Rabu, 21 Desember 2016

FILSAFAT NEOPLATONISME

Neoplatonisme
Satu aspek menarik dari pengaruh pemikiran Yunani pada filsafat Islam ialah penerapan Neoplatonisme sebagai jalan utama dalam berfilsafat secara Yunani. Adalah anek menyaksikan Plato dan Aristoteles dikaitkan dengan ide-ide Neoplatonisme yang sebenarnya berbeda dengan yang sekarang kita ketahui sebagai ajaran mereka berdua. Karya yang cukup populer kala itu adalah karya yang disebut Theology-nya Aristoteles. Akan tetapi, kenyataannya, karya tersebut tidak lain merupakan bagian plus sedikit tambahan dari Enneads-nya Plotinus.
Oleh sebab itu, akan lebih aman jika kita menganggap adanya berbagai corak Neoplatonisme ketimbang satu corak Neoplatonisme karena Neoplatonisme tidak mempunyai satu sistem definitif yang sama. Walaupun banyak Neoplatonis yang ateis, doktrin Neoplatonisme sebetulnya lebih sejalan dengan ajaran-ajaran agama, khususnya Islam.
Dalam Neoplatonisme, misalnya, ada penekanan pada satu Wujud atau Sumber Utama yang darinya alam semesta tercipta secara sedemikian rupa sehingga tidak merusak kesatuan mutlak Sang Mahatunggal tersebut. masalah filosofis ini menyimak masalah teologis yang muncul dalam konteks Islam, yaitu bagaimana kita bisa mendamaikan keesaan Tuhan dengan keragaman eksistensi tanpa mengorbankan sifat kesempurnaan dan kemandirian-Nya? Dapatkah kita mengatakan bahwa Tuhan memiliki berbagai sifat (yang terpisah dari Zat-Nya)? Apakah itu tidak berarti mempersekutukan Tuhan dengan hal-hal lain (sifat-sifat tersebut), dan kemudian menyebabkan kemusyrikan?[1] Terjadi perdebatan teologis yang panas seputar isu ini. Karenanya, tidak mengherankan sebetulnya apabila kemudian bahasa Neoplatonisme berhasil menggubah paduan suara dalam kebudayaan Islam (Leaman, 1985).
Salah satu problem Neoplatonisme dari sudut pandang keagamaan ialah diabaikannya ide tentang Tuhan menciptakan alam semesta dari ketiadaan dengan suatu masa awal tertentu. Sebaliknya, penciptaan dalam pandangan Neoplatonisme dipaparkan sebagai emanasi (faidh): penciptaan yang terus-menerus, tanpa awal dan tanpa akhir, dan berlangsung otomatis. Dan gambaran ini meniscayakan keterkaitan segala sesuatu secara pasti sedemikian rupa sehingga jajaran realitas yang lebih tinggi (at the higher levels of reality) menentukan (determined) kejadian jajaran yang ada di bawahnya dalam pola yang paling mungkin secara logis dan rasional.
Tentu saja, ini membawa problem serius pada gambaran Tuhan menurut pandangan Islam tradisional. Walaupun demikian, keunggulan-keunggulan teori ini agaknya tetap layak diwacanakan. Paling tidak, teori ini dapat melacak tindak penciptaan (production) dan penciptaan ulang (reproduction) segala sesuatu sampai pada sumbernya—yang tunggal—dan menjelaskan struktur rasional di balik (kejadian) alam semesta.
Oleh sebab itu, para pemikir Neoplatonis sebetulnya telah menyiapkan himpunan prinsip yang berguna bagi para pemikir Muslim meski terkadang bergesekan dengan Islam itu sendiri. Yang terpenting bukan apakah ada semacam kesamaan antara Islam dan Neoplatonisme, melainkan apakah kedua sistem pemikiran ini berbicara dengan bahasa yang serupa (Morewedge, 1995).
Satu manfaat yang banyak dibicarakan oleh para penelaah filsafat Islam ialah sinkretisme yang banyak terdapat pada doktrin Neoplatonisme, dan doktrin-doktrin yang terkait dengannya. Neoplatonisme, misalnya saja, tampak sebagai teori yang kurang “murni” dibandingkan dengan filsafat Plato dan Aristoteles. Di samping itu, para pemikiran Islam juga suka sekali kepada para filosof seperti Empedocles dan Pythagoras.
Ada banyak upaya yang dilakukan untuk mempertemukan para pemikir yang sebenarnya berbeda pandangan dalam beberapa pokok pikiran filosofis. Situasi sebenarnya boleh jadi tidak begitu, tetapi ada beberapa teks yang mencoba menjembatani pemikir-pemikir Yunani yang berbeda-beda dengan cara yang tidak mencerminkan pemikiran mereka yang sebenarnya.
Memang, ada beberapa pemikir eklektis pada masa itu. Menarik untuk disebutkan bahwa Ikhwan Al-Shafa (Persaudaraan Suci, [abad ke-4/5 H atau ke-10/11 M]) menelurkan karya ensiklopedis yang berbicara tentang rute menuju pembebasan spiritual melalui kesempurnaan filosofis (Netton, 1982 dan 1996). Ada pula Al-Farabi yang dalam beberapa kesempatan menilik lingkup persesuaian antara Plato dan Aristoteles. Namun, filsafat Islam jelas lebih dari sekadar paduan beragam ide dan argumen para pemikir Yunani.

Secara keseluruhan, dalam konteks sejarah filsafat Islam, telah ada usaha serius untuk mengelompokkan argumen yang beraneka ke dalam himpunan yang sama, menganalisis titik-titik kekuatan dan kelemahan masing-masing. Pada saat yang sama, berbagai argumen itu dipersentuhkan dengan isu-isu kontemporer Islam. Jauh dari situasi tidak bisa membedakan Plato dan Aristoteles, para filosof Muslim ini bahkan mampu membedakan Plato dan Socrates. Bahkan, mereka menganggap Socrates pemikir yang lebih spiritual ketimbang Plato maupun Aristoteles (Alon, 1991). Karena sifat yang dianggap terpisah dari zat Tuhan adalah hal (sifat atau kualitas) yang berdiri sendiri. Dan apabila kita menganggap Allah memiliki sifat tertentu yang terpisah dari Zat-Nya, itu sama dengan kita mengatakan bahwa Allah dan sifat-sifat tersebut berdiri sendiri-sendiri terlebih dahulu, baru kemudian—karena satu dan lain sebab—keduanya “bersekutu”, Pandangan ini tentu saja dikategorikan sebagai syirik menurut Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar