Isu apakah yang sebenarnya dipersoalkan
dalam filsafat ilmu? Para filUsuf lagi-lagi punya pandangan yang beraneka
ragam. Dan sekali lagi, The Liang Gie merupakan acuan yang bagus untuk melihat
konfigurasi pandangan yang beraneka ragam tersebut. Dalam tulisan ini dirujuk
pula David Pepineau, menyederhanakan berbagai isu tersebut dalam dua kelompok
besar, yakni problem epistemologi ilmu dan problem metafisika ilmu.
1. Problema
Induksi
Banyak karya
epistemologi yang mutahir bergumul dengan soal induksi. Induksi adalah cara
kerja ilmu pengetahuan yang bertolak dari sejumlah proposisi tunggal atau
partikular tertentu untuk menari kesimpulan umum tertentu atas dasar sejumlah
fenomena, fakta, atau data tertentu yang dirumuskan dalam proposisi-proposisi
tunggal tertentu, ditarik kesimpulan yang dianggap sebagai benar dan berlaku
umum. Contohnya sodium yang jika dipanaskan akan menghasilkan warna oranye yang
terang. Dari sini ditarik suatu kesimpulan bahwa semua sodium jika dipanaskan
akan berwarna oranye terang. Induksi mulai dengan premis-premis tertentu
mengenai mengenai sejumlah observasi di masa lalu dan berakhir dengan suatu
kesimpulan umum tentang bagaimana alam akan selalu berperilaku. Dan di sinilah
letak masalahnya. Sebab tidak jelas seberapa banyak informasi dari masa lalu
yang bisa menjamin bahwa pola alam akan terus demikian setiap waktu. Lagi pula,
hal apakah yang bisa menghapuslan bahwa pergerakan alam tidak akan berubah dan
bahwa pola-pola yang orang miliki hari ini ternyata akan menjadi penuntun yang
payah di masa depan? Sekalipun sodium bisa berwarna oranye terang sampai hari
ini, siapa tahu di masa depan ia akan berwarna biru.
2. Reaksi
Kepada Problema Induksi: Falsifikasionisme
Falsifikasionisme
adalah sebuah pendirian dari para peneliti dan pengamat yang skeptis dan
spekulatif. Teori yang dipeganginya, yang diuraikan sebagai dugaan atau tebakan
spekulatif dan coba-coba, diciptakan secara bebas oleh intelek manusia dalam
mengatasi masalah yang terdapat pada teori sebelumnya. Teori spekulatif ini
akan diuji secara keras dan serius melalui observasi dan eksperimen. Teori yang
paling cocok adalah yang dapat bertahan. Selagi ia tidak pernah dapat dikatakan
sah sebagai teori yang benar, teori tersebut untuk sementara hanya dapat
dianggap sebagai yang paling baik di antara yang bisa diperoleh dan yang lebih
baik dari yang sebelumnya.
Pendekatan
falsifikasi ini dikembangkan oleh Karl Popper yang tidak puas dengan pendekatan
induktif. Menurut Popper, tujuan sebuah penelitian ilmiah adalah untuk
membuktikan kesalahan (falsify) hipotesa, bukan untuk membuktikan kebenaran
hipotesa tersebut. Inilah sebabnya mengapa pendekatan ini dinamakan pendekatan
falsifikasionisme.
3. Kelemahan
Argumentasi Falsifikasionisme
Ada empat kelemahan utama argumentasi
Falsifikasionisme. Keempatnya adalah sbb.:
- Ketergantungan
Observasi Pada Teori. Falsifiakasionisme naif bersikeras menyatakan bahwa
aktivitas ilmiah harus memikirkan usaha memfasilitasi teori dengan cara
mengukuhkan kebenaran semua, keterangan-observasi yang tidak konsisten
dengannya kaum falsiskasionis yang lebih sofistik menyadari ketidak
layakkan itu, dan mengakui pentingnya peranan konfirmasi terhadap
teori-teori spekulatif, begitupun peranan falsifikasi teori-teori yang
sudah mantap.
- Kompleksitas
Situsi Pengujian Pada Yang Realistis. Sebuah pernyataan dapat
difalsifikasi apabila pada suatu kesempatan dapat dibuktikan tidak sesuai
dengan pernyataan. Akan tetapi dibalik ilusterasi logika falsisfkasi yang
sederhana ini bagi falsifikasianisme tersembunyi kesulitan serius yang
ditimbulkan oeh kompleknya situasi pengujian dalam realitas.
- Falsifikasi
Tidak Sesuai Dengan Sejarah. Suatu kenyataan sejarah yang mengganggu kaum
falsifikasionisme adalah bahwa apabila metodologi mereka dipegang teguh
oleh para ilmuwan, maka teori-teori yang umumnya sebagai teladan-teladan
terbaik seyogyanya tidak pernah akan dikembangkan , karena mereka
semestinya sudah ditolak selagi masih dalam masa kanak-kanaknya.
- Tentang
Popper, posisi Falsifikasionismenya hanya menjelaskan pengetahuan ilmiah
negatif bukan yang positif. Ia berhasil memperlihatkan bahwa sebuah contoh
yang berlawanan sudah bisa membuktikan sebuah teori keliru. Namun ia tidak
mengatakan apa-apa tentang apa yang bisa menunjukkan suatu teori benar.
Padahal pengetahuan positif jenis yang terakhir inilah yang membuat ilmu
menjadi penting. Selanjutnya, posisinya terlalu menempatkan teori pada
level ramalan (conjecture) saja. Memang benar bahwa dalam kenyataan banyak
teori memang berawal pada ramalan-ramalan dan akan terus demikian sampai
bukti-bukti awal muncul. Sejalan dengan bertambahnya bukti pendukung maka
suatu teori akan bergerak melampaui status ramalannya dan menjadi
kebenaran yang kokoh.
4. Tanggapan
Pendukung Induksi: Bayesianisme
Bayesianisme
diambil dari nama Thomas Bayes (170101761). Bayesianisme adalah para ahli
filsafat yang berpendapat bahwa kepercayaan-kepercayaan manusia, termasuk
kepercayaan kepada teori-teori ilmiah, muncul dalam bentuk derajat-derajat.
Misalnya, seseorang percaya sampai derajat 0,5 bahwa hari akan hujan. Ini
berarti menurut orang ini kemungkinan hujan hari ini adalah 50%. Dengan cara
yang sama seseorang mungkin mengaitkan derajat kepercayaan 0,1 untuk teori yang
mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan nuklir yang kuat dan elektro yang lemah
adalah sama-sama kekuatan. Menurutnya tidak mungkin namun berpikir bahwa ada 1
dari antara 10 kemungkinan hal itu benar.
5. Instrumentalisme
dan Realisme
Banyak ilmu
terdiri atas klaim-klaim tentang hal-hal yang tidak bisa diamati seperti virus,
gelombang radio, elektron dan quark. Kalau hal-hal ini tidak bisa diamati,
lantas bagaimana para ahli bisa berpendapat bahwa mereka sudah menemukannya?
Bila mereka tidak bisa melihat atau merabanya, tidakkah masuk akal bila
klaim-klaim mereka tentang hal-hal itu adalah spekulasi saja dan bukan pengetahuan
yang kokok? Di titik ini muncul masalah yang dikenal sebagai Realisme dan
Instrumentalisme.
Realisme adalah
faham yang meyakini bahwa suatu pernyataan mengandung nilai-kebenaran obyektif,
dan dengan begitu mempunyai acuan pada suatu dunia yang tak lepas dari sarana
orang mengetahuinya, serta keyakinan akan kemampuan orang memperoleh
pengetahuan yang benar mengenai dunia. Kelompok realis berpendapat bahwa soal
yang tidak bisa diamati bisa diselesaikan. Mereka berpendapat bahwa fakta-fakta
yang bisa diamati menyediakan bukti-bukti tidak langsung bagi keberadaan
hal-hal yang tidak bisa diamati, dan karenanya berkesimpulan bahwa teori-teori
ilmiah bisa dipandang sebagai deskripsi akurat dari dunia yang tidak bisa
diamati.
Ada 4 tesis utama yang menjadi landasan
gerak kaum realis. Keempatnya adalah sbb.:
a. Ungkapan
teoretis pada teori-teori keilmuan (yaitu ungkapan non observational) harus
diterima sebagai dugaan terhadap ungkapan yang mempunyai acuan; teori harus
ditafsirkan secara ‘realistik’.
b. Teori-teori
keilmuan, yang (harus) ditafsirkan secara realistik ini, dapat ditegaskan, dan
pada kenyataannya seringkali tertegaskan sebagai mendekati kebenaran melalui
bukti-bukti keilmuan yang ditafsirkan menurut standar metodologi biasa.
c. Sejarah
kemajuan ilmu-ilmu yang matang sebagian besar merupakan urutan pendekatan yang
cermat terhadap kebenaran. Teori-teori yang muncul kemudian pada umumnya
dibangun di atas pengetahuan (observational dan teoretis) yang ada dalam teori
sebelumnya.
d. Realitas
yang diberikan oleh teori-teori keilmuan sebagian besar tidak bergantung pada
pemikiran ataupun komitmen teoretis kita.
Kaum
instrumentalis, yang berbeda dari kaum realis, berpendapat bahwa orang tidak
berada pada posisi dapat membuat keputusan-keputusan kokoh tentang
mekanisme-mekanisme yang tidak bisa dipersepsi. Teori-teori tentang
mekanisme-mekanisme itu bisa digunakan untuk menyederhanakan kalkulasi manusia
dan melahirkan prediksi-prediksi tetapi teori-teori ini bukanlah deskripsi yang
sesungguhnya dari dunia ini.
Kritik terhadap
tesis realisme bervariasi mulai dari penolakan terhadap a, b, dan pembatasan
terhadap c demi menghindari komitmen terhadap kemungkinan pemerolehan
pengetahuan yang bersifat teoretis menyangkut ungkapan takteramati, atau
menolak d tetapi menerima a – c dengan catatan realitas yang diperikan oleh
teori-teori keilmuan adalah suatu konstruksi sosial keilmuan. Antirealis
seperti Kuhn memberi catatan bahwa c dapat diterima sejauh teori-teori yang
saling menggantikan itu merupakan bagian paradigma yang sama.
Terlepas dari
variasi a – d itu, posisi dasar realisme keilmuan merujuk pada tesis kebenaran
korespondensi sebagai landasan untuk menafsirkan teori dan sebagai syarat
penerimaan suatu teori dalam kegiatan keilmuan. Kebenaran, atau sedikitnya
pendekatan pada kebenaran, menjadi tujuan utama yang hendak dicapai ilmu
pengetahuan.
Dengan mengacu
pada posisi dasar ini van Fraassen menyatukan berbagai tesis realisme keilmuan
ke dalam rumusan berikut, “Ilmu pengetahuan bertujuan, dalam teori-teorinya,
memberikan pada kita suatu kisah yang benar secara harfiah mengenai dunia
(seperti apa);dan penerimaan teori melibatkan kepercayaan bahwa teori itu
benar.”
Pengalaman (experience) adalah salah
satu kunci penting dalam instrumentalisme. Di sini pengalaman dipahami sebagai keseluruhan
aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara
organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Di masa lalu, kaum
instrumentasli suka berpendapat bahwa orang tidak seharusnya menginterpretasi
klaim-klaim teoretis secara literal karena orang tidak bisa bicara dengan penuh
makna hal-hal yang tidak pernah secara langsung dialami. Namun pada masa kini
mereka berpendapat bahwa para ilmuwan bisa dengan penuh makna mempostulatkan
sesuatu, misalnya materi terbuat dari atom-atom kecil. Atom-atom itu sendiri
terdiri atas inti dengan elektron-elektron yang berputar mengitarinya pada
orbitnya masing-masing. Namun, mereka kemudian mengambil sikap skeptis dengan
berkata bahwa kita tidak punya kewajiban untuk mempercayainya.
6. Argumen-argumen
Kontra-Realisme
Dari segi
epistemologis, penolakan paling keras terhadap realisme berkaitan dengan
penafsiran atas pengetahuan yang benar ini. Para penganut antirealis melihat
kegiatan keilmuan dan tujuan ilmu pengetahuan dapat dicapai tanpa perlu diikuti
oleh kepercayaan bahwa teori keilmuan memberikan pengetahuan yang benar (atau
mendekati kebenaran) tentang dunia.
Dalam pandangan
mereka, pengetahuan tidak dapat meluas hingga mencapai yang tak teramati,
sehingga pengetahuan benar atau salah mengenai dunia tidaklah mungkin. Ilmu
pengetahuan lewat teori-teorinya hanya menyediakan sarana untuk memperkirakan
gejala yang akan muncul atas dasar gejala sejenis yang sudah ada sebelumnya
dalam lingkungan fisika serupa. Dengan landasan ini para antirealis beranggapan
bahwa doktrin realisme yang menjanjikan pengetahuan teoretis mengenai dunia,
sesungguhnya, paling baik hanya menyediakan keanggunan formal atau kenyamanan
perhitungan. Teori-teori diterima dalam kegiatan keilmuan karena memperlihatkan
kelebihan prediktif, kesederhanaan, atau kelebihan lainnya seperti koherensi
dan keajekan.
Paparan di atas
sangat umum; pada kenyataannya para penganut antirealisme menduduki posisi yang
secara rinci berbeda-beda menyangkut penafsiran atas pernyataan-pernyataan
keilmuan. Penolakan yang paling radikal terhadap realisme berasal dari
instrumentalisme. Para instrumentalis menolak sepenuhnya kepercayaan bahwa
pernyataan-pernyataan keilmuan mempunyai nilai kebenaran. Mereka berpendapat
bahwa status teori adalah piranti, atau sarana penghitung. Teori berguna untuk
menghubungkan dan mensistematisasikan pernyataan-pernyataan observasional,
serta untuk memberikan prakiraan berdasarkan sekumpulan data, tetapi tak ada
pertanyaan menyangkut kebenaran (atau pada apa teori mengacu) dapat diajukan.
7. Solusi:
Epistemologi yang Dinaturalisasikan
Dalam posisi
seperti ini, seorang ilmuwan akan menerima gagasan yang memilah antara
realitas-pada-dirinya dan tampakan, karena ia membedakan antara underlying
truth dan appearance. Hal ini menunjukkan bahwa ia menerima adanya struktur
atau obyek di belakang tampakan, namun dengan tegas mengatakan bahwa hanya
tampakan atau segala sesuatu yang terekam, yang merupakan kunci untuk pemahaman
dalam ilmu pengetahuan; yang selebihnya bukan urusan ilmuwan.Pemilahan antara
alam pada dirinya dan alam sebagai tampakan ini dapat dilihat sebagai komponen
Kantian mengenai pemilahan antara obyek pada dirinya dan fenomena.
Pemaparan di atas
sebetulnya hanya untuk menunjukkan bahwa ada sudut pandang yang saling
berdikhotomi dalam melihat tujuan dan kedudukan ilmu pengetahuan di tengah
upayanya menjelaskan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar