A. SEJARAH
MATERIALISME
Menurut Giddens, materialisme Marx tidak berangkat
dari suatu "Posisi Ontologi apapun juga yang di pikirkan secara
logis". Materialisme Max hanya berangkat dari suatu bentuk pemahaman bahwa
kesadaran manusia merupakan produk interaksi antara manusai dengan dunia secant dialektis, di mana di
dalam interaksi tersebut dunia juga memberikan bentuk kepada manusia.Di dalam
hal ini nampak berseberangan dengan Feuer Bach dan para ahli Filsafat
materialisme lainnya yang terlebih dahulu, yang memahami hubungan kesadaran
dengan dunia, sebagai suatu hubungan yang bersi&t "Sejarah" dari
dunia menuju kesadaran, sehingga manusia akhimya seperti hanya menjadi
"Robot" yang di keadalikan oleh lingtamgan materinya. la mengkritik
mereka, dan mengatakan bahwa dunia yang di scrap oleh panca indera kita
sebenamya" sudah di persiapkan" oleh masyarakat lewat "kegiatan".
Menurut Giddens, Marx menafsirkar. sejarah sebagai
"suatu-peneiptaan dan pemuasan serta penciptaan ulang dau
keoutuhan-kebutuhan manusia yang terus menerus." Disini konsep
"kerja" ii.tpraksi kreatif antara msnusia dengan alam, menjadi
penting, karena menjadi landasan dari masyarakat Dengan demikian, diperlukan
"suatu ilmu pengetahuan mengenai masyarakat yang akan berlandaskan pada
penelitian tentang hubungan yang kreatif dan dinamis antara manusia dan alam.
"inilah prinsip umum dan materialisme sejarah Marx manurut Giddens, yaitu
: Interaksi kreatif dan dinamis antara manusia dan alam, dan Giddens
berpendapat bahwa marx tidak pernah mengatakan adanya suatu "hukum-hukum
umum yang tetap" di hal interaksi manusia dengan alam tersebut.
"Logika" perkembangan masing-masing
masyarakat memiliki ciri-ciri khas tertentu yang bersifat intern,
sehingga" kita hams bertolak dari suatu pengkajian empiris terhadap proses-proses
kehidupan sosial yang konkrit dan yang mudak bagi keberadaan manusia."
Didalama hal ini marx juga menolak suatu penafsiran yang bersifat teleologis
terhadap sejarah. Adapun menurut Giddens, marx menggunakqn perbedaan-perbedaan
pembagian kerja sebagai dasar atas tipologi masyarakat
B. HASIL
PENERAPAN SEJARAH MATERIALISME
1. Sistem-sistem
Pra-Kelas
Sistem-sistem
pra-kelas ini melibatkan dua macam masyarakat yaitu:
a. Masyarakat
Suku
Sistem kepemilikan di dalam masyarakat suku masih
bersifat komunaL Ketika mereka sudah mulai tinggal menetap, muncul pertambahan
peaduduk yang menghasilkan pembagian kerja yang lebih beragam, yang pada
gilirannya, tnenghasilkan produk-produk yang berbeda-beda. Kontak antara satu
masyarakat dengan masyarakat lainnya menimbulkan baik perang atau penaklukan
rnaupun pertukaran produk (niaga).
Perang dan penaklukan menghasilkan sistem perbudakan,
«*«<«t«gif««i pertukaran produk menghasitkan suatu bentuk pembagian kerja
yang lebih komleki dan mulai menyajikan produksi komuditi (produksi
barang-barang untuk di tukarkan di pasar). Dari perkembangan hubungan
tukar-menukar inilah kemudian muncul suatu bentuk uang.
b. Masyarakat
Timur
Ada satu fmornena mecarik yang merupakan crh khas dari
masyarakat timur, yaitu ketah&mcya tertadv pcrubafaZL atau sifzt
stagnasima.
Pertama,
karena adanya sifat swasembada yang internal dari masyarakat desa, di mana
sifat swasembada pertanian tersebut tidak menimbulkan pembagian kerja lebih
lanjut dan membatasi pertumbuhan kota-kota, karena tidak adanya pertumbuhan
urbanisasi.
Kedua,
stagnasi itu juga dapat dilihat dari tidak adanya kepemiiikan atas tanah,
sehingga adanya pertumbuhan penduddc tidak memiliki pengaruh apa-apa pada
masyarakat timur.
Masyarakat timur ini masih di kategorikan oleh Giddens
ke dalam sistem-sistem pra-kelas, karena menurut marx, walaopun sudah ada suatu
bentuk organisasi negara di dalam masyarakat timur, tetapi ia tidak pernah
melibatkan suatu sistem kelas yang maju,. Karena kepemilikannya di tmgfcatkan
Iokal masih bersifat komunal.
2. Masyarakat
kuno
Menurut Giddens, analisa marx terhadap masyarakat kuno
di pusatkan pada kasus Roma. Walaupun di Roma kota memainkan peran yang sangat
penting di dalam perekonomian, tetapi Roma terlepas dari pengaruh kepemiiikan
tanah. Adapun periuasan wilayah semakin memperluas perbudakan dan memusatkan
kepemiiikan tanah. Perkembangan dari sistem perbudakan ini berjalan seiring
dengan tumbuhnya perusahaan-perusahaan pertanian besar. Tetapi kegagalan dari
perdagangan dan industri untuk mencapai titik tertentu, dan semakin parahnya
kondisi sebagian besar dari penduduk, malah mengakibarkan penisahaan-penisahaan
pertanian tersebu: mcnjadi tidak ekooomis lagi.
Perdagangan dan kota-kota juga megalami kemunduran dan
kerentuhan, sehingga akhirnya perbudakan mulai di hapuskan dan
perusahaan-iperusahaan pertanian yang besar di pecan-pecan dan di sewakan dalam
bentuk pertanian kecil. Sistem ekooomi dollar, demikian kembali lagi kepada
pertanian dengan skala kecil. Romawi akhirnya menjadi hancur karena situasi
intemalnya sendiri kekayaan yang sebenamya
dapat di kemhangkan menjadi tenaga-tenaga produktif yang bagus.
C.
FEODALISME DAN TRANSISI MENUJU KAPITALISME
Tahap feodalisme ini di mulai dari seranga kaum barbar
atas Roma yang memang sudah hancur dari dalam. Pemerintahan di dominasi oleh
panglima militer, yang pada perkembangan selanjutnya di kelilingi oleh para
bangsawan dan kaum elite terpelajar. Peperangan dan kekacauan yang terajdi
selama beberapa abad di eropa barat, mengakibatkan kemiskinan dan penghambaan
yang meluas. Sehingga dengan demikian terjadinya tranformasi menuju sistem
feodalisme. Berbeda dengan masyarakat kuno, maka pada feodalisme, pusat
perekonomian ada di pedesaan.
Ada
dua tabap kemajuan sejarah yang terdapat di dalam transisi dari masa feodalisme
menuju kapitalisme, yaitu:
Pertama,
adalah gerakan kelas pedagang dari perdagangan mumi ke dalam produksi. Hal ini
terjadi pada abad ke dua kelas (XII), ketika kota-kota berkembang menjadi pusat
perdagangan. Berkembang perdagangan ini mengakibatkan pemakaian uang makin luas
dan terajdinya pertukaran komoditi di dalam sistem ekonomi feodal. Walaupun
begitu perkembangan kapitalisme menuliki keterbatasannya sendiri. Ada beberapa
sebab dari keterbatasan itu, yang pertama adalah karena kota-kota di kuasai
oleh serikat-serikat sekerja yaug "sangat membatasi jumlah magang dan
luhisan permagangan yang boleh di pekerjakan oleh sang majikan.
Kedua,
adalah bahwa mayoritas Penduduk nada saat itu masih terdiri dari kaum tani yang
merdeka. Tahapan sejarah yang kedua di dalam masa transisi menuju kapitalisme
adalah para produsen yang bergerak sendiri dari produksi untuk memperluas
bidang-bidang kegiatan mereka, agar bisa meliputi perdagangan.
Menurut Marx, peristiwa-peristiwa belum merupakan
memenuhi syarat-syarat bagi munculriya kapitalisme. Penstiwa yang juga sama
pentingnya dengan proses pengambil alihan itu adalah perluasan perdagangan
lewat lautan yang jauh, sebagai akibat dari penemuan-penemuan di lapangaa
geografis (penemuan benua Amerika dan tanjung h^rapan). Perdagangan lewat
lautan ini menimbulkan pemasukan kapital yang cepat, serta di tambah lagi
dengan penemuan emas dac perak yang mengakibatkan terjadinya banjir logam mulia
di Inggris.
D.
materialisme dan idealisme
Masalah fundamental yang besar dari semua filsafat,
teristimewa dari filsafat yang akhir-akhir ini, ialah masalah mengenai hubungan
antara pikiran dengan keadaan. Sejak zaman purbakala, ketika manusia, yang
masih sama sekali tidak tahu tentang susunan tubuh mereka sendiri, di bawah
rangsang khayal-khayal impian mulai
percaya bahwa pikiran dan perasaan mereka bukanlah aktivitas-aktivitas tubuh
mereka, tetapi, aktivitas-aktivitas suatu nyawa yang tersendiri yang mendiami
tubuhnya dan meninggalkan tubuh itu ketika mati - sejak waktu itu manusia
didorong untuk memikirkan tentang hubungan antara nyawa dengan dunia luar. Jika
pada waktu seseorang meninggal dunia nyawa itu meninggalkan tubuh dan hidup
terus, maka tidak ada alasan untuk mereka-reka kematian lain yang tersendiri
baginya. Maka itu timbul ide tentang kekekal-abadian, yang pada tingkat.
perkembangan waktu itu sama sekali tidak nampak sebagai penghibur tetapi
sebagai takdir yang terhadapnya tiada berguna mengadakan perlawanan, dan sering
sekali, seperti dikalangan orang-orang Yunani, sebagai malapetaka yang sesungguhnya.
Bukannya hasrat keagamaan akan suatu penghibur, tetapi kebingungan yang timbul
dari ketidaktahuan umum yang lazim tentang apa yang harus diperbuat dengan
nyawa itu, sekali adanya nyawa itu diakui, sesudah tubuh mati, menuju secara
umum kepada paham tentang kekekal-abadian perorangan. Dengan cara yang persis
sama, lahirlah dewa-dewa pertama, lewat personifikasi kekuatan-kekuatan alam.
Dan dalam perkembangan agama-agama selanjutnya dewa-dewa itu makin lama makin
mengambil bentuk-bentuk diluar-keduniawian, sehingga akhirnya lewat proses
abstraksi saja hampir bisa mengatakan proses penyulingan, yang terjadi secara
wajar dalam proses perkembangan intelek manusia, dari dewa-dewa yang banyak
jumlahnya itu, yang banyak sedikitnya terbatas dan saling-membatasi, muncul di
dalam pikiran-pikiran manusia ide tentang satu tuhan yang eksklusif dari
agama-agama monoteis.
Jadi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan,
hubungan antara jiwa dengan alam - masalah yang terpenting dari seluruh
filsafat - mempunyai, tidak kurang daripada semua agama, akar-akarnya di dalam
paham-paham kebiadaban yang berpikiran-sempit dan tiada berpengetahuan. Tetapi
masalah itu untuk pertama kalinya dapat diajukan dengan seluruh ketajamannya,
dapat mencapai arti pentingnya yang sepenuhnya, hanya setelah umat manusia di
Eropa bangun dari kenyenyakan tidur yang lama dalam Zaman Tengah Nasrani.
Masalah kedudukan pikiran dalam hubungan dengan keadaan, suatu masalah yang,
sepintas lalu, telah memainkan peranan besar juga dalam skolastisisme Zaman
Tengah, masalah: yang mana yang primer, jiwa atau alam - masalah itu, dalam
hubungan dengan gereja, dipertajam menjadi : Apakah Tuhan menciptakan dunia
ataukah dunia sudah ada sejak dulu dan akan tetap ada di kemudian hari?
Jawaban-jawaban yang diberikan oleh para ahli filsafat
ke masalah ini membagi mereka ke dalam dua kubu besar. Mereka yang menegaskan
bahwa jiwa ada yang primer jika dibandingkan dengan alam, dan karenanya,
akhirnya, menganggap adanya penciptaan dunia dalam satu atau lain bentuk - dan
di kalangan para ahli filsafat, Hegel, misalnya, penciptaan ini sering menjadi
lebih rumit dan mustahil daripada dalam agama Nasrani - merupakan kubu
idealisme. Yang lain, yang menganggap alam sebagai yang primer, tergolong ke
dalam berbagai mazhab materialisme.
Dua pernyataan ini, idealisme,dan materialisme,
mula-mula tidak mempunyai arti lain daripada itu; dan disinipun kedua
pernyataan itu tidak digunakan dalam arti lain apapun. Kekacauan apa yang
timbul bila sesuatu arti lain diberikan kepada kedua pernyataan itu akan kita
lihat di bawah ini.
Tetapi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan
mempunyai segi lain lagi - bagaimana hubungan pikiran kita tentang dunia di
sekitar kita dengan dunia itu sendiri ? Dapatkah pikiran kita mengenal dunia yang
sebenarnya? Dapatkah kita menghasilkan pencerminan tepat dari realitas di dalam
ide-ide dan pengertian-pengertian kita tentang dunia yang sebenarnya itu? Dalam
bahasa filsafat masalah ini dinamakan masalah identitas pikiran dengan keadaan,
dan jumlah yang sangat besar dari para ahli filsafat memberikan jawaban yang
mengiyakan atas pertanyaan ini. Hegel, misalnya, pengiyaanya sudah jelas dengan
sendirinya; sebab apa yang kita kenal di dalam dunia nyata adalah justru
isi-pikirannya - yang menjadikan dunia berangsur-angsur suatu realisasi dari
ide absolut yang sudah ada di sesuatu tempat sejak dahulukala, lepas dari dunia
dan sebelum dunia. Tetapi adalah jelas, tanpa bukti lebih lanjut, bahwa pikiran
dapat mengetahui isi yang sejak semula adalah isi-pikiran. Adalah sama jelasnya
bahwa apa yang harus dibuktikan disini sudah dengan sendirinya terkandung di
dalam premis-premisnya. Tetapi hal itu sekali-kali tidak merintangi Hegel
menarik kesimpulan lebih lanjut dari pembuktiannya tentang identitas pikiran
dengan keadaan yaitu bahwa filsafatnya, karena tepat bagi pemikirannya, adalah
satu-satunya yang tepat, dan bahwa identitas pikiran dengan keadaan mesti
membuktikan keabsahannya dengan jalan umat manusia segera menerjemahkan
filsafatnya dari teori ke dalam praktek dan mengubah seleruh dunia sesuai
dengan prinsip-prinsip Hegel. Ini adalah suatu khayalan yang sama-sama terdapat
pada Hegel dan pada hampir semua ahli filsafat.
Di samping itu masih ada segolongan ahli filsafat
lainnya - mereka yang meragukan kemungkinan pengenalan apapun, atau
sekurang-kurangnya pengenalan yang selengkap-lengkapnya, tentang dunia. Di
dalam golongan ini, diantara para ahli filsafat yang lebih modern, termasuk
Hume dan Kant, dan mereka telah memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan
filsafat. Apa yang menentukan dalam menyangkal pandangan ini sudah dikatakan
oleh Hegel, sejauh ini mungkin dari pendirian idealis. Tambahan-tambahan
materialis yang diajukan oleh Feuerbach, adalah lebih bersifat cerdik daripada
mendalam. Penyangkalan yang paling kena terhadap pikiran aneh ini seperti
terhadap semua pikiran filsafat yang aneh lainnya ialah praktek, yaitu
eksperimen dan industri. Jika kita dapat membuktikan ketepatan konsepsi kita
tentang suatu proses alam dengan membikinnya sendiri, dengan menciptakannya
dari syarat-syaratnya dan malahan membuatnya berguna untuk maksud-maksud kita
sendiri, maka berakhirlah sudah “konsepsi” Kant yang tak terpahami itu tentang
“benda-dalam-dirinya” Zat-zat kimia yang dihasilkan di dalam tumbuh-tumbuhan
dan di dalam tubuh binatang tetap merupakan “benda-dalam-dirinya” itu sampai
ilmu kimia organik mulai menghasilkan zat-zat itu satu per satu; sesudah itu
“benda-dalam-dirinya” menjadi benda untuk kita, seperti, misalnya, alizarin,
zat warna dari tumbuh-tumbuhan Rubiantinetorum, yang kita tidak susah-susah
lagi menghasilkannya di dalam akar-akar tumbuh-tumbuhan itu di ladang, tetapi
membuatnya jauh lebih murah dan sederhana dari tir batubara. Selama 300 tahun
sistim tata surya Copernikus merupakan hipotesa dengan kemungkinan benarnya
seratus, seribu atau sepuluh ribu lawan satu, meskipun masih tetap suatu
hipotesa. Tetapi ketika Leverrier, dengan bahan-bahan yang diberikan oleh
sistim itu, bukan hanya menarik kesimpulan tentang keharusan adanya suatu planet
yang tidak diketahui, tetapi juga menghitung kedudukan yang mesti ditempati
oleh planet itu di langit, dean ketika Gallilei benar-benar menemukan planet
itu, maka terbuktilah kebenaran sistim Copernikus itu. Jika, sekalipuni
demikian, kaum Kantian Baru sedang mencoba menghidupkan kembali paham Kant di
Jerman dan kaum agnostik menghidupkan kembali paham Hume di Inggris (dimana
paham itu sesungguhnya belum pernah lenyap), maka, mengingat bahwa secara teori
dan praktek bantahan terhadap paham-paham itu sudah lama dicapai, hal ini
secara ilmiah merupakan kemunduran dan secara praktis hanya merupakan cara
kemalu-maluan dalam menerima materialisme dengan diam-dima, sambil
mengingkarinya di depan dunia.
Tetapi selama periode yang Panjang ini, yaitu sejak
Descartes sampai Hegel dan sejak Hobbes sampai Feuerbach, para ahli filsafat
sekali-kali tidak didorong, seperti yang mereka pikirkan, oleh kekuatan akal
murni semata. Sebaliknya, yang betul-betul sangat mendorong mereka maju ialah
kemajuan yang perkasa dan semakin cepat dari ilmu-ilmu alam dan industri. Di
kalangan kaum materialis hal ini terang-benderang terlihat dipermukaan, tetapi
sistim-sistim idealis juga semakin banyak mengisi diri dengan isi materialis
dan mencoba secara panteis mendamaikan pertentangan antara pikiran dengan
materi. Jadi, akhirnya, mengenai metode dan isi sistim Hegelian hanyalah
mewakili materialisme yang dijungkirbalikkan secara idealis.
Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa Starcke dalam
karakterisasinya tentang Feuerbach pertama-tama menyelidiki pendirian Feuerbach
dalam hubungan dengan masalah fundamental ini, yaitu hubungan pikiran dengan
keadaan. Sesudah mengajukan suatu pengantar singkat, dalam mana
pendirian-pendirian ahli filsafat yang terdahulu, terutama sejak Kant,
dilukiskan dalam bahasa filsafat yang secara tidak semestinya berat, dan dalam
mana Hegel, oleh karena terlalu formalistis berpegang teguh pada bagian-bagian
tertentu dari karya-karyanya, pendapat jauh lebih sedikit daripada yang patut
baginya, menyusul suatu penguraian mendetail tentang jalan perkembangan
“metafisika” Feuerbach itu sendiri, sebagaimana jalan ini berturut-turut
dicerminkan di dalam tulisan-tulisan filsuf itu yang ada sangkut pautnya
disini. Penguraian itu disusun dengan rajin dan terang; hanya, seperti halnya
seluruh buku itu, penguraian itu diisi dengan beban fraseologi filsafat yang
disana-sini bukannya sama sekali tidak dapat dihindari dan yang pengaruhnya
lebih mengganggu semakin kurang pengarangnya berpegang pada cara pengungkapan
mazhab yang itu-itu juga, atau bahkan cara pengungkapan Feuerbach sendiri, dan
sernakin banyak dia menyisipkan ungkapan-ungkapan aliran-aliran yang sangat
berbeda-beda, terutama aliran-aliran yang kini merajalela dan, menamakan
dirinya aliran filsafat.
Jalan evolusi Feuerbach ialah jalan evolusi seorang
Hegelian - memang, tidak pernah seorang ortodoks Hegelian yang sempurna -
menjadi seorang materialis; suatu evolusi yang pada tingkat tertentu
mengharuskan adanya pemutusan hubungan seluruhnya dengan sistim idealis dari
pendahulunya. Dengan kekuatan yang tak tertahan, Feuerbach akhirnya didorong
menginsafi, bahwa adanya “ide absolut” pra-dunia dari Hegel, “adanya terlebih
dulu kategori logis” sebelum dunia ada, adalah tidak lain daripada sisa
khayalan dari kepercayaan tentang adanya pencipta diluar-dunia; bahwa dunia
materiil yang dapat dirasa dengan panca indera, yang kita sendiri termasuk di
dalamnya, adalah satunya realitas; dan bahwa kesadaran serta pemikiran kita,
betapa diatas-panca-inderapun nampaknya, adalah hasil organ tubuh yang
materiil, yaitu otak. Materi bukanlah hasil jiwa, tetapi jiwa itu sendiri
hanyalah hasil tertinggi dari materi. Ini sudah tentu adalah materialisme
semurni-murninya. Tetapi setelah sampai sedemikian jauh, Feuerbach tiba berhenti. Dia tidak dapat mengatasi
purbasangka filsafat yang lazim, purbasangka bukan terhadap barangnya tetapi
terhadap nama materialisme. Dia berkata: “Bagi saya materialisme adalah dasar
dari bangunan hakekat dan pengetahuan manusia; tetapi bagi saya materialisme
bukanlah seperti bagi ahli fisiologi, seperti bagi sarjana ilmu2 alam dalam
arti yang lebih sempit, misalnya, bagi Moleskhott, dan memang suatu keharusan
menurut pendirian dan pekerjaan mereka, yaitu bangunan itu sendiri. Ke belakang
saya setuju sepenuhnya dengan kaum materialis; tetapi ke depan tidak.”
Disini Feuerbach mencampurbaurkan materialisme yang
merupakan pandangan-dunia umum yang bersandar pada pengertian tertentu tentang
hubungan antara materi dengan pikiran. dengan bentuk khusus dalam mana
pandangan-dunia ini dinyatakan pada tingkat sejarah tertentu, yaitu dalam abad
ke-18. Lebih daripada itu, dia mencampurbaurkannya dengan bentuk yang dangkal,
yang divulgarkan, dalam mana materialisme abad ke-18 hidup terus hingga hari
ini di dalam kepala para ahli ilmu alam dan fisika, bentuk yang dikhotbahkan
oleh Bükhner, Vogt dan Moleskhott pada tahun limapuluhan dalam perjalanan
keliling mereka. Tetapi. sebagaimana idealisme mengalami sederet tingkat
perkembangan, begitu juga materialisme. Dengan setiap penemuan yang membuat
zaman, sekalipun di bidang ilmu alam, materialisme harus mengubah bentuknya,
dan setelah sejarah juga dikenakan perlakuan materialis, maka disinipun terbuka
jalan raya perkembangan yang baru.
Materialisme abad yang lampau adalah terutama mekanis,
sebab pada waktu itu, di antara semua ilmu alam hanya ilmu mekanika, dan memang
hanya ilmu mekanika benda padat langit dan bumi pendek kata, ilmu mekanika
gravitasi telah mencapai titik akhir tertentu. Ilmu kimia pada waktu itu baru
berada dalam masa kanaknya, dalam bentuk phlogistis. Biologi masih berlampin;
organisme tumbuh-tumbuhan dan hewan baru saja diperiksa secara kasar dan
dijelaskan sebagai akibat sebab mekanik semata. Seperti hewan bagi Descartes,
begitu juga manusia bagi kaum materialis abad ke-18 adalah suatu mesin.
Penerapan secara eksklusif norma-norma mekanika ini pada proses-proses yang
bersifat kimiawi dan organik - yang di dalamnya hokum-hukum mekanika memang
berlaku tetapi didesak kebelakang oleh hukum-hukum lain yang lebih tinggi -
merupakan keterbatasan khusus yang pertama tapi yang pada waktu itu tak
terhindarkan dari materialisme klasik Perancis.
Keterbatasan khusus yang kedua dari materialisme ini
terletak dalam ketidakmampuannya memahami alam semesta sebagai suatu proses,
sebagai materi yang mengalami perkembangan sejarah yang tak putus-putusnya. Ini
sesuai dengan tingkat ilmu alam pada waktu itu, dan dengan cara berfilsafat
secara metafisik, yaitu antidialektik, yang bertalian dengan tingkat ilmu-ilmu
itu. Alam, sejauh yang sudah diketahui, berada dalam gerak yang kekal-abadi.
Tetapi menurut ide-ide pada waktu itu, gerak itu berlangsung, juga dengan
kekal-abadi, dalam lingkaran dan karenanya tidak pernah berpindah dari
tempatnya: gerak itu berulang-ulang menghasilkan hasil yang itu juga. Pandangan
itu pada waktu itu tidak dapat dielakkan. Teori Kant tentang asal-usul tata
surya baru saja dikemukakan dan masih dianggap sebagai suatu barang ajaib
belaka. Sejarah perkembangan bumi, geologi, masih sama sekali belum diketahui,
dan konsepsi bahwa makhluk alam yang bernyawa di hari ini adalah hasil guatu
rentetan perkembangan yang panjang dari yang sederhana ke yang rumit, pada
waktu itu sama sekali tidak dapat dikemukakan secara ilmiah. Oleh sebab itu
pendirian yang tidak historis terhadap alam tidak dapat dielakkan. Semakin
kuranglah alasan kita untuk mencela para ahli filsafat abad ke-18 tentang hal
itu, karena hal yang sama terdapat pada Hegel. Menurut Hegel, alam, sebagai
“penjelmaan” semata diri ide, tidak mampu berkembang dalam waktu hanya mampu
memperbesar kelipatgandaannya dalam ruang, sehingga alam bersamaan dan
berdampingan satusamalain memperlihatkan semua tingkat perkembangan yang
terkandung di dalamnya, dan ditakdirkan mengalami pengulangan yang kekal-abadi
dari proses-proses yang itu juga. Hal yang tak masuk akal ini, yaitu
perkembangan dalam ruang, tetapi yang lepas dari waktu - syarat fundamental
bagi semua perkembangan - dipaksakan oleh Hegel pada alam justru ketika geologi,
embriologi, fisiologi tumbuh-tumbuhan dan hewan, serta ilmu kimia organik
sedang dibangun, dan ketika dimana-mana berdasarkan ilmu baru ini sedang tampil
ramalan-ramalan gemilang dari teori evolusi yang datang kemudian (misalnya;
Goethe dan Lamarck). Tetapi sistim menuntutnya; maka itu metode, demi
kepentingan sistim, harus menjadi tidak jujur terhadap dirinya sendiri.
Konsepsi tidak-historis yang sama berkuasa juga di
bidang sejarah. Di bidang itu perjuangan melawan sisa-sisa Zaman Tengah
memburemkan pandangan. Zaman Tengah dianggap sebagai interupsi sejarah belaka
selama seribu tahun kebiadaban umum. Kemajuan besar yang dibuat dalam Zaman
Tengah - peluasan wilayah kebudayaan Eropa, bangsa-bangsa besar yang
berdayahidup sedang terbentuk di wilayah itu damping-mendampingi, dan akhirnya
kemajuan teknik yang luar biasa pada abad ke-14 dan ke-15 semua ini tidak
dilihat. Jadi tidak dimungkinkan adanya pengertian rasionil tentang
saling-hubungan kesejarahan yang besar, dan sejarah paling banyak menjadi suatu
kumpulan contoh-contoh dan ilustrasi untuk digunakan oleh para ahli filsafat.
Penjajah yang melakukan pemvulgaran, yang di Jerman
pada tahun limapuluhan berkecimpung dalam materialisme, sama sekali tidak
mengatasi keterbatasan guru-guru mereka itu. Seluruh kemajuan ilmu-ilmu alam
yang sementara itu telah dicapai bagi mereka hanyalah bukti-bukti baru saja yang dapat digunakan untuk
menentang adanya pencipta dunia; dan memang,mereka samasekali tidak menjadikan
pengembangan teori itu lebih jauh sebagai usaha mereka. Walaupun idealisme
sudah tidak bisa berkembang lagi dan mendapat pukulan yang mematikan dari
Revolusi 1848, ia mempunyai kepuasan melihat bahwa materialisme untuk waktu itu
sudah tenggelam lebih dalam lagi. Tidak dapat disangkal bahwa Feuerbach adalah
benar ketika dia menolak memikul tanggungjawab atas materialisme itu; hanya dia
semestinya tidak mencampurbaurkan ajaran-ajaran pengkhotbah berkelilling itu
dengan materialisme pada umumnya.
Tetapi, disini, ada dua hal yang harus diperhatikan.
Pertama, semasa hidup Feuerbachpun, ilmu-ilmu alam masih berada dalam proses
pergolakan yang hebat, pergolakan yang baru selama lima belas tahun yang
akhir-akhir ini mencapai kesimpulan relatif yang membawa kejelasan. Bahan
ilmiah baru telah diperoleh dalam ukuran yang belum pernah terdengar hingga
kini, tetapi penetapan saling-hubungan, dan dengan demikian soal membawa
ketertiban ke dalam kekacauan penemuan
yang dengan cepatnya susul-menyusul, baru akhir ini menjadi mungkin.
Memang benar bahwa Feuerbach semasa hidupnya masih sempat menyaksikan ketiga
penemuan yang menentukan penemuan sel, transformasi energi dan teori evolusi,
yang diberi nama menurut Darwin. Tetapi bagaimana seorang ahli filsafat yang
kesepian, yang hidup dalam kesunyian desa, dapat secara memuaskan mengikuti
perkembangan ilmiah guna menghargai menurut sepenuh nilainya penemuan yang
sarjana ilmu alam sendiri pada waktu itu masih membantahnya atau tidak tahu
bagaimana menggunakannya sebaik-baiknya? Kesalahan tentang ini semata-mata
terletak pada syarat yang menyedihkan yang terdapat di Jerman, yang mengakibatkan
tukang tindas-kutu eklektis yang melamun telah menempati mimbar filsafat,
sedangkan Feuerbach yang menjulang tinggi diatas mereka semua, harus tinggal
diudik dan membusuk disuatu desa kecil. Maka itu bukanlah salah Feuerbach bahwa
konsepsi historis tentang alam, yang kini sudah mungkin dan yang menyingkirkan
segala keberatsebelahan materialisme Perancis, tetap tak tercapai olehnya.
Kedua,
Feuerbach memang tepat dalam menyatakan bahwa materialisme alam-ilmiah yang
eksklusif adalah sesungguhnya dasar dari bangunan pengetahuan manusia, tetapi
bukan bangunan itu sendiri. Karena kita tidak hanya hidup di dalam alam, tetapi
juga di dalam masyarakat manusia, dan inipun, tidak kurang daripada alam,
mempunyai sejarah perkembangannya dan ilmunya. Oleh sebab itu soalnya ialah
membikin ilmu tentang masyarakat, yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang
dinamakan ilmu-ilmu sejarah dan filsafat, selaras dengan dasar materialis, dan
membangunnya kembali di atas dasar itu. Tetapi tidak ditakdirkan bahwa
Feuerbachlah yang melakukan hal yang demikian itu. Meskipun ada “dasar”nya, dia
disini tetap terikat oleh belenggul idealis yang tradisionil, suatu kenyataan
yang dia akui dengan kata-kata berikut ini : “Kebelakang saya setuju dengan
kaum materialis, tetapi kedepan tidak!” Tetapi disini Feuerbach sendirilah yang
tidak maju “kedepan”, ke lapangan sosial, yang tidak dapat melampaui
pendiriannya tahun 1840 atau 1844. Dan lagi ini terutama disebabkan oleh
pengasingan diri yang memaksa dia, yang, diantara semua filsuf, adalah yang paling
cenderung kepada pergaulan, kemasyarakatan, untuk menghasilkan pikiran dari
kepalanya yang kesepian itu dan bukan sebaliknya, yaitu dari pertemuan yang
bersahabat dan bermusuhan dengan orang lain yang sekaliber dengan dia. Kelak
akan kita lihat secara mendetail seberapa banyak dia tetap seorang idealis di
dalam bidang itu.
“Feuerbach adalah seorang idealis; dia percaya akan
kemajuan umat manusia.” . “Dasar, bangunan bawah dari keseluruhannya,
bagaimanapun tetap idealisme. Realisme bagi kami tidaklah lain daripada suatu
perlindungan terhadap penyelewengan, sementara kami mengikuiti kecenderungan
ideal kami. Bukankah kasih, cinta dan kegairahan akan kebenaran dan keadilan
merupakan kekuatan ideal?”
Pertama,
idealisme disini tidak mengandung arti lain daripada pengejaran tujuan ideal.
Tetapi, ini seharusnya paling menyangkut idealisme Kant dan “imperatif
kategoris”nya, sebaliknya, Kant sendiri menyebut filsafatnya “idealisme
transcendental”; dan sekali-kali bukan karena dia di dalamnya juga
mempersoalkan cita-cita etika, tetapi karena alasan yang lain samasekali, sebagaimana Starcke
akan ingat. Takhayul bahwa idealisme filsafat bersendikan kepercayaan akan
cita-cita etika, yaitu cita-cita sosial, timbul diluar filsafat, dikalangan
kaum filistin Jerman, yang mengapalkan diluar kepala beberapa bagian kebudayaan
filsafat yang mereka perlukan dari syair Skhiller. Tidak seorangpun yang lebih
keras mengecam “imperatif kategoris” Kant yang impoten, impoten karena dia
menuntut hal yang tidak mungkin, dan karenanya tidak pernah menjadi kenyataan -
tidak seorangpun yang lebih kejam mencemoohkan kegairahan filistin yang
sentimental akan cita2 yang tak dapat direalisasi yang diajukan oleh Skhiller
daripada justru Hegel, orang idealis yang sempurna itu. (Lihat misalnya, bukunya
Fenomenologi).
Kedua,
kita sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa segala
sesuatu yang membikin manusia bertindak harus melalui otak mereka - bahkan
makan dan minum, yang mulai sebagai akibat dari rasa lapar atau rasa haus hanya
disampaikan melalui otak dan berakhir sebagai hasil rasa puas yang juga
disampaikan melalui otak. Pengaruh2 dunia luar terhadap manusia menyatakan
dirinya di dalam otaknya, dicerminkan di dalamnya sebagai perasaan, pikiran,
rangsang, kemauan - pendek kata, sebagai “kecenderungan2 ideal”, dan dalam
bentuk ini menjadi “kekuatan2 ideal”. Maka itu, jika seseorang harus dianggap
idealis karena dia mengikuti “kecenderungan2 ideal” dan mengakui bahwa
“kekuatan2 ideal” mempunyai pengaruh terhadap dia, maka sietiap orang yang agak
normal perkembangannya adalah seoreang idealis sejak lahirmya dan jika demikian
apakah masih bisa ada seorang materialis?
Ketiga,
keyakinan bahwa kemanusiaan, sekurang-kurangnya pada saat sekarang ini, dalam
keseluruhannya bergerak menurut arah yang maju tidak mempuniai sangkut paut
apapun dengan antagonisme antara materialisme dan idealisme. Kaum materialis
Perancis, tidak kurang daripada orang
deis seperti Voltaire dan Rousseau menganut keyakinan itu dalam derajat
yang hampir fanatik, dan kerapkali telah membuat pengorbanan perorangan yang
paling besar untuk keyakinan itu. Jika pernah ada orang yang mengabdikan
seluruh hidupnya kepada “kegairahan akan kebenaran dan keadilan” - menggunakan
kata2 itu dalam arti yang baik - maka orang itu adalah Diderot, misalnya. Oleh
sebab itu, jika Starcke menyatakan bahwa semua itu adalah idealisme, maka ini
hanya membuktikan bahwa bagi dia kata materialisme, dan seluruh antagonisme
antara kedua aliran itu telah hilang segala artinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar