Agama
Dalam Pandangan Karl Marx
Marx
berkesimpulan bahwa sebelum orang dapat mencapai kebahagiaan yang senyatanya,
agama haruslah ditiadakan karena agama menjadi kebahagiaan semu dari
orang-orang tertindas. Namun, karena
agama adalah produk dari kondisi sosial, maka agama tidak dapat ditiadakan
kecuali dengan meniadakan bentuk kondisi sosial tersebut. Marx yakin bahwa agama itu tidak punya masa
depan. Agama bukanlah kencenderungan naluriah manusia yang melekat tetapi
merupakan produk dari lingkungan sosial tertentu. Secara jelas, Marx merujuk
pada tesis Feuerbach yang ketujuh yakni bahwa sentimen religius itu sendiri
adalah suatu produk sosial.
Dengan
kata lain, Marx melihat bahwa
sebetulnya agama bukan menjadi dasar penyebab keterasingan manusia. Agama
hanyalah gejala sekunder dari keterasingan manusia. Agama menjadi semacam
pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Manusia lalu
hanya dapat merealisasikan diri secara semu yakni dalam khayalan agama karena
struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan
sungguh-sungguh. Karena dalam masyarakat nyata manusia menderita, manusia lalu
mengharapkan mencapai keselamatan dari surga. Oleh karenanya, penyebab
keterasingan yang utama haruslah ditemukan dalam keadaan masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian, kritik jangan berhenti pada agama. Bagi Marx, kritik
agama akan menjadi percuma saja karena tidak mengubah apa yang melahirkan
agama. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah mengapa manusia sampai
mengasingkan diri ke dalam agama? Menurut Marx, kondisi-kondisi materiallah
yang membuat manusia mengasingkan diri dalam agama. Yang dimaksud dengan
kondisi material adalah proses-proses produksi atau kerja sosial dalam
masyarakat.
Pertanyaan
lebih lanjut. Apa yang perlu dikritik dalam masyarakat? Unsur macam apa yang
dalam masyarakat yang mencegah manusia merealisasikan hakikatnya? Marx melihat
bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya haruslah ditemukan dalam struktur
masyarakat. Struktur masyarakat yang
tidak memperbolehkan manusia bersikap sosial adalah struktur masyarakat yang mana terjadi perpisahan antara civil
society (masyarakat sipil ) dan Negara. Dalam masyarakat sipil, orang bergerak
karena dimotori oleh kepentingan egoisme sendiri. Dengan kata lain, masyarakat
sipil adalah semacam sistem kebutuhan, ruang egoisme dimana manusia berupaya
menjadikan orang lain hanya semata-mata sebagai sarana pemenuh kebutuhannya.
Persaingan yang sifatnya egois ini akan melahirkan pemenang dan pecundang.
Kemudian negara dimunculkan sebagai kekuatan yang mengatasi egoisme
individu-individu. Adanya negara dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat.
Apabila
negara tidak ada, maka masyarakat dapat menjadi anarkis. Negara mengusahakan
supaya manusia dalam masyarakat
bertindak adil terhadap sesamanya. Sebagai individu, manusia itu egois, dan ia menjadi sosial
karena harus taat kepada Negara. Jika manusia itu sosial dengan sendirinya,
maka tidak perlu ada Negara yang mengaturnya. Dalam struktur masyarakat yang
coba ia pahami, Marx melihat bahwa ternyata agama menjadi suatu produk dari
sebuah masyarakat kelas[12]. Agama kemudian ia
pandang sebagai produk keterasingan maupun sebagai ekpresi dari
kepentingan kelas dimana agama dapat dijadikan sarana manipulasi dan penindasan
terhadap kelas bawah dalam masyarakat.
Selain
itu, Marx menemukan bahwa keterasingan dasar manusia adalah keterasingannya
dari sifatnya yang sosial. Tanda keterasingan tersebut adalah adanya eksistensi
Negara sebagai lembaga yang dari luar dan atas memaksa individu-individu untuk
bertindak sosial, padahal individu itu sendiri bertindak egois.
Lebih
lanjut, menurut Marx, agama adalah universal ground of consolation dan sebagai
candu rakyat. Dalam pengertian ini, termuat suatu implikasi bahwa apapun
penghiburan yang dibawa oleh agama bagi mereka yang menderita dan tertindas
adalah merupakan suatu penghiburan yang semu dan hanya memberi kelegaan
sementara. Agama tidak menghasilkan solusi yang nyata dan dalam kenyataannya,
justru cenderung merintangi berbagai solusi nyata dengan membuat penderitaan
dan penindasan menjadi dapat ditanggung. Solusi nyata yang dimaksud di sini
adalah terkait dengan pengusahaan peningkatan kesejahteraan secara material.
Agama ternyata tidak mampu mengarah pada hal tersebut. Agama justru membiarkan
kondisi yang sudah ada, meskipun orang sedang mengalami penderitaan. Agama mengajak orang hanya berpasrah dengan
keadaan daripada mengusahakan barang-barang yang dapat memperbaiki kondisi hidup. Dalam hal ini,
agama cenderung mengabaikan usaha konkrit manusiawi untuk memperjuangkan taraf
hidupnya lewat barang-barang duniawi. Agama malah menyarankan untuk tidak
menjadi lekat dengan barang-barang duniawi dan mengajak orang untuk hanya
berpikir mengenai hal-hal surgawi sehingga membuat orang melupakan penderitaan
material yang sedang dialami. Agama mengajarkan orang untuk menerima apa adanya
termasuk betapa kecilnya pendapatan yang ia peroleh. Dengan ini semua, secara
tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap pada kondisi
materialnya dan menerima secara pasrah apa yang ia terima walaupun ia tengah
mengalami penderitaan secara material. Agama mengajak orang untuk berani
menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri dipandang sebagai keutamaan.
Marx
juga mengatakan agama menjadi semacam ekspresi atas protes terhadap penindasan
dan penderitaan real. Marx menulis: “penderitaan agama adalah pada saat yang
sama merupakan ekspresi atas penderitaan yang real dan suatu protes terhadap
penderitaan yang real. Agama adalah keluh kesah mahluk yang tertindas, hati
dari suatu dunia yang tak memiliki hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu
keadaan yang tidak memiliki jiwa.”
Selain
itu, dengan pandangan bahwa agama mampu memberi penghiburan dan membuat orang
berpasrah, maka agama justru dapat dimanfaatkan oleh kelas atas. Kelas atas
justru dapat semakin mengeksploitasi kelas bawah dengan melihat bahwa agama
membuat kelas bawah untuk tetap puas dengan penghasilannya. Terlebih lagi,
agama menawarkan suatu kompensasi atas penderitaan hidup sekarang ini pada
suatu kehidupan yang akan datang sehingga malah justru membiarkan ketidakadilan
berlangsung terus menerus. Dengan demikian, kritik agama berarti menyingkirkan
ilusi-ilusi dimana manusia mencari rasa nyaman di situ di tengah siatuasi
tertindas yang ia alami. Kritik agama justru akan membuat mereka membuka mata
terhadap kenyataan diri mereka, menghadapinya sehingga akan berusaha
berhenti dari segala bentuk
ketertindasannya. Mereka (kelas bawah)
tidak lagi mau terbuai dengan ide-ide tentang hidup yang bahagia kelak
sesudah mati tetapi akan kemudian berusaha mewujudkannya di dunia ini dengan
mengubah masyarakat dan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, kritik agama
menjadi pembuka kesadaran dari kelas bawah bahwa diri mereka perlu bangkit maju
untuk memperbaiki kondisi hidup mereka secara real. Agama perlu ditinggalkan
supaya orang dapat merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar