint-Simon, pada 1817.
Saint Simon ini seorang sosialis di Prancis. Ilmuan inilah yang menganjurkan bentuk sosialisme teknokratis, yaitu perekonomian dikelola dan dipimpin para industrialis dan para ahli yang diangkat berdasarkan prestasi. Ide-ide Simon ini tentu saja mempengaruhi pemikiran Comte, hingga lahirlah filsfat positivisme.
Dari kenyataan hidup dan proses belajar serta perkembangan keilmuan yang dimilikinya, Auguste Comte mengemukakan teori mengenai perkembangan akal budi manusia yang secara linier bergerak dalam urutan yang tidak terputus. Bermula dari tahap mistis (teologis) kemudian metafisis, lalu tahap positif.
Tahap Teologis. Comte membagi tiga macam pola pikir manusia dalam tahap teologis ini. Pertama animisme, di sini manusia belum mengenal konsep umum pada makhluk-makhluk. bahkan menganggap tiap benda atau makhluk merupakan satu sosok individu yang berbeda dengan yang lain. Setiap benda memiliki rohnya masing-masing. Pola fikir seperti ini ada dalam manusia purba. Animisme ini jamak dilihat dalam proses sesajen pada pohon-pohon besar. Bahkan di Indonesia hal semacam ini masih hidup di beberapa daerah, misalnya di Kalimantan pada suku dayak, dan di Nias, Sumatera Utara.
Kemudian, yang kedua adalah politeisme. Di sini pemikiran manusia mulai berkembang, roh tidak lagi berada di tiap benda, namun ada pada kelompok benda yang memiliki kesamaan tertentu. Secara harfiah, polteisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly theoi yang berarti banyak Tuhan. Politeisme adalah kepercayaan pada dewa-dewa. Tujuan beragama dalam politeisme bukan hanya memberi sesajen atau persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa kepada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari masyarakat yang bersangkutan.
Selanjutnya, adalah monoteisme. Di sini manusia sudah mempercayai hanya ada satu roh yang mengendalikan alam ini, itulah Tuhan. Cara berpikir ini memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan budaya, sosial, dan pemerintahan, hingga sekarang ini. Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang kemudian dijadikan pedoman hidup masyarakat.
a.      Tahap Metafisis. Comte menyebutkan tahap metafisis ini sebagai modifikasi dari teologis, atau tahap peralihan. Manusia mulai merombak cara berfikir, mencari penerangan yang logis dan berusaha keras menggali hakikat atau esensi dari sesuatu. Analisis berfikir ditingkatkan, adapun dogma agama dan irasionalitas mulai ditinggalkan.
Pada tahap metafisis ini manusia mencari sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan. Manusia mulai bertanya-tanya dan mulai untuk mencari bukti-bukti yang nyata terhadap pandangan suatu doktrin.
b.     Tahap metafisik menggunakan kekuatan atau bukti yang nyata yang dapat berhubungan langsung  dengan manusia. Ini adalah abad nasionalisme dan kedaulatan umum sudah mulai tampak.
c.      Tahap Positif.  Pandangan hidup yang awalnya didasarkan pada dogma agama, sekarang beralih digantikan ilmu pengetahuan positif. Pada tahap ini, Comte menafikan segala sesuatu yang non-inderawi. Ia mengakui bahwa cara pandang itu sebangun dengan pendahulunya seperti Immanuel Kant, Rene Descartes, Galileo Galile, Sir Isaac Newton dan Sir Francis Bacon.
Pandangan mereka, pengetahuan hanya yang didasarkan pada fakta-fakta logis dan empiris, dan fakta-fakta tersebut harus didekati dengan menggunakan metode ilmiah, yakni eksperimen, observasi, dan komparasi.
Comte mengatakan bahwa pengetahuan yang tidak berdasarkan fakta-fakta positif dan mendekatinya tidak dengan metode ilmu pengetahuan, itu fantasi atau spekulasi liar. Jenis pengetahuan spekulasi atau fantasi liar inilah yang disebutnya teologi dan metafisika.
Menurut Comte, semua gejala dan kejadian alam dijelaskan berdasarkan observasi, eksperimen, komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus dibersihkan dari muatan teologis dan metafisis. Akal tidak lagi berorientasi pada pencarian pada sebab pertama dan tujuan akhir kehidupan.
Comte pun menjelaskan fungsi lain dari ilmu pengetahuan positif, yaitu di dalam dirinya sendiri mengandung alat untuk mencapai, baik kemajuan (progress) maupun ketertiban (order). Ia menyatakan bahwa kemajuan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan akan membawa manusia menuju masyarakat yang tertib, stabil, aman, dan harmonis.
Selain itu, ilmu pengetahuan juga mampu mencegah kita dari nafsu untuk berperang dan melakukan penindasan terhadap manusia dan alam.
2.     Asumsi dan Fase Positivisme
AUGUSTE Comte membagi tiga asumsi dasar ilmu pengetahuan positif. Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif. Objektivitas berlangsung pada kedua pihak, yaitu subjek dan objek ilmu pengetahuan.
a.      Pada pihak subjek, seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya terpengaruh oleh sentimen pribadi, penilaian etis, kepercayaan agama, kepentingan kelompok, filsafat, atau apapun yang mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diobservasi.
b.     Pada pihak objek, aspek dan dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam observasi, misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditoleransi keberadaannya. Asumsi Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang terjadi berulang kali, bukan berurusan dengan hal-hal yang unik dan terjadi satu kali karena hal tersebut tidak akan membantu untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi. Comte menjelaskan hubungan antara penjelasan ilmiah dan prediksi: “Karena penjelasan ilmiah merupakan sisi depan prediksi, penjelasan ilmiah itu meletakkan dasar bagi pengendalian instrumental atas fenomena dengan cara memberikan jenis informasi yang akan memungkinkan orang memanipulasi variabel-variabel tertentu untuk menciptakan suatu keadaan atau mencegah terciptanya keadaan itu.”
c.      Asumsi Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap kejadian alam dari antarhubungannya dengan kejadian alam yang lain. Mereka diandaikan saling berhubungan dan membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Oleh sebab itu, perhatian ilmuwan tidak diletakkan pada hakikat atau esensi, melainkan pada relasi-relasi luar, khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda atau kejadian-kejadian alam.
Selain itu, Comte juga membagi dua fase filsafat positivistik ini, yaitu statika social dan dinamika social. Statika Sosial adalah masyarakat sebagai kenyataan dengan kaidah-kaidah yang menyusun tatanan sosial. Ini adalah saat dimana masyarakat mulai tersusun atau terbangun. Ia menyebutkan, social statics adalah bagian paling elementer dari ilmu sosiologi.
Fungsi dari sosial statics untuk mencari hukum-hukum tentang aksi dan reaksi dari berbagai bagian di dalam sistem sosial. Selain itu, fase ini juga mencari hukum–hukum tentang gejala-gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya. Di dalam sosial statics, terdapat 4 doktrin yaitu doktrin tentang individu, keluarga, masyarakat, dan negara.
Sedangkan dinamika social (social dynamics) yang artinya masyarakat pada saat itu berada dalam penciptaan sejarahnya dan mulai menanjak dalam kemajuannya. Singkat kata, fase ini adalah teori tentang perkembangan manusia. Dia berpendapat di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus. Namun ia mengakui bahwa perkembangan umum dari masyarakat tidak merupakan jalan lurus.
Tentu saja, Comte tidak membicarakan tentang asal usul manusia. Soalnya, masalah itu berada di luar batas ruang lingkup ilmu pengetahuan. Lagi pula, filsafat positif yang diajukannya mengatakan bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah dapat dibuktikan dalam kenyataan.
3.     Agama dan Hukum
Auguste Comte benar-benar hanya menempatkan ilmu pasti sebagai dasar dari filsafat karena ia memiliki dalil-dalil yang bersifat umum dan paling abstrak. Sedangkan psiologi tidak diberi ruang dalam system Comte. Hal ini sesuai dengan pendapatnya bahwa manusia tidak akan pernah menyelidiki diri sendiri.
Sedangkan soal agama, Comte menciptakan suatu kristianitas yang baru berdasarkan dirinya sendiri. Ia mengelompokkan dalam tiga jenis agama. Pertama, agama sebagai penghormatan atas alam, dan semua adalah Tuhan. Kedua, agama merupakan penyembahan terhadap kaidah moral sebagai kekuasaan. Ketiga, agama adalah kekuasaan yang tidak terbatas yang terungkap dalam alam yang merupakan sumber dan akhir dari cita moral. Moralitas adalah hakikat dari benda-benda. Soal kehidupan, Comte menekankan kepada hal yang bersifat emosional yang penuh perasaan dalam hal ini untuk dapat menciptakan suatu masyarakat yang bersifat alturistik.
Dan ia juga menekankan pada kehidupan yang bersifat praktis, jelas, nyata, dan mudah, ini adalah sambungan dari filsafat positifnya. Alasannya, jika ilmu pengetahuan haruslah terbukti real dan nyata, maka kehidupan haruslah kehidupan yang jelas, nyata, real dan mudah.
Filsafat poistisme juga berpengaruh ke filsafat hukum. Perkembangan hukum pun bisa ditarik alurnya mulai dari teologi, metafisik, hingga ke hukum positif. Walau dalam istilahnya dibagi dalam empat pembabakan, yaitu zaman purbakala, abad pertengahan, zaman renaissance dan zaman baru, hingga ke zaman modern ini, namun dalam karakternya memiliki kesamaan dengan filsafat pada umumnya.
Mendalami filsfata positivisme ini, ada baiknya juga merenungkan saran dari Prof Dr M Solly Lubis SH. Dalam bukunya berjudul Filsafat Ilmu dan Penelitian, ia mengutip Francis Bacon, “Bahwa filsafat yang dangkal memang cenderung ke ateisme namun filsafat yang dalam akan membawa kembali kepada agama. Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Seperti dikatakan oleh Einstein, Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun juga teori yang menjembatani antara keduanya.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar