Minggu, 25 Desember 2016

PROBLEM-PROBLEM FILSAFAT

Isu apakah yang sebenarnya dipersoalkan dalam filsafat ilmu? Para filUsuf lagi-lagi punya pandangan yang beraneka ragam. Dan sekali lagi, The Liang Gie merupakan acuan yang bagus untuk melihat konfigurasi pandangan yang beraneka ragam tersebut. Dalam tulisan ini dirujuk pula David Pepineau, menyederhanakan berbagai isu tersebut dalam dua kelompok besar, yakni problem epistemologi ilmu dan problem metafisika ilmu.
1.     Problema Induksi
Banyak karya epistemologi yang mutahir bergumul dengan soal induksi. Induksi adalah cara kerja ilmu pengetahuan yang bertolak dari sejumlah proposisi tunggal atau partikular tertentu untuk menari kesimpulan umum tertentu atas dasar sejumlah fenomena, fakta, atau data tertentu yang dirumuskan dalam proposisi-proposisi tunggal tertentu, ditarik kesimpulan yang dianggap sebagai benar dan berlaku umum. Contohnya sodium yang jika dipanaskan akan menghasilkan warna oranye yang terang. Dari sini ditarik suatu kesimpulan bahwa semua sodium jika dipanaskan akan berwarna oranye terang. Induksi mulai dengan premis-premis tertentu mengenai mengenai sejumlah observasi di masa lalu dan berakhir dengan suatu kesimpulan umum tentang bagaimana alam akan selalu berperilaku. Dan di sinilah letak masalahnya. Sebab tidak jelas seberapa banyak informasi dari masa lalu yang bisa menjamin bahwa pola alam akan terus demikian setiap waktu. Lagi pula, hal apakah yang bisa menghapuslan bahwa pergerakan alam tidak akan berubah dan bahwa pola-pola yang orang miliki hari ini ternyata akan menjadi penuntun yang payah di masa depan? Sekalipun sodium bisa berwarna oranye terang sampai hari ini, siapa tahu di masa depan ia akan berwarna biru.
2.     Reaksi Kepada Problema Induksi: Falsifikasionisme
Falsifikasionisme adalah sebuah pendirian dari para peneliti dan pengamat yang skeptis dan spekulatif. Teori yang dipeganginya, yang diuraikan sebagai dugaan atau tebakan spekulatif dan coba-coba, diciptakan secara bebas oleh intelek manusia dalam mengatasi masalah yang terdapat pada teori sebelumnya. Teori spekulatif ini akan diuji secara keras dan serius melalui observasi dan eksperimen. Teori yang paling cocok adalah yang dapat bertahan. Selagi ia tidak pernah dapat dikatakan sah sebagai teori yang benar, teori tersebut untuk sementara hanya dapat dianggap sebagai yang paling baik di antara yang bisa diperoleh dan yang lebih baik dari yang sebelumnya.
Pendekatan falsifikasi ini dikembangkan oleh Karl Popper yang tidak puas dengan pendekatan induktif. Menurut Popper, tujuan sebuah penelitian ilmiah adalah untuk membuktikan kesalahan (falsify) hipotesa, bukan untuk membuktikan kebenaran hipotesa tersebut. Inilah sebabnya mengapa pendekatan ini dinamakan pendekatan falsifikasionisme.
3.     Kelemahan Argumentasi Falsifikasionisme
Ada empat kelemahan utama argumentasi Falsifikasionisme. Keempatnya adalah sbb.:
  1. Ketergantungan Observasi Pada Teori. Falsifiakasionisme naif bersikeras menyatakan bahwa aktivitas ilmiah harus memikirkan usaha memfasilitasi teori dengan cara mengukuhkan kebenaran semua, keterangan-observasi yang tidak konsisten dengannya kaum falsiskasionis yang lebih sofistik menyadari ketidak layakkan itu, dan mengakui pentingnya peranan konfirmasi terhadap teori-teori spekulatif, begitupun peranan falsifikasi teori-teori yang sudah mantap.
  2. Kompleksitas Situsi Pengujian Pada Yang Realistis. Sebuah pernyataan dapat difalsifikasi apabila pada suatu kesempatan dapat dibuktikan tidak sesuai dengan pernyataan. Akan tetapi dibalik ilusterasi logika falsisfkasi yang sederhana ini bagi falsifikasianisme tersembunyi kesulitan serius yang ditimbulkan oeh kompleknya situasi pengujian dalam realitas.
  3. Falsifikasi Tidak Sesuai Dengan Sejarah. Suatu kenyataan sejarah yang mengganggu kaum falsifikasionisme adalah bahwa apabila metodologi mereka dipegang teguh oleh para ilmuwan, maka teori-teori yang umumnya sebagai teladan-teladan terbaik seyogyanya tidak pernah akan dikembangkan , karena mereka semestinya sudah ditolak selagi masih dalam masa kanak-kanaknya.
  4. Tentang Popper, posisi Falsifikasionismenya hanya menjelaskan pengetahuan ilmiah negatif bukan yang positif. Ia berhasil memperlihatkan bahwa sebuah contoh yang berlawanan sudah bisa membuktikan sebuah teori keliru. Namun ia tidak mengatakan apa-apa tentang apa yang bisa menunjukkan suatu teori benar. Padahal pengetahuan positif jenis yang terakhir inilah yang membuat ilmu menjadi penting. Selanjutnya, posisinya terlalu menempatkan teori pada level ramalan (conjecture) saja. Memang benar bahwa dalam kenyataan banyak teori memang berawal pada ramalan-ramalan dan akan terus demikian sampai bukti-bukti awal muncul. Sejalan dengan bertambahnya bukti pendukung maka suatu teori akan bergerak melampaui status ramalannya dan menjadi kebenaran yang kokoh.
4.     Tanggapan Pendukung Induksi: Bayesianisme
Bayesianisme diambil dari nama Thomas Bayes (170101761). Bayesianisme adalah para ahli filsafat yang berpendapat bahwa kepercayaan-kepercayaan manusia, termasuk kepercayaan kepada teori-teori ilmiah, muncul dalam bentuk derajat-derajat. Misalnya, seseorang percaya sampai derajat 0,5 bahwa hari akan hujan. Ini berarti menurut orang ini kemungkinan hujan hari ini adalah 50%. Dengan cara yang sama seseorang mungkin mengaitkan derajat kepercayaan 0,1 untuk teori yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan nuklir yang kuat dan elektro yang lemah adalah sama-sama kekuatan. Menurutnya tidak mungkin namun berpikir bahwa ada 1 dari antara 10 kemungkinan hal itu benar.
5.     Instrumentalisme dan Realisme
Banyak ilmu terdiri atas klaim-klaim tentang hal-hal yang tidak bisa diamati seperti virus, gelombang radio, elektron dan quark. Kalau hal-hal ini tidak bisa diamati, lantas bagaimana para ahli bisa berpendapat bahwa mereka sudah menemukannya? Bila mereka tidak bisa melihat atau merabanya, tidakkah masuk akal bila klaim-klaim mereka tentang hal-hal itu adalah spekulasi saja dan bukan pengetahuan yang kokok? Di titik ini muncul masalah yang dikenal sebagai Realisme dan Instrumentalisme.
Realisme adalah faham yang meyakini bahwa suatu pernyataan mengandung nilai-kebenaran obyektif, dan dengan begitu mempunyai acuan pada suatu dunia yang tak lepas dari sarana orang mengetahuinya, serta keyakinan akan kemampuan orang memperoleh pengetahuan yang benar mengenai dunia. Kelompok realis berpendapat bahwa soal yang tidak bisa diamati bisa diselesaikan. Mereka berpendapat bahwa fakta-fakta yang bisa diamati menyediakan bukti-bukti tidak langsung bagi keberadaan hal-hal yang tidak bisa diamati, dan karenanya berkesimpulan bahwa teori-teori ilmiah bisa dipandang sebagai deskripsi akurat dari dunia yang tidak bisa diamati.
Ada 4 tesis utama yang menjadi landasan gerak kaum realis. Keempatnya adalah sbb.:
a.      Ungkapan teoretis pada teori-teori keilmuan (yaitu ungkapan non observational) harus diterima sebagai dugaan terhadap ungkapan yang mempunyai acuan; teori harus ditafsirkan secara ‘realistik’.
b.     Teori-teori keilmuan, yang (harus) ditafsirkan secara realistik ini, dapat ditegaskan, dan pada kenyataannya seringkali tertegaskan sebagai mendekati kebenaran melalui bukti-bukti keilmuan yang ditafsirkan menurut standar  metodologi biasa.
c.      Sejarah kemajuan ilmu-ilmu yang matang sebagian besar merupakan urutan pendekatan yang cermat terhadap kebenaran. Teori-teori yang muncul kemudian pada umumnya dibangun di atas pengetahuan (observational dan teoretis) yang ada dalam teori sebelumnya.
d.     Realitas yang diberikan oleh teori-teori keilmuan sebagian besar tidak bergantung pada pemikiran ataupun komitmen teoretis kita.
Kaum instrumentalis, yang berbeda dari kaum realis, berpendapat bahwa orang tidak berada pada posisi dapat membuat keputusan-keputusan kokoh tentang mekanisme-mekanisme yang tidak bisa dipersepsi. Teori-teori tentang mekanisme-mekanisme itu bisa digunakan untuk menyederhanakan kalkulasi manusia dan melahirkan prediksi-prediksi tetapi teori-teori ini bukanlah deskripsi yang sesungguhnya dari dunia ini.
Kritik terhadap tesis realisme bervariasi mulai dari penolakan terhadap a, b, dan pembatasan terhadap c demi menghindari komitmen terhadap kemungkinan pemerolehan pengetahuan yang bersifat teoretis menyangkut ungkapan takteramati, atau menolak d tetapi menerima a – c dengan catatan realitas yang diperikan oleh teori-teori keilmuan adalah suatu konstruksi sosial keilmuan. Antirealis seperti Kuhn memberi catatan bahwa c dapat diterima sejauh teori-teori yang saling menggantikan itu merupakan bagian paradigma yang sama.
Terlepas dari variasi a – d itu, posisi dasar realisme keilmuan merujuk pada tesis kebenaran korespondensi sebagai landasan untuk menafsirkan teori dan sebagai syarat penerimaan suatu teori dalam kegiatan keilmuan. Kebenaran, atau sedikitnya pendekatan pada kebenaran, menjadi tujuan utama yang hendak dicapai ilmu pengetahuan.
Dengan mengacu pada posisi dasar ini van Fraassen menyatukan berbagai tesis realisme keilmuan ke dalam rumusan berikut, “Ilmu pengetahuan bertujuan, dalam teori-teorinya, memberikan pada kita suatu kisah yang benar secara harfiah mengenai dunia (seperti apa);dan penerimaan teori melibatkan kepercayaan bahwa teori itu benar.”
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci penting dalam instrumentalisme. Di sini pengalaman dipahami sebagai keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Di masa lalu, kaum instrumentasli suka berpendapat bahwa orang tidak seharusnya menginterpretasi klaim-klaim teoretis secara literal karena orang tidak bisa bicara dengan penuh makna hal-hal yang tidak pernah secara langsung dialami. Namun pada masa kini mereka berpendapat bahwa para ilmuwan bisa dengan penuh makna mempostulatkan sesuatu, misalnya materi terbuat dari atom-atom kecil. Atom-atom itu sendiri terdiri atas inti dengan elektron-elektron yang berputar mengitarinya pada orbitnya masing-masing. Namun, mereka kemudian mengambil sikap skeptis dengan berkata bahwa kita tidak punya kewajiban untuk mempercayainya.
6.     Argumen-argumen Kontra-Realisme
Dari segi epistemologis, penolakan paling keras terhadap realisme berkaitan dengan penafsiran atas pengetahuan yang benar ini. Para penganut antirealis melihat kegiatan keilmuan dan tujuan ilmu pengetahuan dapat dicapai tanpa perlu diikuti oleh kepercayaan bahwa teori keilmuan memberikan pengetahuan yang benar (atau mendekati kebenaran) tentang dunia.
Dalam pandangan mereka, pengetahuan tidak dapat meluas hingga mencapai yang tak teramati, sehingga pengetahuan benar atau salah mengenai dunia tidaklah mungkin. Ilmu pengetahuan lewat teori-teorinya hanya menyediakan sarana untuk memperkirakan gejala yang akan muncul atas dasar gejala sejenis yang sudah ada sebelumnya dalam lingkungan fisika serupa. Dengan landasan ini para antirealis beranggapan bahwa doktrin realisme yang menjanjikan pengetahuan teoretis mengenai dunia, sesungguhnya, paling baik hanya menyediakan keanggunan formal atau kenyamanan perhitungan. Teori-teori diterima dalam kegiatan keilmuan karena memperlihatkan kelebihan prediktif, kesederhanaan, atau kelebihan lainnya seperti koherensi dan keajekan.
Paparan di atas sangat umum; pada kenyataannya para penganut antirealisme menduduki posisi yang secara rinci berbeda-beda menyangkut penafsiran atas pernyataan-pernyataan keilmuan. Penolakan yang paling radikal terhadap realisme berasal dari instrumentalisme. Para instrumentalis menolak sepenuhnya kepercayaan bahwa pernyataan-pernyataan keilmuan mempunyai nilai kebenaran. Mereka berpendapat bahwa status teori adalah piranti, atau sarana penghitung. Teori berguna untuk menghubungkan dan mensistematisasikan pernyataan-pernyataan observasional, serta untuk memberikan prakiraan berdasarkan sekumpulan data, tetapi tak ada pertanyaan menyangkut kebenaran (atau pada apa teori mengacu) dapat diajukan.
7.     Solusi: Epistemologi yang Dinaturalisasikan
Dalam posisi seperti ini, seorang ilmuwan akan menerima gagasan yang memilah antara realitas-pada-dirinya dan tampakan, karena ia membedakan antara underlying truth dan appearance. Hal ini menunjukkan bahwa ia menerima adanya struktur atau obyek di belakang tampakan, namun dengan tegas mengatakan bahwa hanya tampakan atau segala sesuatu yang terekam, yang merupakan kunci untuk pemahaman dalam ilmu pengetahuan; yang selebihnya bukan urusan ilmuwan.Pemilahan antara alam pada dirinya dan alam sebagai tampakan ini dapat dilihat sebagai komponen Kantian mengenai pemilahan antara obyek pada dirinya dan fenomena.
Pemaparan di atas sebetulnya hanya untuk menunjukkan bahwa ada sudut pandang yang saling berdikhotomi dalam melihat tujuan dan kedudukan ilmu pengetahuan di tengah upayanya menjelaskan dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar