A. SEJARAH
PEMIKIRAN AL-FARABI
1. Biografi
dan Karyanya
Nama
Al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan. Sebutan Al-Farabi
di ambil dari nama kota dimana ia dilahirkan yaitu kota Farab. Ia lahir pada
tahun 257 H / 870 M. Ayahnya berasal dari Iran (Persia) dan menikah dengan
seorang wanita Turkestan. Oleh karena itu ia biasa disebut sebagai orang
Persia.
Sejak
kecil ia sudah suka belajar dan mempunyai kecakapan dalam bidang bahasa. Bahasa
yang di kuasainya antara lain adalah bahasa-bahasa Iran, Turkestan dan
Kurdistan. Setelah besar Al-Farabi meninggalkan negerinya menuju Baghdad
sebagai pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada saat itu. Selama di
Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Pada saat pertama
tinggal di Baghdad ia tidak banyak menguasai Bahasa Arab. Akhirnya ia belajar
ilmu nahwu pada Abu Bakar as-Sarraj, sebagai imbalan terhadap pelajaran logika
yang ia ajarkan kepadanya. Setelah itu ia pindah ke Harran, salah satu pusat
kebudayaan Yunani di Asia kecil. Disana ia berguru kepada Yuhanna bin Jilan.
Namun tidak lama ia kembali lagi ke Baghdad untuk mendalami ilmu filsafat
setelah ia sudah menguasai ilmu mantik (logika). Selama 30 tahun ia tinggal di
Baghdad dan memaksimalkan waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran dan
mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu antara lain
adalah Yahya bin Ady. Kemudian setelah itu ia pindah ke Damaskus pada tahun 330
H / 941 M. disini ia mendapatkan kedudukan istimewa dari Saifuddaulah, seorang
penguasa dinasti Hamdan di Halab (daerah Aleppo). Ia menetap di kota Damaskus
hingga wafatnya pada tahun 337 H / 950 M pada usia 80 tahun.
Dalam
bidang fisafat, Al-farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi
dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat yang lebih
tinggi hingga seorang orientalis berkebangsaan Perancis, Massignon menyebutkan
bahwa ia adalah seorang filosof muslim yang pertama dengan arti yang
sesungguhnya. Kendati sebelum Al-farabi sudah ada Al-Kindi sebagai orang yang
pertama membuka penetrasi ilmu filsafat di dunia Islam, namun masih belum
terbentuk sebagai satu disiplin keilmuan khas. Sebaliknya Al-Farabi dianggap
sebagai orang yang menekuni bidang filsafat dan berhasil membentuk system
filsafat yang lengkap dan cukup memainkan peranan penting dalam dunia islam di
bidang filsafat. Para filosof sesudahnya adalah para muridnya, diantaranya
adalah Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan filosof-filosof lainnya. Oleh karena itu ia
disebut sebagai guru kedua setelah Aristoteles yang dianggap guru pertama dalam
bidang filsafat.
Karya
al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan
mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam
arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada
keberadaan agama , baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut
logika. Dikatakan “lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi
berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara
luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim
dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari
agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang
rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.
Karya
al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya
Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang.
Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah dan sebagain besar naskah-naskah ini
belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang
pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran yang
dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan system pemikiran Hellenik
berdasarkan Plato dan Aristoteles. Diantara judul karya al-Farabi yang terkenal
adalah :
1) Aghradhu
ma Ba’da al-Tabi’ah
2) Al-Jam’u
bain Ra’y al-Hakimain
3) Tahsil
al-Sa’adah
4) ‘U’yun
al-Masa’il
5) Ara’
Ahl al-Madinah al-Fadhilah
6) Ihsa’
al-‘Ulum
2. Pandangannya
tentang Metafisika
Mengenai
pemikiran Al-Farabi di bidang metafisika, penulis hanya membatasi dalam hal-hal
yang terkait dengan pemikiran Islam diantaranya menyangkut masalah wujud Tuhan
dan sifat-sifatnya, masalah teori emanasi yang membicarakan proses penciptaan
alam semesta, dan lain-lain.
Sebelum
membahas mengenai tentang wujud Tuhan, al-Farabi membuat kerangka pemikiran
mengenai wujud, ia membaginya menjadi dua bagian:
a. Wujud
yang mumkin, yaitu wujud yang ada karena ada sebab lainnya, seperti adanya
cahaya matahari karena sebab adanya matahari. Cahaya tersebut bisa ada atau
tidak ada. Oleh karena itu ia disebut sebagai wujud yang mumkin. Keberadaannya
bergantung pada wujud yang lain. Adanya wujud yang mumkin tersebut menjadi
bukti adanya wujud yang menjadi sebab pertama yakni Tuhan. Karena segala yang
mumkin harus berakhir pada wujud yang nyata dan pertama kali ada. Wujud pertama
menjadi sebab adanya wujud lainnya, karena wujud yang mumkin tersebut tidak
mungkin menciptakan dirinya sendiri.
b. Wujud
yang wajib adanya (wajib al-wujud ) yaitu wujud yang ada bukan karena sebab
lainnya melainkan karena dirinya sendiri. Ia adalah sebab pertama bagi
wujud-wujud lainnya. Dengan demikian keberadaannya menjadi wajib adanya, dan
wujud yang pertama ini adalah Tuhan (Allah). Menurutnya, wujud yang sempurna
dan paling awal mau tidak mau harus berwujud. Sebab esensi dan wujud-Nya tidak
mungkin tidak ada sebagaimana yang tidak eksis juga tidak memiliki wujud. Sebab
itu menurut Al-Farabi, zat yang sempurna adalah mustahil tidak ada dari segala
aspek. Bahkan dia adalah qadi>m, abadi dan otonom.
Berdasarkan
kerangka berfikir di atas, Al-farabi membahas masalah wujud ketuhanan berikut
sifat-sifatNya. Sekaligus membicarakan masalah kejadian alam semesta dengan
teori emanasi. Mengenai hakikat Allah ia menyatakan bahwa ia adalah wujud yang
sempurna yang ada tanpa perantara atau sebab lainnya. Karena kalau ada faktor
lain yang menjadi sebab keberadaannya maka ia tidak lagi menjadi sempurna. Ia
menjadi sebab pertama yang tidak memiliki permulaan dan akan selalu ada. Namun
menurut Al-farabi, wujud-Nya tidak terdiri dari materi atau benda dan juga
bukan terdiri dari bentuk. Karena gabungan keduanya ada pada makhluk. Sedangkan
Tuhan mesti berbeda dengan makhluknya.
Kemudian
mengenai sifat Tuhan Al-farabi mengungkapkan gagasannya dengan menyatakan bahwa
sifat Tuhan tidak berbeda dengan zatNya. Tuhan bersifat tunggal dan merupakan
akal murni, karena ia tidak menempati ruang dan waktu yang menyebabkan
keberadaannya. Jika sesuatu wujud itu tidak butuh dan tidak tergantung pada
benda maka ia akan menjadi akal (pikiran) yang sesungguhnya. Demikianlah
penjelasan Al-Farabi mengenai keadaan wujud yang pertama (Tuhan). Menurutnya
zat Tuhan adalah obyek pemikiran tuhan sendiri sekaligus sebagai subyek dengan
sendirinya. Ia tidak membutuhkan hal lain dalam memikirkan zatnya sendiri.
Dengan kata lain, Tuhan adalah ‘aqal, ‘aqil dan ma’qul sekaligus.
Demikian
juga Al-Farabi berpendapat bahwa ilmu Tuhan adalah sama dengan zatnya. Tuhan
adalah zat yang maha mengetahui (‘alim ) sekaligus zat menjadi obyek
pengetahuannya. Atau dengan kata lain Tuhan adalah Ilmu yang mengetahui dan
sekaligus menjadi obyek ilmu-Nya. Berdasarkan paparan di atas, Al-farabi
memiliki pandangan tentang kesatuan zat dengan sifat Tuhan sebagaimana
pandangan kalangan Mu’tazilah. Dan pandangannya tentang obyek pemikiran atau
ilmu adalah terletak pada zatnya sesungguhnya menurut Ahmad Hanafi merupakan
pendapat yang di ambil dari pandangan Aristoteles. Pendapat tersebut didasarkan
kepada satu anggapan bahwa alam semesta terlalu rendah derajatnya jika harus
menjadi obyek pemikiran Tuhan. Tuhan hanya memikirkan zatnya yang menjadi sebab
bagi wujud alam ini.
Kemudian
berdasarkan teori tentang kesatuan zat dengan sifat, ia memulai gagasannya
tentang wujudnya alam semesta. Ia beranggapan bahwa alam semesta atau makhluk
yang merupakan wujud yang mumkin adalah sesuatu yang keluar dari wujud yang
wajib adanya (Tuhan). Gagasan seperti ini disebut dengan teori emanasi atau
teori urut-urutan wujud. Tuhan cukup berfikir tentang zatnya maka keluarlah
dariNya wujud alam semesta sebagaimana keluarnya cahaya dari Matahari.
3. Studi
Kritis terhadap Pemikiran Filsafat Al-Farabi
Sebagaimana
penulis ungkapkan pada bagian sebelumnya, bahwa pemikiran manusia mesti
terbatas pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh pengamatan, ataupun
ketiadaan informasi yang menguraikannya, maka apa yang dilakukan oleh Al-farabi
juga demikian halnya, Ia hanya berupaya memperkuat hasil imajinasinya dengan
logika-logika yang dirumuskan. Dan sesungguhnya yang demikian bukanlah bagian
dari kreatifitas berfikir, namun khayalan yang diformat hingga nampak terkesan
rasional. Semisal ketika ia berpendapat tentang kesatuan zat dan sifat Tuhan.
Padahal wilayah itu merupakan wilayah yang tidak bisa di amati dan memang tidak
ada satupun informasi mengenai hal tersebut yang termaktub dalam kitab suci.
Pendapatnya
tentang teori emanasi mengenai wujud alam semesta yang disebutkan terpancar
atau keluar dari wujud Tuhan sebagaimana layaknya sinar matahari terpancar dari
mataharinya, sungguh merupakan pandangan khayali yang justru bertentangan
dengan keterangan nash Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa alam semesta diciptakan
oleh Allah dari ketiadaan menjadi ada. Al-Farabi maupun para filosof lainnya
seperti Al-Kindi tidak bisa membedakan antara wilayah yang bisa dijangkau oleh
akal manusia dengan yang tidak bisa dijangkau oleh akal.
Sesungguhnya
menyangkut masalah metafisika yang memang berada diluar penginderaan manusia
adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan akal karena faktanya tidak bisa di
indera. Namun ada hal-hal metafisis yang diberitahukan oleh Allah melalui
sumber informasi yang pasti semisal Al-Qur’an, seperti adanya surga, neraka,
hari kiamat, hari pembalasan dan sebagainya. Maka hal demikian hanya dapat
diterima sesuai dengan informasi yang ada, setelah sebelumnya kita sudah
membuktikan kekuatan dan kepastian informasi yang menjelaskannya sesuai dengan
metode berfikir rasional. Namun sebaliknya, masalah metafisika yang tidak ada
informasi sedikitpun tentang eksistensinya seperti kesatuan zat Tuhan dan
sifat-Nya, menyangkut wujud Tuhan yang bukan materi atau bentuk, maka hal
demikian tidak dapat dibahas oleh akal kecuali hanya berputar-putar dalam
rumusan proposisi logikanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar