A. Pedapat
Filosuf tentang Qadimnya Alam
Namun
menurut Al-Ghazali, pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak
bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, karena menurut konsep
teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan
sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula,
berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta.
Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk kekafiran.
Ibn
Rusyd, begitu juga para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio
tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak
mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang
berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.
Pendapat
ini didukung oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pengertian bahwa Tuhan
menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal
ini mereka merujuka pada al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 47-48:
فَلا
تَحْسَبَنَّ اللَّهَ مُخْلِفَ وَعْدِهِ رُسُلَهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
* يَوْمَ تُبَدَّلُ الأرْضُ غَيْرَ الأرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ
الْقَهَّارِ
“Karena
itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada
rasul-rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan.
(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian
pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke
hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Ibrahim: 47-48).
Ayat
ini, menurut Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud
langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di
atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa
diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah
ada air, tahta, dan masa.
Menurut
al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari
tiada menjadi ada (al-’ijad min al’adam, cretio ex nihilo). Penciptaan dari
tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak membutuhkan yang
mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada.
Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini qadim, artinya alam ini
diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.
Bagi
Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada
seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan
qadimnya Allah. Akan tetapi yang mereka
maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena
penciptaan dari tiada (al-’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang
mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi
sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim.
Al-Ghazali
di sini juga membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam
dan masa” ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum ada,
kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita
membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua
kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada
zat (wujud) yang ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa ialah
gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang
tentu belum adanya masa.
Dalam
perdebatan di atas, kita akan mendapatkan satu pandangan bahwa perdebatan ini
tidak akan pernah usai. Karena dari satu sisi Al-Ghazali menganggap bahwa
pendapat filsuf dan termasuk Ibn Rusyd tentang qadimnya alam termasuk membawa
kekafiran. Kemudian di sisi yang lain Ibn Rusyd juga enggan pendapatnya
dianggap akan atau telah menimbulkan kekafiran. Dan lagi, kedua tokoh ini
mungkin juga para pengikut keduanya, sama-sama memiliki dasar yang kuat dan
meyakinkan.
Dalam
Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang
alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik. Lebih lanjut dijelaskan, mereka sepakat bahwa
segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:
1. Jenis
Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti wujudnya
ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan indera,
seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan
dengan Baharu.
2. Jenis
Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak
didahului oleh zaman. Wjud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya
dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan
memeliharanya. Wjud yang qadim inilah yang disebut Allah.
3. Wujud
yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu
wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman,
tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta.
Wujud alam ini ada kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua.
Dikatakan mirip dengan jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan
dengan indera, dan dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena
wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. Yang mengutamakan
kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa
yang mengutamakan kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka katakan ala ini
qadim. Namun sebenarnya, wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar qadim
dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa
sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.
B. Pedapat
Filosuf tentang Pengetahuan Tuhan
Masalah
Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan. Golongan
filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa)
kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini
dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa
yang diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui
menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi
tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan
perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil).
Kritik
al-Ghazali kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya
mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha
Segala Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan.
Menurut Al-Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan,
dan juga setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya
itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang
dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara
rinci.
Mengenai
penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal
yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah
pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu.
Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal
kecil tersebut.
Ibn
Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali.
Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf
tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa
pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan
pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan
antara Al-Ghazali dan para filsuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan
dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh
melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia
tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang
dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan
sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang
materi itu.
Pendapat
kedua fiilosof ini sangat menarik untuk dilihat sudut perbedaannya, oleh sebab
itu Oliver Leaman mencoba memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan
ajaran agama. Bahwa pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan
pengetahuan, yakni pengetahuan Tuhan dan Manusia. Dalam bukunya diungkapkan;
Tuduhan
yang menarik ini semula timbul dari cara para filosof membedakan antara
pengetahuan kita dan pengetahuan Tuhan. Dilihat dari sudut pandang agama, Islam
sangat jel;as mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang
ada di atas dunia yang sementara ini. Seperti seorang manusia boleh menduga
bahwa pengetahuan seperti itu adalah penting sekali untuk tindakan penentuan
keputusan tentang nasib jiwa manusia setelah mati. Bagaimanapun juga, suatu
pikiran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, kemudian setelah
itu melupakannya bukanlah pikiran menarik bagi paham ortodok Islam. biasnya ada
sedikit keraguan, bagaimanakah pandangan al-Qur’an tentang hakikat kekuasaan
Tuhan (Qudrat Tuhan). Bahkan, Tuhan mengetahui semua pemikiran-pemikiran
manusia “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat
lehernya”. Dia (Allah) mengetahui dengan persis individu-individu yang baru
dilahirkan.
Jadi,
dalam hal ini apakah benar Ibnu Rusyd berpandangan seorang Al-Ghazali salah
dalam hal pembacaan sehingga menimbulkan kesalahpahaman? Atau ini hanya Ibn
Rusyd tidak mememiliki argumen lain tentang pengetahuan Tuhan? Di manakah letak
permasalahan yang dimaksud Al-Ghazali? Mungkinkah permasalahannya hanya pada
kesalahpahaman Al-Ghazali sendiri kepada para filosof, seperti yang dikatakan
Ibnu Rusyd? Atau sebaliknya?
C. Pedapat
Filosuf tentang Kebangkitan Jasmani
Masalah
yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah
yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena
mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik)
manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut
tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik
manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk
fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam
bentuk fisik yang tidak sempurna.
Al-Ghazali
tidak sepaham dengan pendapat para filosof di atas. Dia mengatakan bahwa jiwa
manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia merupakan
substansi yang berdiri sendiri. Al-Ghazali mengungkapkan:
“…adalah
bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan
bahwa badan jasmani tidak akan dibangkitkan pada hari Kiamat, tetapi jiwa (roh)
yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau
hukuman itupun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah.
Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman
yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan
dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”
Dalam
membantah gugatan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mencoba untuk menggambarkan
kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur, jiwa tetap
hidup, begitu pula ketika manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap
hidup bahkan jiwalah yang akan dibangkitkan. Adapun ungkapannya sebagai
berikut:
“…
perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang
terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja
pada saat tidur dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya,
tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti. Maka sudah semestinya
keadaanya pada saat kematian akan sama dengan keadaannya ketika tidur..dan
bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang dan cocok untuk diyakini
oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-orang
yang terpelajar yang keberlangsungan hidup daripada jiwa itu adalah satu hal
yang pasti. Hal inipun terang gambling dari firman Tuhan, “Tuhan mengambil
jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya, dan jiwa-jiwa orang
yang belum mati pada saat tidur mereka.
Perdebatan
di atas sebenarnya adalah perdebatan antara para filosof dan Al-Ghazali. bukan
antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang dikenyam Ibn
Rusyd adalah dari para filosof atau bahkan "kebencian" Ibn Rusyd
terhadap Al-Ghazali, maka Ibn Rusyd tidak tinggal diam dengan kecaman Al-Ghazali
terhadap para filosof. Perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun terjadi
D. Gerakan Averroisme di
Eropa
Averroisme
merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat
Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau
juga disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13-17.
Kontak
Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-Muwahhidun
setelah kematian Abu Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya
Abu Yusuf al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada
Ibnu Rusyd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan
Cardova. Pemerintah juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan
sekaligus melarang membaca karya-karyanya.[19] Beberapa pengikut setia dari
muridnya seperti Maimunides, Joseph Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut
Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini Ibnu Rusyd melanjutkan
pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau adalah bangsa Yahudi.
Pemikirannya
terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari bahasa Arab
ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang
selama ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.
Pengaruh
Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan
Averroisme di Barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang
rasional dan ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk
penghinaan terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas
menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes
Jandun (1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai
pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari Bologna (1334) serta Paul dari
Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu Rusyd lainnya mulai berani secara
terang-terangan menyatakan pendirian mereka.
Tokoh
yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282)
dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel
dan Antonius van Parma.[21]Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan
menela’ah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan
rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian
mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan
penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat
rasional. Pada gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan menuju puncak
pengetahuan, sehingga Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan
muslim ke Barat.
Ajaran-ajaran
mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah pandangan
mereka tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu
Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada yang
menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya
itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya
penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut al-Muharrik
al-Awwal (Tuhan) atau Prima Causa menurut Aristoteles.
Berdasarkan
pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka tentang
teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah
menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh
akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam
terhadap penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa
penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi
melalui hukum-hukum alam yang tetap yang telah diciptakan-Nya terhadap segala
ciptaan-Nya tersebut
Pada
tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan
murid-muridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu
menganggap ajaran Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada
tahun 1277 M pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris
melalui sebuah undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant sendiri
akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian. Pada tahun-tahun
berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang universitas yang
mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme
dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Selama tahun 1481-1801,
tidak kurang dari 340.000 pengikut Rusyd dihukum, dan hamper 32.000 diantaranya
dibakar hidup-hidup. Pendapat lain mengatakan sejak tahun 1481-1499 pengikut
Rusyd telah dibakar sebanyak 10.022 orang dan 66.860 orang dihukum gantung
serta 97.023 orang duhukum dengan berbagai sisksaan.
Namun
demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut
perkembangan gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin menyebar ke
berbagai wilayah lainnya di Eropa.[26] Apalagi setelah Johannes mengeluarkan
statemen bahwa Averroisme itu benar, kitab Suci juga benar, baginya kebenaran
ada dua yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran teologi.
Gerakan
Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan
renaisans di Eropa, artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan
warisan Yunani dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan
dengan gereja sebagai agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada
abad ke-14 hingga sekitar pertengahan abad ke-17.
Inti
renaisans adalah mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas oleh
Dewa dan motologi dalam waktu yang berabad-abad lamanya. Kehidupan berpusat
pada manusia bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran
pandangan Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan
agama, menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu
pengetahuan sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar