A. Kritisisme
Imanuel Kant
Filsafat
Kant merupakan titik tolak periode baru bagi filsafat Barat. Ia mengatasi dan
menyimpulkan aliran Rasionalisme dan Empirisme, yang dibantah oleh Copleston
VI. Dari satu pihak ia mempertahankan obyektifitas, universalitas, dan
keniscayaan. Dalam filsafat Kant, tekanan yang utama terletak pada kegiatan
atau pengertian dan penilaian manusia. Bukan seperti empirisme yang menekankan
pada aspek psikologi, melainkan sebagai analisa kritis, pada pemahaman Kant
yang baru, dan sering disebut “revolusi Kopernikus yang kedua”.
Kant
memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat sebelah dalam menilai
akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Kant tidak menentang adanya
akal murni, ia hanya menunjukkan bahwa akal murni itu terbatas. Akal murni
menghasilkan pengetahuan tanpa dasar indrawi atau independen dari alat
pancaindra.
Kant
dalam argumennya, bahwa akal dipandu oleh tiga ide transcendental, yaitu ide
psikologis yang disebut jiwa, ide dunia, dan ide tentang Tuhan. Ketiganya
tersebut memiliki fungsi masing-masing, yaitu “ide jiwa” menyatakan dan
mendasari segala gejala batiniah yang merupakan cita-cita yang menjamin
kesatuan terakhir dalam bidang psikis, “ide dunia” menyatakan segala gejala
jasmaniah, “ide Tuhan” mendasari segala gejala, segala yang ada, baik batiniah
maupun yang lahiriah (Ahmad Tafsir, 2005:150-151, lihat Mircea Eliade,t.:247)
Kant
mengarang macam-macam kritik mengenai akalbudi, kehendak, rasa, dan agama.
Dalam karyanya yang sering disebut metafisika. Menurutnya Metafisika merupakan
uraian sistematis mengenai keseluruhan pengertian filosofis yang dapat dicapai.
Ia berpendapat bahwa pada sekurang-kurangnya pada prinsipnya mungkin untuk
memperkembangkan suatu metafisika sistematis yang lengkap. Namun Kant mulai meragukan
kemungkinan dan kompetensi metafisik, sebab menurut dia metafisik tidak pernah
menemukan metode ilmiah yang pasti untuk memecahkan masalahnya, maka perlu
diselidiki dahulu kemampuan dan batas-batas akal-budi.
Immannuel
Kant membedakan akal (vertstand) dari rasio dan budi (vernuft). Tugas akal
merupakan yang mengatur data-data indrawi, yaitu dengan mengemukakan
“putusan-putusan”. Sebgaimana kita melihat sesuatu, maka sesuatu itu
ditrasmisikan ke dalam akal, selanjutnya akal mengesaninya. Hasil indra diolah
sedemikian rupa oleh akal, selanjutnya bekerja dengan daya fantasi umtuk
menyusun kesan-kesan itu sehingga menjadi suatu gambar yang dikuasai oleh
bentuk ruang dan waktu.
Pemikiran-pemikiran
Kant yang terpenting diantaranya adalah tentang “akal murni”. Menurut Kant
dunia luar itu diketahui hanya dengan sensasi, dan jiwa, bukanlah sekedar
tabula rasa. Tetapi jiwa merupakan alat yang positif, memilih dan merekontruksi
hasil sensasi yang masuk itu dikerjakan oleh jiwa dengan menggunakan kategori,
yaitu dengan mengklasifikasikan dan memersepsikannya ke dalam idea. Melalui
alat indara sensasi masuk ke otak, lalu objek itu diperhatikan kemudian
disadari. Sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-saluran tertentu
yaitu hukum-hukum, dan hukum-hukum tersebut tidak semua stimulus yang menerpa
alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan tersebut telah diatur oleh persepsi
sesuai dengan tujuan. Tujuan inilah yang dinamakan hukum-hukum(Ahmad Syadali
dan Mudzakir, 2004: 121).
Demikian
gagasan Immanuel Kant yang menjadi penggagas Kritisisme. Filsafat memulai
perjalanannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber
pengetahuan manusia. Maka Kritisisme berbeda dengan corak filsafat modern
sebelum sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.
Dengan
Kritisisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan antara rasio dan
pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hannya pada
rasio, tetapi juga pada hasil indrawi. Kant memastikan adanya pengetahuan yang
benar-benar “pasti”, artinya menolak aliran skeptisisme, yaitu aliran yang
menyatakan tidak ada pengetahuan yang pasti.
Zaman
pencerahan atau yang dikenal di Inggris dengan enlightenment. Terjadi pada abad
ke 18 di Jerman. Immanuel Kant mendefinisikan zaman itu dengan mengatakan
“dengan aufklarung, manusia akan keluar dari keadaan tidak akil balig (dalam
bahasa Jerman: unmundigkeint), yang dengan ia sendiri bersalah”. Sebabnya
menusia bersalah karena manusia tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya
yaitu rasio. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses
emansipasi manusia barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan reformasi. Di
Jerman, seorang filosof besar yang melebihi zaman aufklarung telah lahir yaitu
Immanuel Kant.
B. Ciri-ciri
Kritisisme
Isi
utama dalam kritisisme yaitu gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan,
etika, dan estetika. Gagasan tersebut muncul karena ada pertanyaan-pertanyaan
yang mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut yaitu:
Ciri-ciri
Kritisisme Immanuel Kant dapat disimpulkan menjadi tiga hal yaitu:
1. Menganggap
objek pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2. Menegaskan
keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk menetahui realitas atau hakikat
sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
3. Menjelaskan
bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara
peranan unsure “a priori” (sebelum di buktikan tapi kita sudah percaya) yang
berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur
“aposteoriori” (setelah di buktikan baru percaya) yang berasal dari pengalaman
yang berupa materi.
C. Kritisisme
Jerman-Immanuel Kant(1724-1804)
Immanuel
Kant adalah seorang filsuf Jerman kelahiran Konigsberg, 22 April 1724 – 12
februari 1804. Ia dikenal sebagai tokoh kritisisme. Filsafat kritis yang
ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum
Rasionalisme dengan kaum Empirisme. Bagi Kant, baik Rasionalisme maupun
Empirisme belum berhasil memberikan sebuah pengetahuan yang pasti berlaku umum
dan terbukti dengan jelas. Kedua aliran itu memiliki kelemahan yang justru
merupakan kebaikan bagi seterusnya masing-masing.
Menurut
kant, pengetaahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam
putusan yang bersifat analitik-apriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana
predikat sudah termasuk dengan sendirinya kedalam subyek. Memang mengandung
kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru.
Sedangkan yang dihasilkan oleh kaum Empirisme itu tercermin dalam putusan yang
bersifat sintetik-aposteriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat belum
termasuk kedalam subyek. Meski demikian, sifat sintetik-apesteriori ini
memberikan pengetahuan yang baru, namun sifatnya tidak tetap, sangat bergantung
pada ruang dan waktu. Kebenaran disini sangat bersifat subyektif.
Dengan
melihat kebaikan yang terdapat diantara dua putusan tersebut, serta
kelemahannya sekaligus, kant memadukaa keduanya dalam suatu bentuk putusan yang
bersifat umum-universal, dan pasti di dalamnya, “akal budi dan pengalaman
indrawi dibutuhkan serentak”.
Bagaimana
cara untuk mendapatkan putusan sintetik-apriori?
Dalam
hal ini kant menunjukan pada 3 bidang sebagai tahapan yang harus dilalui,
yaitu:
a. Bidang
indrawi
Peranan
subyek lebih menonjol, namun harus ada dua bentuk murni yaitu ruang dan waktu
yag dapat diterapkan pada pegalaman. Hasil yang diterapkan pada ruang dan waktu
merupakan fenomena konkrit. Namun pengetahuan yang diperoleh indrawi ini selalu
berubah-ubah, tergantung pada subyek yang mengalami dan situasi yang
melingkupinya.
b. Bidang
Akal
Apa
yang telah diperoleh melalui bidang indrawi tersebut, untuk memperoleh
pengetahuan yang bersifat objektif-universal. Haruslah dituangkan ke bidang
akal. Disini terkandung 4 bentuk kategori:
- Kategori kuantitas, terdiri atas;
singulir(kesatuan), partikulir(sebagian), dan universal(umum).
- Kategori kualitas, terdiri atas;
realitas(kenyataan), negasi(pengingkaran), dan limitasi(batas-batas)
- Kategori relasi, terdiri atas;
categories(tidak bersyarat), hypothetis(sebab dan akibat),
disjunctif(saling meniadakan)
- Kategori modalitas, terdiri atas;
mungkin/tidak, ada/tiada, keperluan/kebetulan.
c. Bidang
Rasio
Pengetahuan
yang telah diperoleh akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan sintetik-apriori,
setelah dikaitkan 3 macam ide, yaitu; Allah(ide teologis), jiwa(ide
psikologis), dan dunia (ide kosmologis).
Namun
ketiga macam ide itu sendiri tidak dapat dicapai oleh akal pikiran manusia.
Ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menetapkan kesatuan pengetahuan.
Selain itu Immanual kant juga mengangkat aliran Aufk Larung ke puncak
perkembangannya sekaligus mengantar keruntuhannya. Pendapatnya adalah;
Ajarannya
tentang pengetahuan
Ialah
pendapat-pendapat yang sintesis dengan suatu pertanyaan; bagaimana mungkin
orang dapat menetapkan pendapat yang apriori (terlepas dari pengalaman) tentang
suatu objek dengan mempergunakan logika?
Ajarannya
tentang kesusilaan
Adalah
bertentangan dengan ajaran etika/ kesusilaan dari aufk larung (rasa senang/
kenikmatan dan faedah). Maka ajaran etikanya berprinsip bahwa segala sesuatu
hanya tergantung pada kehendak/ suasana yang menjadi dasar perbuatan-perbuatan
kita. Perbuatan baik dari sudut susila adalah berdasarkan keinsafan kewajiban
dengan pengertian bahwa setiap perbuatan kita bisa menjadi hukum umum yang
berlaku. Asas pokok kesusilaan adalah imperatif kategoris, artinya suatu
imperatif/ perintah dari dalam diri kita yang memerintahkan kepada kita tanpa
memandang sebab dan akibatnya, cara berbuatnya, dsb. Berbuat baik adalah
berbuat dengan berpangkal pada hukum kesusilaan yang dibuat oleh diri kita
sendiri seara otonom karena menghormati hukum kesusilaan.
Ajarannya
tentang kesenian
Rasa
estetis itu khususnya berupa suatu rasa senang/ nikmat yang bercampur dengan
perasaan tak senang. Dapat mengikat menjadi perasaan luhur yang
berlebih-lebihan yang dapat membuat kita merasa luhur/ mulia.
Adapun
karya Kant yang terpenting adalah “Kritik der Reinen Vernunft” 1781. Dalam
bukunya ini ia membatasi pengetahuan manusia, atau dengan kata lain apa yang
bisa diketahui manusia
Kant
sebenarnya hanya meneruskan perjuangan Thomas Aquinas yang pernah melakukannya.
Immanuel Kant sendiri mulanya sangat beregang teguh dengan rasionalisme, secara
dia adalah seorang Jerman, namun dia tersadarkan akan empirisme dari bukunya
David Hume (filsuf Inggris). Dan sejak itulah Immanuel Kant merasa rasionalisme
dan empirisme bisa digabungkan dan merupakan sebuah bagian yang dapat
melengkapi satu sama lain.
Kritisisme
Rasionalis Jerman yang diajarkan Immanuel Kant adalah metodeloginya yang
dikenal dengan metode induksi, dari partkular data-data terkecil baru mencapai
kesimpulan universal.
Dengan
kritisisme Immanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas
dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita
tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor
yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada
kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia
tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti
seperti apa dunia "itu sendiri", namun hanya dunia itu seperti tampak
"bagiku", atau "bagi semua orang". Namun, menurut Kant, ada
dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang
pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah, ruang dan waktu yang tidak dapat kita
ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah
cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang
kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang
tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Immanuel
Kant juga beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan
Fenomena saja. Fenomena itu sendiri adalah sesuatu yang tampak yang hanya
menunjukkan fisiknya saja. Seperti Benda pada dirinya, bukan isinya atau
idenya. seperti ada ungkapan "The Think in itself". Sama halnya
dengan Manusia hanya bisa melihat Manusia lain secara penampakannya saja atau
fisiknya saja, tetapi tidak bisa melihat ide manusia tersebut. Inderawi hanya
bisa melihat Fenomena (fisik) tapi tidak bisa melihat Nomena (Dunia ide
abstrak- Plato)
Immanuel
Kant memang cenderung mendapatkan "ilham" atau terinmspirasi dari
Plato, tapi tidak semuanya, dia "menyempurnakannya" dengan
menggabungkan dengan Pengalaman Empirisme ajaran Aristoteles. Plato beranggapan
Fenomena yang membentuk Nomena, Ide di atas segalanya, Ide yang membentuk
sebuah yang nyata, seperti halnya Tuhan menciptakan Manusia.
Immanuel
Kant terinspirasi dari Plato terlihat dari teori 3 postulat "buatan".
Sesuatu yang kita percaya, namun sulit dibuktikan.
1. Free
Will, Kehendak yang bebas
2. Keabadian
Jiwa, Immortaolitas Jiwa (warisan Plato. Manusia mati, tetapi Jiwa tak pernah
Mati, makanya ide bersifat abstrak dan di atas segalanya)
3. Tuhan,
merupakan sesuatu yang kita percaya dan yakini akan keadaanya, akan tetapi
sulit untuk mebuktikan kenampakan fisiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar