Rabu, 21 Desember 2016

SEJARAH PEMIKIRAN AL-FARABI

A.    SEJARAH PEMIKIRAN AL-FARABI
1.     Biografi dan Karyanya
Nama Al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan. Sebutan Al-Farabi di ambil dari nama kota dimana ia dilahirkan yaitu kota Farab. Ia lahir pada tahun 257 H / 870 M. Ayahnya berasal dari Iran (Persia) dan menikah dengan seorang wanita Turkestan. Oleh karena itu ia biasa disebut sebagai orang Persia.
Sejak kecil ia sudah suka belajar dan mempunyai kecakapan dalam bidang bahasa. Bahasa yang di kuasainya antara lain adalah bahasa-bahasa Iran, Turkestan dan Kurdistan. Setelah besar Al-Farabi meninggalkan negerinya menuju Baghdad sebagai pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada saat itu. Selama di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Pada saat pertama tinggal di Baghdad ia tidak banyak menguasai Bahasa Arab. Akhirnya ia belajar ilmu nahwu pada Abu Bakar as-Sarraj, sebagai imbalan terhadap pelajaran logika yang ia ajarkan kepadanya. Setelah itu ia pindah ke Harran, salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Disana ia berguru kepada Yuhanna bin Jilan. Namun tidak lama ia kembali lagi ke Baghdad untuk mendalami ilmu filsafat setelah ia sudah menguasai ilmu mantik (logika). Selama 30 tahun ia tinggal di Baghdad dan memaksimalkan waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu antara lain adalah Yahya bin Ady. Kemudian setelah itu ia pindah ke Damaskus pada tahun 330 H / 941 M. disini ia mendapatkan kedudukan istimewa dari Saifuddaulah, seorang penguasa dinasti Hamdan di Halab (daerah Aleppo). Ia menetap di kota Damaskus hingga wafatnya pada tahun 337 H / 950 M pada usia 80 tahun.
Dalam bidang fisafat, Al-farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat yang lebih tinggi hingga seorang orientalis berkebangsaan Perancis, Massignon menyebutkan bahwa ia adalah seorang filosof muslim yang pertama dengan arti yang sesungguhnya. Kendati sebelum Al-farabi sudah ada Al-Kindi sebagai orang yang pertama membuka penetrasi ilmu filsafat di dunia Islam, namun masih belum terbentuk sebagai satu disiplin keilmuan khas. Sebaliknya Al-Farabi dianggap sebagai orang yang menekuni bidang filsafat dan berhasil membentuk system filsafat yang lengkap dan cukup memainkan peranan penting dalam dunia islam di bidang filsafat. Para filosof sesudahnya adalah para muridnya, diantaranya adalah Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan filosof-filosof lainnya. Oleh karena itu ia disebut sebagai guru kedua setelah Aristoteles yang dianggap guru pertama dalam bidang filsafat.
Karya al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika. Dikatakan “lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.
Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan system pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles. Diantara judul karya al-Farabi yang terkenal adalah :
1)     Aghradhu ma Ba’da al-Tabi’ah
2)     Al-Jam’u bain Ra’y al-Hakimain
3)     Tahsil al-Sa’adah
4)     ‘U’yun al-Masa’il
5)     Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
6)     Ihsa’ al-‘Ulum
2.     Pandangannya tentang Metafisika
Mengenai pemikiran Al-Farabi di bidang metafisika, penulis hanya membatasi dalam hal-hal yang terkait dengan pemikiran Islam diantaranya menyangkut masalah wujud Tuhan dan sifat-sifatnya, masalah teori emanasi yang membicarakan proses penciptaan alam semesta, dan lain-lain.
Sebelum membahas mengenai tentang wujud Tuhan, al-Farabi membuat kerangka pemikiran mengenai wujud, ia membaginya menjadi dua bagian:
a.      Wujud yang mumkin, yaitu wujud yang ada karena ada sebab lainnya, seperti adanya cahaya matahari karena sebab adanya matahari. Cahaya tersebut bisa ada atau tidak ada. Oleh karena itu ia disebut sebagai wujud yang mumkin. Keberadaannya bergantung pada wujud yang lain. Adanya wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya wujud yang menjadi sebab pertama yakni Tuhan. Karena segala yang mumkin harus berakhir pada wujud yang nyata dan pertama kali ada. Wujud pertama menjadi sebab adanya wujud lainnya, karena wujud yang mumkin tersebut tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri.
b.     Wujud yang wajib adanya (wajib al-wujud ) yaitu wujud yang ada bukan karena sebab lainnya melainkan karena dirinya sendiri. Ia adalah sebab pertama bagi wujud-wujud lainnya. Dengan demikian keberadaannya menjadi wajib adanya, dan wujud yang pertama ini adalah Tuhan (Allah). Menurutnya, wujud yang sempurna dan paling awal mau tidak mau harus berwujud. Sebab esensi dan wujud-Nya tidak mungkin tidak ada sebagaimana yang tidak eksis juga tidak memiliki wujud. Sebab itu menurut Al-Farabi, zat yang sempurna adalah mustahil tidak ada dari segala aspek. Bahkan dia adalah qadi>m, abadi dan otonom.
Berdasarkan kerangka berfikir di atas, Al-farabi membahas masalah wujud ketuhanan berikut sifat-sifatNya. Sekaligus membicarakan masalah kejadian alam semesta dengan teori emanasi. Mengenai hakikat Allah ia menyatakan bahwa ia adalah wujud yang sempurna yang ada tanpa perantara atau sebab lainnya. Karena kalau ada faktor lain yang menjadi sebab keberadaannya maka ia tidak lagi menjadi sempurna. Ia menjadi sebab pertama yang tidak memiliki permulaan dan akan selalu ada. Namun menurut Al-farabi, wujud-Nya tidak terdiri dari materi atau benda dan juga bukan terdiri dari bentuk. Karena gabungan keduanya ada pada makhluk. Sedangkan Tuhan mesti berbeda dengan makhluknya.
Kemudian mengenai sifat Tuhan Al-farabi mengungkapkan gagasannya dengan menyatakan bahwa sifat Tuhan tidak berbeda dengan zatNya. Tuhan bersifat tunggal dan merupakan akal murni, karena ia tidak menempati ruang dan waktu yang menyebabkan keberadaannya. Jika sesuatu wujud itu tidak butuh dan tidak tergantung pada benda maka ia akan menjadi akal (pikiran) yang sesungguhnya. Demikianlah penjelasan Al-Farabi mengenai keadaan wujud yang pertama (Tuhan). Menurutnya zat Tuhan adalah obyek pemikiran tuhan sendiri sekaligus sebagai subyek dengan sendirinya. Ia tidak membutuhkan hal lain dalam memikirkan zatnya sendiri. Dengan kata lain, Tuhan adalah ‘aqal, ‘aqil dan ma’qul sekaligus.
Demikian juga Al-Farabi berpendapat bahwa ilmu Tuhan adalah sama dengan zatnya. Tuhan adalah zat yang maha mengetahui (‘alim ) sekaligus zat menjadi obyek pengetahuannya. Atau dengan kata lain Tuhan adalah Ilmu yang mengetahui dan sekaligus menjadi obyek ilmu-Nya. Berdasarkan paparan di atas, Al-farabi memiliki pandangan tentang kesatuan zat dengan sifat Tuhan sebagaimana pandangan kalangan Mu’tazilah. Dan pandangannya tentang obyek pemikiran atau ilmu adalah terletak pada zatnya sesungguhnya menurut Ahmad Hanafi merupakan pendapat yang di ambil dari pandangan Aristoteles. Pendapat tersebut didasarkan kepada satu anggapan bahwa alam semesta terlalu rendah derajatnya jika harus menjadi obyek pemikiran Tuhan. Tuhan hanya memikirkan zatnya yang menjadi sebab bagi wujud alam ini.
Kemudian berdasarkan teori tentang kesatuan zat dengan sifat, ia memulai gagasannya tentang wujudnya alam semesta. Ia beranggapan bahwa alam semesta atau makhluk yang merupakan wujud yang mumkin adalah sesuatu yang keluar dari wujud yang wajib adanya (Tuhan). Gagasan seperti ini disebut dengan teori emanasi atau teori urut-urutan wujud. Tuhan cukup berfikir tentang zatnya maka keluarlah dariNya wujud alam semesta sebagaimana keluarnya cahaya dari Matahari.
3.     Studi Kritis terhadap Pemikiran Filsafat Al-Farabi
Sebagaimana penulis ungkapkan pada bagian sebelumnya, bahwa pemikiran manusia mesti terbatas pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh pengamatan, ataupun ketiadaan informasi yang menguraikannya, maka apa yang dilakukan oleh Al-farabi juga demikian halnya, Ia hanya berupaya memperkuat hasil imajinasinya dengan logika-logika yang dirumuskan. Dan sesungguhnya yang demikian bukanlah bagian dari kreatifitas berfikir, namun khayalan yang diformat hingga nampak terkesan rasional. Semisal ketika ia berpendapat tentang kesatuan zat dan sifat Tuhan. Padahal wilayah itu merupakan wilayah yang tidak bisa di amati dan memang tidak ada satupun informasi mengenai hal tersebut yang termaktub dalam kitab suci.
Pendapatnya tentang teori emanasi mengenai wujud alam semesta yang disebutkan terpancar atau keluar dari wujud Tuhan sebagaimana layaknya sinar matahari terpancar dari mataharinya, sungguh merupakan pandangan khayali yang justru bertentangan dengan keterangan nash Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah dari ketiadaan menjadi ada. Al-Farabi maupun para filosof lainnya seperti Al-Kindi tidak bisa membedakan antara wilayah yang bisa dijangkau oleh akal manusia dengan yang tidak bisa dijangkau oleh akal.

Sesungguhnya menyangkut masalah metafisika yang memang berada diluar penginderaan manusia adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan akal karena faktanya tidak bisa di indera. Namun ada hal-hal metafisis yang diberitahukan oleh Allah melalui sumber informasi yang pasti semisal Al-Qur’an, seperti adanya surga, neraka, hari kiamat, hari pembalasan dan sebagainya. Maka hal demikian hanya dapat diterima sesuai dengan informasi yang ada, setelah sebelumnya kita sudah membuktikan kekuatan dan kepastian informasi yang menjelaskannya sesuai dengan metode berfikir rasional. Namun sebaliknya, masalah metafisika yang tidak ada informasi sedikitpun tentang eksistensinya seperti kesatuan zat Tuhan dan sifat-Nya, menyangkut wujud Tuhan yang bukan materi atau bentuk, maka hal demikian tidak dapat dibahas oleh akal kecuali hanya berputar-putar dalam rumusan proposisi logikanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar