Neoplatonisme
Satu
aspek menarik dari pengaruh pemikiran Yunani pada filsafat Islam ialah
penerapan Neoplatonisme sebagai jalan utama dalam berfilsafat secara Yunani.
Adalah anek menyaksikan Plato dan Aristoteles dikaitkan dengan ide-ide
Neoplatonisme yang sebenarnya berbeda dengan yang sekarang kita ketahui sebagai
ajaran mereka berdua. Karya yang cukup populer kala itu adalah karya yang
disebut Theology-nya Aristoteles. Akan tetapi, kenyataannya, karya tersebut
tidak lain merupakan bagian plus sedikit tambahan dari Enneads-nya Plotinus.
Oleh
sebab itu, akan lebih aman jika kita menganggap adanya berbagai corak
Neoplatonisme ketimbang satu corak Neoplatonisme karena Neoplatonisme tidak
mempunyai satu sistem definitif yang sama. Walaupun banyak Neoplatonis yang
ateis, doktrin Neoplatonisme sebetulnya lebih sejalan dengan ajaran-ajaran
agama, khususnya Islam.
Dalam
Neoplatonisme, misalnya, ada penekanan pada satu Wujud atau Sumber Utama yang
darinya alam semesta tercipta secara sedemikian rupa sehingga tidak merusak
kesatuan mutlak Sang Mahatunggal tersebut. masalah filosofis ini menyimak
masalah teologis yang muncul dalam konteks Islam, yaitu bagaimana kita bisa
mendamaikan keesaan Tuhan dengan keragaman eksistensi tanpa mengorbankan sifat
kesempurnaan dan kemandirian-Nya? Dapatkah kita mengatakan bahwa Tuhan memiliki
berbagai sifat (yang terpisah dari Zat-Nya)? Apakah itu tidak berarti
mempersekutukan Tuhan dengan hal-hal lain (sifat-sifat tersebut), dan kemudian
menyebabkan kemusyrikan?[1] Terjadi perdebatan teologis yang panas seputar isu
ini. Karenanya, tidak mengherankan sebetulnya apabila kemudian bahasa
Neoplatonisme berhasil menggubah paduan suara dalam kebudayaan Islam (Leaman,
1985).
Salah
satu problem Neoplatonisme dari sudut pandang keagamaan ialah diabaikannya ide
tentang Tuhan menciptakan alam semesta dari ketiadaan dengan suatu masa awal
tertentu. Sebaliknya, penciptaan dalam pandangan Neoplatonisme dipaparkan
sebagai emanasi (faidh): penciptaan yang terus-menerus, tanpa awal dan tanpa
akhir, dan berlangsung otomatis. Dan gambaran ini meniscayakan keterkaitan
segala sesuatu secara pasti sedemikian rupa sehingga jajaran realitas yang
lebih tinggi (at the higher levels of reality) menentukan (determined) kejadian
jajaran yang ada di bawahnya dalam pola yang paling mungkin secara logis dan
rasional.
Tentu
saja, ini membawa problem serius pada gambaran Tuhan menurut pandangan Islam
tradisional. Walaupun demikian, keunggulan-keunggulan teori ini agaknya tetap
layak diwacanakan. Paling tidak, teori ini dapat melacak tindak penciptaan
(production) dan penciptaan ulang (reproduction) segala sesuatu sampai pada
sumbernya—yang tunggal—dan menjelaskan struktur rasional di balik (kejadian)
alam semesta.
Oleh
sebab itu, para pemikir Neoplatonis sebetulnya telah menyiapkan himpunan
prinsip yang berguna bagi para pemikir Muslim meski terkadang bergesekan dengan
Islam itu sendiri. Yang terpenting bukan apakah ada semacam kesamaan antara
Islam dan Neoplatonisme, melainkan apakah kedua sistem pemikiran ini berbicara
dengan bahasa yang serupa (Morewedge, 1995).
Satu
manfaat yang banyak dibicarakan oleh para penelaah filsafat Islam ialah
sinkretisme yang banyak terdapat pada doktrin Neoplatonisme, dan
doktrin-doktrin yang terkait dengannya. Neoplatonisme, misalnya saja, tampak
sebagai teori yang kurang “murni” dibandingkan dengan filsafat Plato dan
Aristoteles. Di samping itu, para pemikiran Islam juga suka sekali kepada para
filosof seperti Empedocles dan Pythagoras.
Ada
banyak upaya yang dilakukan untuk mempertemukan para pemikir yang sebenarnya
berbeda pandangan dalam beberapa pokok pikiran filosofis. Situasi sebenarnya
boleh jadi tidak begitu, tetapi ada beberapa teks yang mencoba menjembatani
pemikir-pemikir Yunani yang berbeda-beda dengan cara yang tidak mencerminkan pemikiran
mereka yang sebenarnya.
Memang,
ada beberapa pemikir eklektis pada masa itu. Menarik untuk disebutkan bahwa
Ikhwan Al-Shafa (Persaudaraan Suci, [abad ke-4/5 H atau ke-10/11 M]) menelurkan
karya ensiklopedis yang berbicara tentang rute menuju pembebasan spiritual
melalui kesempurnaan filosofis (Netton, 1982 dan 1996). Ada pula Al-Farabi yang
dalam beberapa kesempatan menilik lingkup persesuaian antara Plato dan
Aristoteles. Namun, filsafat Islam jelas lebih dari sekadar paduan beragam ide
dan argumen para pemikir Yunani.
Secara
keseluruhan, dalam konteks sejarah filsafat Islam, telah ada usaha serius untuk
mengelompokkan argumen yang beraneka ke dalam himpunan yang sama, menganalisis
titik-titik kekuatan dan kelemahan masing-masing. Pada saat yang sama, berbagai
argumen itu dipersentuhkan dengan isu-isu kontemporer Islam. Jauh dari situasi
tidak bisa membedakan Plato dan Aristoteles, para filosof Muslim ini bahkan
mampu membedakan Plato dan Socrates. Bahkan, mereka menganggap Socrates pemikir
yang lebih spiritual ketimbang Plato maupun Aristoteles (Alon, 1991). Karena
sifat yang dianggap terpisah dari zat Tuhan adalah hal (sifat atau kualitas)
yang berdiri sendiri. Dan apabila kita menganggap Allah memiliki sifat tertentu
yang terpisah dari Zat-Nya, itu sama dengan kita mengatakan bahwa Allah dan
sifat-sifat tersebut berdiri sendiri-sendiri terlebih dahulu, baru
kemudian—karena satu dan lain sebab—keduanya “bersekutu”, Pandangan ini tentu
saja dikategorikan sebagai syirik menurut Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar