Rabu, 21 Desember 2016

Pemikiran Karl Marx Tentang Agama

Agama Dalam Pandangan Karl Marx
Marx berkesimpulan bahwa sebelum orang dapat mencapai kebahagiaan yang senyatanya, agama haruslah ditiadakan karena agama menjadi kebahagiaan semu dari orang-orang tertindas. Namun,  karena agama adalah produk dari kondisi sosial, maka agama tidak dapat ditiadakan kecuali dengan meniadakan bentuk kondisi sosial tersebut.  Marx yakin bahwa agama itu tidak punya masa depan. Agama bukanlah kencenderungan naluriah manusia yang melekat tetapi merupakan produk dari lingkungan sosial tertentu. Secara jelas, Marx merujuk pada tesis Feuerbach yang ketujuh yakni bahwa sentimen religius itu sendiri adalah suatu produk sosial.
Dengan kata lain,   Marx melihat bahwa sebetulnya agama bukan menjadi dasar penyebab keterasingan manusia. Agama hanyalah gejala sekunder dari keterasingan manusia. Agama menjadi semacam pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Manusia lalu hanya dapat merealisasikan diri secara semu yakni dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh. Karena dalam masyarakat nyata manusia menderita, manusia lalu mengharapkan mencapai keselamatan dari surga. Oleh karenanya, penyebab keterasingan yang utama haruslah ditemukan dalam keadaan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kritik jangan berhenti pada agama. Bagi Marx, kritik agama akan menjadi percuma saja karena tidak mengubah apa yang melahirkan agama. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah mengapa manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama? Menurut Marx, kondisi-kondisi materiallah yang membuat manusia mengasingkan diri dalam agama. Yang dimaksud dengan kondisi material adalah proses-proses produksi atau kerja sosial dalam masyarakat.
Pertanyaan lebih lanjut. Apa yang perlu dikritik dalam masyarakat? Unsur macam apa yang dalam masyarakat yang mencegah manusia merealisasikan hakikatnya? Marx melihat bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya haruslah ditemukan dalam struktur masyarakat.  Struktur masyarakat yang tidak memperbolehkan manusia bersikap sosial adalah struktur masyarakat  yang mana terjadi perpisahan antara civil society (masyarakat sipil ) dan Negara. Dalam masyarakat sipil, orang bergerak karena dimotori oleh kepentingan egoisme sendiri. Dengan kata lain, masyarakat sipil adalah semacam sistem kebutuhan, ruang egoisme dimana manusia berupaya menjadikan orang lain hanya semata-mata sebagai sarana pemenuh kebutuhannya. Persaingan yang sifatnya egois ini akan melahirkan pemenang dan pecundang. Kemudian negara dimunculkan sebagai kekuatan yang mengatasi egoisme individu-individu. Adanya negara dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat.
Apabila negara tidak ada, maka masyarakat dapat menjadi anarkis. Negara mengusahakan supaya manusia  dalam masyarakat bertindak adil terhadap sesamanya. Sebagai individu,  manusia itu egois, dan ia menjadi sosial karena harus taat kepada Negara. Jika manusia itu sosial dengan sendirinya, maka tidak perlu ada Negara yang mengaturnya. Dalam struktur masyarakat yang coba ia pahami, Marx melihat bahwa ternyata agama menjadi suatu produk dari sebuah masyarakat kelas[12]. Agama kemudian ia  pandang sebagai produk keterasingan maupun sebagai ekpresi dari kepentingan kelas dimana agama dapat dijadikan sarana manipulasi dan penindasan terhadap kelas bawah dalam masyarakat.
Selain itu, Marx menemukan bahwa keterasingan dasar manusia adalah keterasingannya dari sifatnya yang sosial. Tanda keterasingan tersebut adalah adanya eksistensi Negara sebagai lembaga yang dari luar dan atas memaksa individu-individu untuk bertindak sosial, padahal individu itu sendiri bertindak egois.
Lebih lanjut, menurut Marx, agama adalah universal ground of consolation dan sebagai candu rakyat. Dalam pengertian ini, termuat suatu implikasi bahwa apapun penghiburan yang dibawa oleh agama bagi mereka yang menderita dan tertindas adalah merupakan suatu penghiburan yang semu dan hanya memberi kelegaan sementara. Agama tidak menghasilkan solusi yang nyata dan dalam kenyataannya, justru cenderung merintangi berbagai solusi nyata dengan membuat penderitaan dan penindasan menjadi dapat ditanggung. Solusi nyata yang dimaksud di sini adalah terkait dengan pengusahaan peningkatan kesejahteraan secara material. Agama ternyata tidak mampu mengarah pada hal tersebut. Agama justru membiarkan kondisi yang sudah ada, meskipun orang sedang mengalami penderitaan.  Agama mengajak orang hanya berpasrah dengan keadaan daripada mengusahakan barang-barang yang dapat  memperbaiki kondisi hidup. Dalam hal ini, agama cenderung mengabaikan usaha konkrit manusiawi untuk memperjuangkan taraf hidupnya lewat barang-barang duniawi. Agama malah menyarankan untuk tidak menjadi lekat dengan barang-barang duniawi dan mengajak orang untuk hanya berpikir mengenai hal-hal surgawi sehingga membuat orang melupakan penderitaan material yang sedang dialami. Agama mengajarkan orang untuk menerima apa adanya termasuk betapa kecilnya pendapatan yang ia peroleh. Dengan ini semua, secara tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap pada kondisi materialnya dan menerima secara pasrah apa yang ia terima walaupun ia tengah mengalami penderitaan secara material. Agama mengajak orang untuk berani menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri dipandang sebagai keutamaan.
Marx juga mengatakan agama menjadi semacam ekspresi atas protes terhadap penindasan dan penderitaan real. Marx menulis: “penderitaan agama adalah pada saat yang sama merupakan ekspresi atas penderitaan yang real dan suatu protes terhadap penderitaan yang real. Agama adalah keluh kesah mahluk yang tertindas, hati dari suatu dunia yang tak memiliki hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu keadaan yang tidak memiliki jiwa.”

Selain itu, dengan pandangan bahwa agama mampu memberi penghiburan dan membuat orang berpasrah, maka agama justru dapat dimanfaatkan oleh kelas atas. Kelas atas justru dapat semakin mengeksploitasi kelas bawah dengan melihat bahwa agama membuat kelas bawah untuk tetap puas dengan penghasilannya. Terlebih lagi, agama menawarkan suatu kompensasi atas penderitaan hidup sekarang ini pada suatu kehidupan yang akan datang sehingga malah justru membiarkan ketidakadilan berlangsung terus menerus. Dengan demikian, kritik agama berarti menyingkirkan ilusi-ilusi dimana manusia mencari rasa nyaman di situ di tengah siatuasi tertindas yang ia alami. Kritik agama justru akan membuat mereka membuka mata terhadap kenyataan diri mereka, menghadapinya sehingga akan berusaha berhenti  dari segala bentuk ketertindasannya. Mereka (kelas bawah)  tidak lagi mau terbuai dengan ide-ide tentang hidup yang bahagia kelak sesudah mati tetapi akan kemudian berusaha mewujudkannya di dunia ini dengan mengubah masyarakat dan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, kritik agama menjadi pembuka kesadaran dari kelas bawah bahwa diri mereka perlu bangkit maju untuk memperbaiki kondisi hidup mereka secara real. Agama perlu ditinggalkan supaya orang dapat merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar