FILSAFAT
MASA HELENISME ROMAWI
A. Pengertian
Hellenisme / Hellenistik
Bertens (1993) berpendapat, mempelajari filsafat
Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Dimana banyak sekali bermunculan
tokoh-tokoh pemikir sekaligus filosof yang lahir dalam “Dunia Yunani”, baik
yang terkenal hingga mereka yang kurang terkenal dalam pemikirannya. Filosof
yang terkenal kebanyakan dari mereka adalah yang menuliskan pemikirannya,
seperti Aristoteles dengan tulisan-tulisannya. Meski adapula Filosof yang tidak
menulis sebarispun seperti Thales, Phytagoras, dan Sokrates.
Zaman sesudah Aristoteles memang zaman yang berbeda
sekali dengan zaman Aristoteles. Zaman ini adalah zaman yang baru, yang dimulai
dengan pemerintahan Aleksander Agung yaitu murid dari Aristoteles, dan disebut
zaman Helenisme. Helenisme berasal dari kata Hellenizein (= berbahasa Yunani,
dan juga menjadikan Yunani) sebagai roh dan kebudayaan Yunani sepanjang roh dan
kebudayaan itu memberikan ciri-cirinya kepada para bangsa yang bukan Yunani
disekitar lautan tengah, mengadakan perubahan-perubahan dibidang kesusasteraan,
agama, dan keadaan bangsa-bangsa itu.
Dalam perkembangan masa Helenisme ini ditandai dengan
perubahan bentuk filsafat dari filsafat teoritis menjadi filsafat praktis dan
membuat filsafat menjadi bagian dari seni hidup. Berbagai aliran yang muncul
pada saat itu yang semuanya bertujuan untuk menentukan cita-cita hidup manusia.
Keinginan memperoleh pengetahuan teori semakin beralih kepada ilmu-ilmu
spesial. Makin mendalam penyelidikan ini dan makin tampak gunanya bagi
penghidupan sehari-hari, akan tetapi orang makin acuh tak acuh terhadap
teori-teori metafisika umum.
B. Latar
Belakang Historis Hellenisme
Pemerintahan Aleksander merupakan pemerintahan yang
kuat dan memiliki banyak daerah taklukan. Dalam waktu sepuluh tahun sejak 334
hingga 324SM ia menaklukkan Asia Kecil, Siria, Mesir, Babilonia, Persia,
Samarkand, Bactria, dan Punjab, dimana pada setiap daerah taklukan ia selalu mendirikan kota Yunani dan mencoba
mereproduksi lembaga-lembaga Yunani, disertai upaya pemerintahan sendiri.
Berangsur-angsur ketika kawasan yang ia taklukkan kian meluas, ia memberlakukan
kebijakan yang menganjurkan pembauran secara damai antara bangsa Yunani dan
bangsa Barbar, hal ini dapat mengacu pada beberapa faktor, diantaranta:
Pasukan Aleksander tidak terlampau besar jumlahnya,
tidak mungkin selamanya mempertahankan kekuasaan imperium yang sangat luas itu
dengan jalan kekerasan, melainkan dalam waktu panjang, akan tergantung pada
kerukunan dengan rakyat yang ditaklukkan.
Bangsa Timur tidak terbiasa dengan pemerintahan apapun
kecuali pemerintahan oleh seorang dewa-raja, yang oleh Aleksander dirasakan
tepat untuk dibawakannya sendiri. Pemerintahan Aleksander menerima orang-orang
Makedonia sebagai panglima pasukannya, bahkan memberikan sebutan “sahabat”
untuk mereka. Para “sahabat” ini yang kemudian memberikan masukan saran dan
kritik dan mengambil andil yang “berpengaruh” dalam pemerintahan Aleksander.
Mereka yang memaksa Aleksander untuk lebih baik kembali setelah menaklukkan
kawasan sungai Indus dan bukan meneruskan perjalanan untuk menaklukkan kawasan
sungai Gangga.
Bangsa timur lebih suka berdamai, asalkan keyakinan
religius mereka dihargai. Hal ini tidaklah sulit bagi Aleksander yang kemudian
menyatakan dirinya adalah putra dewa. Perjalanan karier Aleksander sangatlah
menakjubkan sehingga mungkin saja ia beranggapan bahwa asal-ususlnya yang ajaib
itulah penjelasan terbaik atas keberhasilannya yang luar biasa.
Anggapan bahwa bangsa Yunani adalah bangsa yang lebih
unggul derajatnya daripada bangsa Barbar pernah diungkapkan pada sebuah
ungkapan pandangan umum yang menyatakan ras utara bersemangat, ras selatan
beradab, namun hanya bangsa Yunananilah yang penuh semangat sekaligus beradab.
Plato dan Aristoletes berpendapat bahwa tidak selayaknya bangsa Yunani
dijadikan budak, namun mereka tidak berpendapat demikian mengenai bangsa
Barbar.
Aleksander yang tidak sepenuhnya bangsa Yunani mencoba
meruntuhkan sikap superioritas ini. Ia sendiri mengawini dua putri barbar, dan
ia memaksa para pengikutnya untuk menikahi kaum perempuan Persia. Banyak
terjadi perkawinan silang antara pasukan yang dibawa Aleksander yang kemudian
menikahi kaum perempuan pribumi. Dampak dari kebijakan ini adalah timbulnya
konsepsi tentang umat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam pemikiran
orang-orang terpelajar. Sikap inipun menciptakan hasil berupa hubungan timbal
balik antara bangsa Yunani dan bangsa Barbar. Orang Barbar memetik sesuatu hal
dari ilmu pengetahuan Yunani, sedangkan orang Yunani mendapat banyak pelajaran
dari takhayul bangsa Barbar. Peradaban Yunani, setelah menjangkau wilayah lebih
luas, menjadi tidak sepenuhnya Yunani. Pembauran serta penerimaan budaya yang
berbeda, namun masih Yunani (mengadopsi budaya Yunani) inilah yang dikenal dengan
Helenisme, sebuah paham “ke-Yunani-an” yang menerima bangsa lain dalam
kehidupan bermasyarakatnya dibawah pemerintahan Aleksander.
C. Perkembangan
dalam Dunia Filsafat
Hellenisme di bagi menjadi dua fase, yaitu fase
Hellenisme dan fase Hellenisme Romawi. Fase Hellenisme adalah fase yang ketika
pemikiran filsafat hanya dimiliki oleh orang-orang Yunani. Adapun fase
Hellenisme Romawi ialah fase yang sudah datang sesudah fase hellenisme, dan
meliputi semua pemikiran filsafat yang ada pada masa kerajaan romawi, yang ikut
serta membicarakan peninggalan pikiran Yunani, antara lain pemikiran Romawi di
barat dan di timur yang ada di mesir dan di siria. Fase ini dimulai dari akhir
abad ke-4 sebelum masehi sampai pertengahan abad ke-6, Masehi di Bizantium dan
roma, atau sampai masa penerjemahan di dunia arab. Pada masa ini, aliran-aliran
etis yang menekankan pada persoalan-persoalan tentang kebijaksanaan hidup yang
praktis disamping itu juga ada aliran-aliran yang diwarnai pemikiran keagamaan.
Jadi, secara garis besarnya sifat filsafat sesudah Aristoteles atau pada masa
Helenisme dapat dibagi menjadi dua, masa Etik dan masa Religi. Yang termasuk
aliranyang bersifat Etis diantaranya adalah aliran Stoa, Epikorus, dan Skeptis.
Sedangkan yang termasuk aliran yang diwarnai agama diantaranya adalah filsafat
Neo-Pythagoras, filsafat Plotinus Tengah, filsafat Yahudu dan Neoplatonisme. Berikut
penjelasannya :
1. PERIODE
ETIK
Periode ini terdiri dari tiga sekolah filsafat, yaitu
Epikuros, Stoa dan Skeptis. Nama sekolah yang pertama diambil dari kata
pembangun sekolah itu sendiri, yaitu Epikuros. Adapun nama sekolah yang kedua
diambil dari kata”stoa” yang berarti ruang. Sedangkan nama skeptis diberikan
karena mereka kritis terhadap para filosof klasik sebelumnya. Ajarannya
dibangun dari berbagai ajaran lama, kemudian dipilih dan disatukan. Untuk lebih
jelasnya, dari ketiga macam sekolah tersebut, pemakalah akan merincinya
satu-persatu.
a. Epikuros
(341 SM)
Epikuros dilahirkan di samos pada tahun 341 SM. Pada
tahun 306 ia mulai belajar di Athena, dan di sinilah ia meninggal pada tahun
270. Filsafat Epikuros diarahkan pada satu tujuan belaka; memberikan jaminan
kebahagiaan kepada manusia. Epikuros berbeda dengan Aristoteles yang
mengutamakan penyelidikan ilmiah, ia hanya mempergunakan pengetahuan yang
diperolehnya dan hasil penyelidikan ilmu yang sudah ia kenal, sebagai alat
untuk membebaskan manusia dari ketakutan agama. Yaitu rasa takut terhadap
dewa-dewa yang ditanam dalam hati manusia oleh agama Grik lama. Menurut
pendapatnya ketakutan kepada agama itulah yang menjadi penghalang besar untuk
memperoleh kesenangan hidup. Dari sini dapat diketahui bahwa Epikuros adalah
penganut paham Atheis.
Epikuros adalah seorang filosof yang menginginkan arah
filsafatnya untuk mencapai kesenangan hidup. Oleh karena itu tidak heran jika
filosof yang satu ini menganut paham atheis. Hal ini semata-mata ia lakukan
untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, tanpa ada yang membatasi. Menurutnya filsafat dibagi menjadi tga bagian,
yaitu logika, fisika dan etik.
Epikuros berpendapat bahwa logika harus melahirkan
norma untuk pengetahuan dan kriteria untuk kebenaran. Norma dan kriteria itu
diperoleh dari pemandangan. Semua yang kita pandang itu adalah benar. Baginya
pandangan adalah kriteria .yang setinggi-tingginya untuk mencapai kebenaran.
Logikanya tidak menerima kebenaran sebagai hasil pemikiran. Kebenaran hanya
dicapai dengan pemandangan dan pengalaman.
Teori fisika yang ia ciptakan adalah untuk membebaskan
manusia dari kepercayaan pada dewa-dewa. Ia berpendapat bahwa dunia ini bukan
dijadikan dan dikuasai dewa-dewa, melainkan digerakkan oleh hukum-hukum fisika.
Segala yang terjadi disebabkan oleh sebab-sebab kausal dan mekanis. Tidak perlu
dewa-dewa 4itu diikutsertakan dalam hal peredaran alam ini. Manusia merdeka dan
berkuasa sendiri untuk menentukan nasibnya. Segala fatalisme berdasar kepada
kepercayaan yang keliru. Manusia sesudah mati tidak hidup lagi, dan hidup di
dunia ini terbatas pula lamanya, maka hidup itu adalah barang sementara yang
tidak ternilai harganya. Sebab itu, menurutnya hidup adalah untuk mencari
kesenangan.
Dari pandangan fisika yang dikemukakan Epikuros,
sangat terlihat bahwa ia adalah penganut paham atheisme. Teori-teori yang ia
ciptakan adalah untuk menihilkan peran Tuhan di dunia ini.
Ajaran
etik epikuros tidak terlepas dari teori fisika yang ia ciptakan. Pokok ajaran
etiknya adalah mencari kesenangan hidup. Kesenangan hidup ialah barang yang
paling tinggi nilainya. Kesenangan hidup berarti kesenangan badaniah dan
rohaniah. Badan terasa enak, jiwa terasa tentram. Yang paling penting dan mulia
menurutnya ialah kesenangan jiwa.
Dari ketiga ajaran Epikuros, jika diaktualisasikan ke
dalam agama Islam maka akibatnya bisa fatal sekali. Seorang muslim akan menjadi
atheis ketika mengikuti ajaran Epikuros ini. Di sinilah bahaya filsafat jika
kita telan mentah-mentah tanpa ada proses penyaringan terlebih dahulu. Apalagi
jika tidak dilandasi dengan akidah yang kuat.
b. Stoa
(340 SM)
Pendirinya adalah Zeno dari Kition. Ia dilahirkan di
Kition pada tahun 340 sebelum Masehi. Awalnya ia hanyalah seorang saudagar yang
suka berlayar. Suatu ketika kapalnya pecah di tengah laut. Dirinya selamat,
tapi hartanya habis tenggelam. Karena itu entah mengapa ia berhenti berniaga
dan tiba-tiba belajar filsafat. Ia belajar kepada Kynia dan Megaria, dan
akhirnya belajar pada academia di bawah pimpinan Xenokrates, murid Plato yang
terkenal.
Setelah keluar ia mendirikan sekolah sendiri yang
disebut Stoa. Nama itu diambil dari ruangan sekolahnya yang penuh ukiran Ruang,
dalam bahasa Grik ialah “Stoa”. Tujuan utama dari ajaran Stoa adalah
menyempurnakan moral manusia. Dalam literatur lain disebutkan bahwa pokok
ajaran etik Stoa adalah bagaimana manusia hidup selaras dengan keselarasan
dunia. Sehingga menurut mereka kebajikan ialah akal budi yang lurus, yaitu akal
budi yang sesuai dengan akal budi dunia. Pada akhirnya akan mencapai citra
idaman seorang bijaksana; hidup sesuai dengan alam.
Ajarannya tidak jauh beda dengan Epikuros yang terdiri
dari tiga bagian, yaitu logika, fisika dan etik.
Menurut kaum Stoa, logika maksudnya memperoleh
kriteria tentang kebenaran. Dalam hal ini, mereka memiliki kesamaan dengan
Epikuros. Apa yang dipikirkan tak lain dari yang telah diketahui pemandangan.
Buah pikiran benar, apabila pemandangan itu kena, yaitu memaksa kita
membenarkannya. Pemandangan yang benar ialah suatu pemandangan yang
menggambarkan barang yang dipandang dengan terang dan tajam. Sehingga orang
yang memandang itu terpaksa membanarkan dan menerima isinya.
Apabila kita memandang sesuatu barang, gambarannya
tinggal dalam otak kita sebagai ingatan. Jumlah ingatan yang banyak menjadi
pengalaman. Kaum Stoa bertentangan pendapatnya dengan Plato dan Aristoteles.
Bagi Plato dan Aristoteles pengertian itu mempunyai realita, ada pada dasarnya.
Ingat misalnya ajaran Plato tentang idea. Pengertian umum, seperti perkumpulan,
kampung, binatang dan lain sebagainya adalah suatu realita, benar adanya.
Sedangkan menurut kaum Stoa, pengetian umum itu tidak ada realitanya, semuanya
itu adalah cetakan pikiran yang subjektif untuk mudah menggolongkan
barang-barang yang nyata. Hanya barang-barang yang kelihatan yang mempunyai
realita, nyata adanya. Seperti orang laki-laki, orang perempuan, kuda putih,
kucing hitam adalah suatu realita. Pendapat kaum Stoa ini disebut dalam
filsafat pendapat nominalisme, sebagai lawan dari realisme.
Fisika kaum Stoa tidak saja memberi pelajaran tentang
alam, tetapi juga meliputi teologi. Zeno sebagai pendiri Stoa, menyamakan Tuhan
dengan dasar pembangun. Dasar pembangun ialah api yang membangun sebagai satu
bagian daripada alam. Tuhan itu menyebar ke seluruh dunia sebagai nyawa,
seperti api yang membangun menurut sesuatu tujuan. Semua yang ada tak lain dari
api dunia itu atau Tuhan dalam berbagai macam bentuk.
Menurut mereka dunia ini akan kiamat dan terjadi lagi
berganti-ganti. Pada akhirnya Tuhan menarik semuanya kembali padanya, oleh
karena itu pada kebakaran dunia yang hebat, itu semuanya menjadi api. Dari api
Tuhan itu, terjadi kembali dunia baru yang sampai kepada bagiannya yang sekecil-kecilnya
serupa dengan dunia yang kiamat dahulu.
Inti dari filsafat Stoa adalah etiknya. Maksud etiknya
itu ialah mencari dasar-dasar umum untuk bertindak dan hidup yang tepat.
Kemudian malaksanakan dasar-dasar itu dalam penghidupan. Pelaksanaan tepat dari
dasar-dasar itu ialah jalan untuk mengatasi segala kesulitan dan memperoleh
kesenangan dalam penghidupan. Kaum Stoa juga berpendapat bahwa tujuan hidup
yang tertinggi adalah memperoleh “harta yang terbesar nilainya”, yaitu
kesenangan hidup. Kemerdekaan moril seseorang adalah dasar segala etik pada
kaum Stoa.
c. Skeptis
Skeptis artinya ragu-ragu. Mereka ragu-ragu untuk
menerima ajaran-ajaran yang dari ahli-ahli filsafat sebelumnya. Perlu
diperhatikan bahwa skeptisisme sebagai suatu filsafat bukanlah sekedar
keragu-raguan, melaiankan sesuatu yang bsa disebut keraguan dogmatis. Seorang
ilmuwan mengatakan, “saya kira masalahnya begini dan begitu, tetapi saya tidak
yakin.” Seorang yang memiliki keingintahuan intelektual berujar, “saya tidak
tahu bagaimana masalahnya, tetapi saya akan berusaha mengetahuinya.” Seorang
penganut Skeptis filosofis mengatakan, “tak seorang pun yang mengetahui, dan
tak seorang pun yang akan bisa mengetahui.” Ini merupakan unsur dogmatisme yang
menyebabkan sistem tersebut lemah. Kaum Skeptis, tentu saja, membantah bahwa
mereka secara dogmatis menekankan mustahilnya pengetahuan, namun bantahan
mereka tidak meyakinkan.
Di masa Helen-Romawi ada dua sekolah Skeptis.
Kedua-duanya sama pendiriannya, keduanya ragu-ragu tentang ajaran kaum klasik
yang menyatakan bahwa kebenaran dapat diketahui. Tetapi dalam hal apa yang
dimaksud dengan sikap ragu-ragu itu, kedua sekolah itu berbeda pahamnya.
Sekolah yang satu disebut kaum skeptis aliran Pyrrhon dari Elis. Pyrrhon lahir
pada tahun 360 SM dan meninggal pada tahun 270 SM. Sekolah yang kedua disebut
Skeptis Akademia, karena aliran ini lahir dalam Akademia yang didirikan oleh
Plato. Aliran ini lahir kira-kira seumur orang sesudah Plato meninggal. Untuk
lebih lengkapnya, mari kita tinjau satu-persatu.
d. Skeptis
Pyrrhon
Skeptisisme sebagai ajaran dari berbagai madzhab,
dikemukakan pertama kali oleh Pyrrhon, yang pernah menjadi seradu dalam pasukan
Alexandros, dan pernah bertugas bersama pasukan itu sampai ke India. Sampai di
India ia mempelajari mistik India. Tidak begitu mendalam, tatapi cukup baginya
untuk menentukan jalan pikirannya. Tatkala ia kembali ke Elis, kota tempat ia
lahir, didirikannya sekolah filsafat. Muridnya cukup banyak. Ia sendiri tidak
pernah menuliskan filsafatnya. Tatapi ajarannya itu diketahui orang dari
uraian-uraian para pengikutnya.
Menurut Pyrrhon, kebenaran tidak dapat diduga. Kita
harus sangsi terhadap sesuatu yang dikatakan orang benar. Apa yang orang terima
sebagai kebenaran, hanya berdasarkan kepada kebiasaan yang diterima dari orang
ke orang. Rupanya saja “benar”. Karena itu orang harus sangsi terhadap hasil
pikiran yang disebut benar. Pikiran itu sendiri saling bertentangan. Hal ini
cukup ternyata dalam pengalaman.
Dari dua ucapan yang bertentangan tentang sesuatu,
mestilah satu yang benar dan yang lainnya salah. Dan untuk memutuskan mana yang
benar dan mana yang salah dalam pertentangan pendapat yang begitu banyak,
perlulah ada suatu kriteria tentang kebenaran. Kriteria itulah yang tidak ada.
Oleh karena itu kebenaran tidak dapat diketahui. Maka dari itu, menurut
Pyrrhon, seorang cerdik pandai hendaklah menguasai diri jangan memberi
keputusan. Menjauhkan diri dari sikap memutus adalah jalanyang ditunjukkan
Pyrrhon untuk mencapai kesenangan hidup.
e. Skeptis
Akademia
Meskipun sekolah ini didirikan oleh Plato, tetapi
generasinya tidak lagi mengusung ajaran-ajaran Plato. Para pengikut Plato,
terutama di bawah pengaruh Arkesilaos lebih mengutamakan ajaran Plato yang
bersifat negatif. Ajaran Arkesilaos berpangkal kepada ajaran Plato yang
mengatakan bahwa dunia yang kelihatan ini adalah gambaran saja dari yang asli,
bahwa pengetahuan yang didapat dari penglihatan dan pemandangan adalah bayangan
pengetahuan, bukan gambaran dari pengetahuan yang sebenarnya. Pengetahuan yang
sebenarnya tidak tercapai oleh manusia.
Arkesilaos dan para pengikutnya tidak sejauh kaum
sketis Pyrrhon menolak kemungkinan mencapai kebenaran. Mereka terutama menolak
dogma-dogma yang dikemukakan oleh kaum Epikuros dan kaum Stoa, bahwa segala
pengetahuan berdasarkan pemandangan. Mereka tidak menolak sama sekali
kemungkinan untuk mencapai pengetahuan. Norma pengetahuan itu ialah
“kemungkinan”.
Kaum Skeptis aliran Arkesilaos berpendapat bahwa
cita-cita orang bijaksana ialah bebas dari berbuat salah. Kaum Epikuros dan Stoa
mengatakan bahwa memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh dengan membentuk
dalam pikiran hasil pandangan. Menurut Arkesilaos yang seperti itu tidak
mungkin. Kriteria daripada kebenaran tidak dapat diperoleh dari pikiran
manusia. Sedangkan pikiran berdasarkan kepada bayangan saja, barang-barang yang
dipikirkan itu pada dasarnya tidak dapat dikenal.
Ketika Arkesilaos talah meninggal, ajaran itu
dihidupkan lagi oleh Karneades. Ia mengatakan bahwa kriteria bagi kebenaran
tidak ada. Pemandangan-pemandangan tak pernah dapat membedakan dengan shahih
pandangan yang benar dan pandangan salah. Tetapi sekalipun kebenaran yang
sebenarnya tidak dapat diketahui dan pengetahuan yang shahih tidak dapat
dicapai, orang tak perlu bersikap menolak terus-menerus dan menjauhkan diri
dari mempertimbangkan sesuatunya. Sebagai pegangan dalam hidup sehari-hari
dikemukakan oleh Karneades tiga tingkat “kemungkinan.” Pertama, pemandangan itu
mungkin benar. Kedua, kemungkinan itu tidak dapat dibantah. Ketiga, kemungkinan
itu tidak dapat dibantah dan telah ditinjau dari segala sudut.
2. PERIODE
RELIGI
Pada masa etik, agama itu dianggap sebagai sesuatu
belenggu yang menanam rasa takut dalam hati manusia. Karena itu agama dipandang
sebagai suatu penghalang untuk memperoleh kesenangan hidup. Dan tujuan filsafat
menurut Epikuros dan Stoa harus merintis jalan ke arah mencapai kesenangan
hidup.
Didorong oleh perasaan dan keadaan bangsa Yunani dan
bangsa lainnya yang senantiasa merasa tertekan di bawah kekuasaan kerajaan
Roma, maka ajaran Etik tidak dapat memberikan jalan keluar. Kemudian perasaan
agamalah yang akhirnya muncul sesudah beberapa abad terpendam dapat mengobati
jiwa yang terluka. Mulai dari sinilah pandangan filsafat berbelok arah, dari
otak turun ke hati.
Keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan hidup kembali.
Perasaan menyerah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kesenangan rohani.
Perasaan bimbang hilang, cinta terikat kepada Tuhan Yang Maha Tinggi. Soal
rasio tidal ada lagi, soal irasionalisme-lah yang muncul kemudian. Dengan sendirinya,
fakultas filsafat berkembang ke jurusan mistik. Perasaan mistik tidak dapat
dipupuk dengan pikiran yang rasional, melainkan dengan jiwa yang murni. Pada
periode ini, ada tiga aliran yang berperan, yaitu aliran Neo-Pythagoras, aliran
Philon, aliran Plotinus atau Neo-Platonisme. Tetapi di sini kami hanya
menjelaskan dua aliran saja, yaitu Neo Pythagoras dan Philon, karena aliran Neo
Platonisme akan dijelaskan oleh pemakalah selanjutnya.
a. Aliran
Neo Pythagoras
Dinamakan Neo Pyithagoras karena ia berpangkal pada
ajaran Pyithagoras yang mendidik kebatinan dengan belajar menyucikan roh. Yang
mengajarkannya ialah mula-mula ialah Moderatus dan Gades, yang hidup dalam abad
pertama tahun masehi. Ajaran itu kemudian diteruskan oleh Nicomachos dari
Gerasa.
Untuk mendidik perasaan cinta dan mengabdi kepada
Tuhan, orang harus menghidupkan dalam perasaannya jarak yang jauh antara Tuhan
dan manusia. Makin besar jarak itu makin besar cinta kepada Tuhan. Dalam mistik
ini, tajam sekali dikemukakan perbedaan antara Tuhan dan manusia, Tuhan dan
barang. Bedanya Tuhan dan manusia digambarkan dalam mistik neo Pythagoras
sebagai perbedaan antara yang sebersih-bersihnya dengan yang bernoda. Yang
sebersih-bersihnya adalah Tuhan, yang bernoda ialah manusia.
Menurut mereka, Tuhan sendiri tidak membuat bumi ini.
sebab apabila Tuhan membuat bumi ini , berarti ia mempergunakan barang yang
bernoda sebagai bahannya. Dunia ini dibuat oleh pembantunya, yaitu Demiourgos.
Kaum ini percaya bahwa jiwa ini akan hidup selama-lamanya dan pindah-pindah
dari angkatan makhluk turun temurun. Kepercayaan inilah yang menjadi pangkal
ajaran mereka tentang inkarnasi.
b. Philon
Alexandreia
Alexandria terletak di Mesir. Di sana bertemu antara
filsafat Yunani yang bersifat intelektualis dan rasionalis, dan pandangan agama
kaum Yahudi yang banyak mengandung mistik. Pencetusnya adalah Philon. Ia hidup
dari 25 SM, sampai 45 M. ia mencapai umur 70 tahun. Ia adalah seorang pendeta
Yahudi, karenanya filsafat yang dipelajarinya terpengaruh oleh pandangan agama.
Yang menjadi pokok pandangan filsafatnya ialah
hubungan manusia dengan Tuhan. Baginya Tuhan itu Maha Tinggi tempatnya. Tuhan
hanya dapat diketahui oleh kata-kata-Nya yang terdapat dalam kitab suci, dari
alam dan dari sejarah. Tuhan sendiri tidak dapat diketahui oleh manusia dengan
panca inderanya.
Karena Tuhan itu begitu tinggi kedudukannya, perlulah
ada perantara yang menghubungkan Tuhan dengan alam. Makhluk terutama yang
terdekat dengan Tuhan ialah “Logos”. Logos itu ialah sumber dari segala
cita-cita yang sebagai pikiran Tuhan. Logos juga beredar dalam dunia yang nyata
sebagai penjelmaan dari akal Tuhan. Kewajiban manusia yang pertama, menurut
mereka, ialah mengasuh jiwa mendekati Tuhan. Kesenangan hidup sebesar-besarnya
adalah mengabdi kepada Tuhan. Tujuan tertinggi ialah bersatu dengan Tuhan.
c. Berakhirnya
Masa Kejayaan Helenisme
Setelah kematian Aleksander, ada upaya untuk
mempertahankan kesatuan imperiumnya. Namun terjadi perang saudara dalam
pemerintahan setelahnya yang kemudian terpecah menjadi dua, yakni dinasti
Ptolemeus dan Scleucid (sebutan bagi dinasti Seleucus) dimana keduanya tak
mampu melanjutkan upaya Aleksander untuk melakukan pembauran antara bangsa
Yunani dan Barbar, dan mereka mendirikan tirani militer yang pertama-tama
dilandaskan pada kekuatan pasukan Makedonia yang berada di pihaknya
masing-masing, diperkuat oleh serdadu bayaran dari Yunani.
Beberapa
peninggalan yang dapat dilihat sesudah “keruntuhan” Helenisme diantaranya
adalah:
Sebelum timbulnya masa Helenisme, fikiran masyarakat
Yunani hanya terbatas pada cerita-cerita agama yang dibawa oleh para agamawan.
Mereka hanya menelan mentah semua yang diajarkan oleh pendeta itu tanpa
memikirkan apakah itu benar atau tidak. Setelah masuk pada masa Helenisme
mulailah timbul pemikir/ filosof-filosof yang mempertanyakan hal itu. Mereka
lalu membagi hal yang bersifat ghaib dan yang bersifat rill. Namun sayangnya
mereka belum mampu mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu “siapakah yang
awal?
Mesopotamia, maupun wilayah Barat yang lebih jauh,
bahasa Yunani menjadi bahasa sastra dan kebudayaan, dan tetap demikian sampai
saatnya ditaklukkan oleh dunia Islam. Berdirinya kota Aleksandria sebagai
keberhasilan paling gemilang pada abad ke-3 SM yang menjadi pusat perkembangan
matematika dan tetap demikian hingga masa keruntuhan Romawi.
Filsafat Yunani zaman Helenis telah mempengaruhi
perumusan teologi Kristen, dan bukan hanya filsafatnya tetapi juga
kesusastraan, seni rupa dan arsitektur Helenisme, serta telah memberikan
inspirasi, semenjak Renaisans, bagi kebudayaan Barat Modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar