SEJARAH FILSAFAT IBNU KHALDUN
Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun telah menjadi bagian
penting bagi perkembangan ilmu sejarah. Melalui karyanya yang fenomenal yakni
Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, Ia telah menyumbangkan cabang keilmuan baru yang
disebut filsafat sejarah. Perhatian Ibnu Khaldun dalam mengkaji sejarah secara
benar mendorongnya untuk mengikhtisarkan hukum-hukum umum dalam pengkajian
sejarah.
Sebagaimana telah diketahui, Ibnu Khaldun tidak hanya
memandang sejarah sebagai peristiwa atau kejadian yang terjadi di masa lampau
saja, tetapi juga memandangnya secara filsafat. Cara pandang ini digunakan
untuk mengetahui sebab yang menggerakkan suatu peristiwa sejarah.
Teori yang dibuat oleh Ibnu Khaldun tentu dipengaruhi
oleh perjalanan hidupnya dan pengembaraannya ke berbagai daerah. Sebagai
pengasas filsafat sejarah, Ibnu Khaldun telah banyak menyampaikan
teori-teorinya terkait dengan sejarah. Salah satu teori filsafat sejarah yang
dikemukakan Ibnu Khaldun terkait dengan teori perkembangan.
A. Biografi
Ibnu Khaldun
Nama lengkapnya adalah Waliyudin Abd al-Rahman Ibn
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Muhammad Ibn al Hasan Ibn Khaldun. Dia lahir
di Tunisia di awal bulan Ramadhan 732 (27 Mei 1332 M) dan wafat di Kairo pada
tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M). Keluarganya berasal dari Hadramaut
dan sisilahnya sampai pada sahabat Nabi Wayl Ibnu Hujar dari kabilah Kinda.
Pada awal ke-3 H salah seorang cucu Wayl, Khalid bin
Usman, memasuki daerah Andalusia Bersama orang-orang Arab. Anak cucu Khalid ini
kemudian membentuk keluarga besar bernama Bani Khaldun, dari Bani inilah nama
Ibnu Khaldun berasal. Secara umum Fase kehidupan Ibnu Khaldun dapat dibagi
menjadi empat fase yaitu :
Pertama,
fase kelahiran, perkembangan dan studi. Fase ini berlangsung sejak kelahiran sampai
usia 20 tahun, yaitu dari tahun 732 H/ 1332 hingga tahun 751 H/1350 M. Fase
pertama Ibnu Khaldun dihabiskan di Tunisia. Semenjak kecil Ibnu Khaldun telah
mempelajari dasar-dasar ilmu agama yang diajarkan oleh Ayahnya yaitu Muhammad
Ibnu Muhammad.
Studinya secara mendalam ia mulai saat berumur 15
tahun (1349 M) ketika Tunisia menjadi pusat hijrah ulama dari Andalusia. Dengan
para ulama tersebut ia mulai mempelajari ilmu-ilmu syariat: tafsir, hadis, usul
fiqh, tauhid dan mazhab maliki, di bidang keilmuan bahasa ia mempelajari nahwu,
sharaf, dan balagah, selain itu ia juga mempelajari fisika, matematika,
metafisika dan lain-lain. Pada tahun 1349 M Ibnu Khaldun harus menghentikan
studinya sementara karena terjangkit penyakit pes.
Kedua,
fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di Maghribi serta
Andalusia, yaitu sejak yaitu dari tahun 751-776 H/ 1350-1374 M. Pada fase kedua
Ibnu Khaldun berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti di Fez,
Granada, Bougie, Biskara, dan lain-lain.
Karir politiknya dimulai ketika berumur 21 jabatan
yang pernah ia pegang antara lain: sekertaris sultan Daulah Bani Hasfsh
(Tunisia, 1350-1352), anggota Majelis Ilmu Pengetahuan (1354 Baskarah,
Aljazair, Maghribi Tengah) setahun kemudian diangkat menjadi sekretaris sultan,
duta negara di Castila (Granada,1362 M), Perdana menteri dan khatib (Bijayah
1364 M).
Ketiga,
fase pengarangan , ketika ia berfikir dan berkontemplasi di benteng Ibnu
Salamah milik abu Arif yaitu sejak tahun 766 H/ 1374 M sampai 784 H / 1382 M.
Setelah sekian lama malang melintang dalam dunia politik praktis, pada akhirnya
Ibnu Khaldun merasa jenuh untuk terus terlibat dalam urusan politik. Naluri
kesarjanaannya telah memaksanya untuk menjauhi kehidupan yang penuh gejolak.
Pada kondisi jiwa seperti inilah Ibnu Khaldun memasuki suatu tahapan dari
kehidupannya dalam apa yang disebut dengan istilah khalwat Ibnu Khaldun. Masa
khalwat ini dialami Ibnu Khaldun dalam jangka empat tahun dari tahun 1374
sampai 1278 M. Ibnu Khaldun mengasingkan diri di suatu tempat terpencil yang
dikenal dengan sebutan Qal’at Ibnu Salamah.
Di sinilah ia mengarang kitab monumentalnya Kitab
al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa
al-Barbar wa man Siwahum min Dzaw al-Sulthan al-Akbar ( Kitab Pelajaran dan
Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir, Mencakup Peristiwa Politik
Mengenai Orang-orang Arab, Non Arab, dan Bangsa Barbar, serta Raja-raja Besar
yang semasa) atau yang juga disebut al-‘Ibar yang terdiri dari tujuh jilid
besar. Kitab besar ini berisi kajian sejarah, dan didahului oleh sebuah
pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia yang dikenal dengan nama
Muqaddimah Ibnu Khaldun yag sekaligus merupakan jilid pertama dari kitab al
–‘Ibar.
Kitab Muqaddimah itu membuka lebar-lebar jalan menuju
bahasan ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu dalam sejarah Islam Ibnu Khaldun
diandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dalam Islam. Pada tahun 1378 M
Ibnu Khaldun kembali ke Tunisia di sini ia berusaha untuk merevisi kitabnya.
Pada tahun 1382 ia pergi ke Iskandaria untuk menghindari kegalauan dunia
politik, setelah sebulan berada di Iskandaria ia pergi ke Kairo. Di Kairo ia
disambut baik oleh para ulama.
Keempat,
fase mengajar dan bertugas sebagai hakim negeri di Mesir yaitu dari tahun 784
H/ 1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/ 1406 M. Pada fase ini hidup Ibnu Khaldun
dihabiskan untuk mengabdikan ilmunya, di al-Azhar membentuk halaqah dan memberi
kuliah. Pada tahun 1384 ia diangkat oleh raja menjadi dosen dalam ilmu fiqh
mazhab Maliki di Madrasah al-Qamhiyah dan beberapa bulan setelah itu ia
diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan. Selama di mesir ia juga merevisi
dan menambah pasal-pasal dalam kitab Muqaddimah dan al-‘Ibar. Peristiwa –
peristiwa baru pada masa itu dimasukanya, demikian juga temuan-temuan
ilmiyahnya, seperti konsep-konsep sosiologi. Ibnu Khaldun wafat pada tanggal 16
Maret 1406 M (26 Ramadlan 808 H.) dalam usia 74 tahun di Mesir.
B. Pandangan
Ibnu Khaldun terhadap Filsafat Sejarah
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah terdiri dari dua aspek,
yakni aspek lahir dan aspek batin. Aspek lahir diartikan bahwa sejarah tidak
lebih dari berita-berita tentang peristiwa-peristiwa, negara-negara, dan
kejadian-kejadian pada abad-abad silam. Sementara secara batin, sejarah
mengandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran, keterangan yang
mendalam tentang sebab dan asal mula kejadian serta pengertian dan pengetahuan
tentang substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dari aspek
batin inilah muncul salah satu cabang filsafat atau hikmah.
Ibnu Khaldun dalam karyanya yang monumental Kitab
Muqaddimah Ibnu Khaldun, memang tidak secara langsung menggunakan kata filsafat
sejarah, tetapi justru menggunakan kata “al-umran al-basyari”. Secara bahasa,
al-umran al-basyari berarti masyarakat manusia. Sementara itu, menurut Ibnu
Khaldun, al-umran diartikan sebagai kebudayaan.
Dalam Grand Larousse Encyclopedique dikemukakan bahwa
kebudayaan adalah seperangkat karakteristik yang berkenaan dengan kehidupan
pikiran, artistik, moral, material, dan politik suatu negeri atau masyarakat
tertentu. Ensiklopedia itu juga menambahkan bahwa kebudayaan merupakan salah
satu objek pembahasan filsafat sejarah.
Perkembangan sejarah secara totalitas mengkaji
kehidupan berbagai masyarakat dan kekaisaran serta berupaya untuk
mengikhtisarkan hukum-hukum perkembangan dan keruntuhannya. Dengan demikian,
kebudayaan atau yang disebut Ibnu Khaldun sebagai al-umran merupakan ilmu yang
mengkaji filsafat sejarah.
Menurut Muhsin Mahdi dalam karyanya Ibnu Khaldun’s
Philosophy of History tujuan kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun adalah untuk
mengkaji aspek internal dari peristiwa-peristiwa eksternal sejarah karena
sejarah dan ilmu kebudayaan mengkaji dua aspek dari fakta yang sama. Ketika
sejarah mengkaji peristiwa-peristiwa historis dari lahiriahnya, sementara ilmu
kebudayaan membahas watak dan sebab peristiwa-peristiwa tersebut.
Dalam melakukan pengkajian filsafat sejarah, Ibnu
Khaldun menggunakan metode utama berupa pengkajian berita-berita sejarah dengan
mempergunakan hukum-hukum yang mengendalikan alam dan juga mengendalikan
masyarakat. Dengan demikian ketika sebuah berita sejarah dan hukum-hukum
tersebut bertentangan, maka berita tersebut dianggap tidak benar meskipun
rangkaian penuturnya dapat diterima sebagaimana yang dianut para muhaditstsin.
Sebagai seorang pencipta ilmu sejarah memang tidak
menggunakan metode ahli hadis secara mutlak, tetapi juga tidak meninggalkannya
secara keseluruhan. Terbukti bahwa Ibnu Khaldun masih menggunakan metode ta’dil
dan tajrib dalam mengkaji peristiwa sejarah. Kedua metode ini adalah metode
untuk mengetahui kejujuran dan kebenaran penutur hadis.
Banyak ilmuwan barat yang mengatakan bahwa Ibnu
Khaldun merupakan pengasas filsafat sejarah, sebab Ia melakukan sesuatu yang
baru yang belum pernah dibaca dan dilihatnya dari karya-karya orang terdahulu,
baik dari kalangan umat muslim maupun sumber-sumber Yunani.
Dalam Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, Ia memang
melakukan kritik terhadap filsafat yakni filsafat dalam kedudukannya sebagai
metafisika yang bertolak dari kontemplasi murni, logika formal yang tidak ada
kaitannya dengan kenyataan. Sedangkan filsafat sejarah yang dikembangkan Ibnu
Khaldun sangat berpegang teguh kepada kajian yang didasarkan pada pengamatan
indrawi dan analisis perbandingan data-data yang objektif.
Menurut Ibnu Khaldun, masyarakat merupakan makhluk
historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum khusus, yang
berkenaan dengannya hokum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian
terhadap fenomena sosial. Ia berpandangan bahwa ashabiyah merupakan asas
berdirinya suatu negara, dan faktor terpenting yang menyebabkan terjadinya
perkembangan masyarakat. Dari pendapat itu Ibnu Khaldun juga bias disebut tokoh
pelopor materialisme jauh sebelum Karl Marx.
Ibnu Khaldun terkenal sebagai perintis dan pelopor The
Culture Cycle Theory of History, yaitu satu teori filsafat sejarah yang telah
mendapat pengakuan di dunia Timur dan barat tentang kematanganya. Ibnu Khaldun
dengan teorinya berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah satu siklus dari
setiap kebudayaan dan peradaban ia mengalami masa lahir, masa puncak, kemudian
masa menurun dan akhirnya masa hancur. Khaldun mengistilahkan siklus itu dengan
tiga tangga peradaban.
C. Teori
Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun
1. Teori
Perkembangan
Menurut Ibnu Khaldun, perkembangan setiap jenis
makhluk-makhluk satu sama lainnya saling berjalin pada akhir rangkaian
perkembangan. Perkembangan setiap jenis makhluk hidup menuju jenis yang lebih
tinggi dan pada akhir perkembangannya kita mandapatkan manusia yang merupakan
perkembangan dari kera. Teori perkembangan ini kemudian juga digunakan dalam
memandang fenomena sosial.
Konsepsi gerak menurut Ibnu Khaldun terkandung dalam
watak segala sesuatu, misalnya saja umur negara diserupakan dengan kehidupan
manusia. Negara terus berkembang, sebab kehidupan itu sendiri berada dalam
gerak dan perkembangan-perkembangan yang berkesinambungan. Perkembangan menurut
Ibnu Khaldun mempunyai corak yang dialektis, yakni bahwa sejak penciptaannya,
dalam diri makhluk hidup telah terkandung benih-benih kematian dan perkembangan
yang tidak dapat dihentikan dan akan menuju pada kematian yang pasti.
Persoalan dialektis dari kehidupan dan kematian, atau
kesatuan dan pertentangan antara keduanya yakni persoalan yang erat kaitannya
dengan perkembangan setiap makhluk hidup sejak kelahirannya sampai kematiannya,
menduduki posisi penting dalam konsepsi Ibnu Khaldun. Kenyataan sebagai
keseluruhan tidaklah timbul dari tumpukan hal-hal yang berserakan dan bercerai
berai, tetapi merupakan kumpulan fenomena-fenomena sejenis dan satu sama lain
saling berjalin serta mempunyai dampak yang timbal balik.
Pemikiran Ibnu Khaldun mengandung dua karakteristik
utama dari karakteristik dialektika[1] Hegelian. Pertama, prinsip saling
mempengaruhi dan hubungan kosmis di antara semua fenomena, baik fenomena sosial
maupun fenomena alam. Kedua, prinsip perubahan kosmis dan perkembangan yang
selamanya tidak pernah berhenti.
Menurut Ibnu Khaldun, perkembangan memiliki gerak
spiral ke depan. Maksudnya, perkembangan selalu muncul dari sesuatu yang sudah
pernah ada sebelumnya dan penggantinya seringkali lebih tinggi atau lebih baik
dari sebelumnya. Hal ini seiring dengan pandangan Ibnu Khaldun terhadap sejarah
yang menurutnya merupakan kisah negara-negara yang muncul, tumbuh dan hancur.
Kehancuran merupakan hal yang pasti pada setiap hal kecuali dalam perkembangan.
Teori perkembangan sejarah ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain:
a. Ekonomi
Menurut Ibnu Khaldun, kegiatan ekonomi mampu
menentukan bentuk kehidupan. Ia juga membedakan masyarakat primitive dan maju
berdasarkan ekonomi. Jika masyarakat primitive mendasarkan kehidupannya pada
pernggarapan tanah atau pemeliharaan tanah, maka masyarakat maju menggunakan
industry dan perdagangan dalam mendasarkan kehidupan mereka. Lebih jauh lagi,
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa begara tidak dapat ditegakkan oleh suatu bangsa
kecuali dengan adanya suatu peringkat tertentu dalam kemajuan ekonomi. Maka
dari itu tidak salah jika Ibnu Khaldun dalam filsafat sejarahnya berafiliasi
dengan aliran ekonomi. Aliran ekonomi menginterpretasikan sejarah secara
materialis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis. Di samping
itu setiap perubahan dalam masyarakat, dan fenomena–fenomenanya, mengembalikan
pada faktor ekonomi .Karl Marx adalah tokoh yang dianggap sebagai tokoh
pengembang aliran filsafat sejarah kedua ini.
b. Dampak
alam terhadap masyarakat-masyarakat manusia
Menurut Ibnu Khaldun, lingkungan fisik memiliki dampak
yang besar terhadap masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak
masyarakat dipengaruhi oleh bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis
hasil buminya, dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Kebudayaan tidak akan
muncul kecuali adanya kawasan-kawasan tertentu. Ibnu Khaldun juga membagi bumi
menjadi tujuh bagian. Bagian pertama dan ketujuh sangat panas, bagian kedua dan
keenam sangat dingin, sementara bagian ketiga, keempat, dan kelima memiliki
hawa sedang. Tiga bagian terakhir adalah tempat maraknya kebudayaan manusia.
Pengaruh ini tidak dapat dilepaskan dari aliran
sejarah geografi yang memandang manusia sebagai putra alam lingungan, dan
kondisi–kondisi alam di sekitarnya. Oleh karena itu dalam penyejarahan,
seseorag, masyarakat-masyarakat dan tradisi– tradisinya dibentuk oleh lingkungan
dan alam dimana ia berada. Alam dan lingkungan memiliki dampak terhadap
kehidupan masyarakat, walaupun manusia sendiri juga dapat mempengaruhi dan
berinteraksi dengan lingkunganya.
c. Dampak
agama terhadap filsafat sejarah
Menurut Ibnu Khaldun, terdapat pengaruh Ilahi yang
mengendalikan hukum-hukum yang mengendalikan hukum-hukum yang mengarahkan
berbagai fenomena. Agama menurut Ibnu Khaldun kadang-kadang memiliki dampak
yang besar atas bangsa-bangsa dan dampaknya kadang-kadang melebihi ashabiyah.
d. Hukum-Hukum
Determinisme Sejarah
Determinisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu
yang terjadi karena suatu kausa atau berbagai kausa dan semuanya itu tidak
mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda kecuali apabila terjadi perbedaan di
dalam kausa-kausanya. Hukum determinisme menurut Ibnu Khaldun ada tiga, yakni
hukum kausalitas, peniruan, dan perbedaan.
e. Hukum
kausalitas
Ibnu Khaldun meyakini adanya kausalitas antara
kenyataan-kenyataan dan fenomena-fenomena. Ibnu Khaldun disebut-sebut
terpengaruh dari al-Ghazali dan ada juga yang menyebutnya terpengaruh oleh
Aristotelian. Hukum kausalitas yang dipahami Ibnu Khaldun bukan berarti manusia
diliputi semua sebab. Karena hal tersebut mustahil dan mengarahkan pada
ketidakmampuan akal dalam memahami. Ada beberapa pengecualian terhadap hukum
kausalitas, yakni pada hal-hal yang luar biasa seperti mukjizat para nabi dan
karomah para wali.
f. Hukum
peniruan
Hukum peniruan terjadi karena menurut Ibnu Khaldun
dari sebagian aspek semua masyarakat manusia adalah sama. Sementara jika terdapat
perbedaan merupakan sebuah keistimewaan yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepada
orang-orang tertentu seperti nabi dan wali. Peniruan merupakan suatu hukum yang
umum dan mendorong gerak perkembangan ke depan, sebab kadang-kadang peniruan
dilakukan terhadap sesuatu yang baik.
g. Hukum
perbedaan
Menurut Ibnu Khaldun, masyarakat-masyarakat tidak
memiliki kesamaan yang mutlak, sehingga perbedaan-perbedaan yang ada harus
diketahui oleh sejarawan. Perbedaan ini juga ditimbulkan dari proses peniruan
dari satu masyarakat kepada masyarakat lainnya yang justru akan menimbulkan
perbedaan secara total. Perbedaan dalam sebuah masyarakat tidak dapat
dilepaskan dari adanya pengaruh geografis, fisik, ekonomi, politik, adat
istiadat, tradisi, dan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar