Tokoh-tokoh
Filsafat Islam dan Pemikirannya
A. Al-Kindi
1. Sejarah
Hidup
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu
Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais
al-Kindi. Kindah merupakan suatu nama
kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang
menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan
yang terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal
untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari
keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur
Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami
masa pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun,
Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke
Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi
Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas, yang
juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun
mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh
karena itu tidak heran jika ia dapat menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu
alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi,, optika, kedokteran,
matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu
lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan
Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf
al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab).
2. Filsafat
atau Pemikirannya
a. Talfiq
Al-Kindi
berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat
adalah pengetahuan yang benar ( knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa
argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan
dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat
dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan
umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam
kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan
dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat
juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat
dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat
yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan
demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah
mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping
itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan,
tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat
untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita
harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak
ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu
sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang
mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab
kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika
diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan
orang yang memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi
beragama.
Pengingkaran
terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan
apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini
menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena
hal itu dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan
antara keduanya, yaitu:
1) Filsafat
termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan
agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh
tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para
Rasul dalam bentuk wahyu.
2) Jawaban
filsafat menunjukan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau
perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi
jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.
3) Filsafat
mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.
Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam
arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan akal.
b. Jiwa
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun,
mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari
substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan
matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda
dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa
dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi
bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan
ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang
melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat
kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan
bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak
bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan
badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan
antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan
tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang
mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa
mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir.
Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan
qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan.
3. Moral
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam
pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup
susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan
untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama
untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan
untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman
negara seperti Socrates. Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan
mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan
sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara.
Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin
perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia
mengutamakan kaedah Socrates.
B. Al-Farabi
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn
Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih
dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar),
Turkistan pada 257 H. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan
dengan Saif al-Daulah al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan
memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat
besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan
kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar,
memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara
utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang
datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan
mengupas sistem filsafatnya.
2. Pemikirannya
a) Pemaduan
Filsafat
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya terutama
pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat.
Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat.
Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah
akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika,
ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti
dua halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui
bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu diterima berarti alam
realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja.
Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang berdiri sendiri dan
menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini,
yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara
kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang
terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya
idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih
dari tiga kemungkinan:
1) Definisi
yang dibuat tentang filsafat tidak benar
2) Adanya
kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya
terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.
3) Pengetahuan
tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal definisi keduanya
tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara
mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti
ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu,
kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan
kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran
antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab
ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara
hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al-farabi mengagungkan
filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.
b) Jiwa
Adapun jiwa, Al-Farabi
juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat
ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah
dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan
kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang
berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut
al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari
alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala
jasad siap menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara
jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan
dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini
tidak hancur dengan hancurnya badan.
c) Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah
tentang politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah
(Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat
tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan
negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya
yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh
manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia
dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan
kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut
Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya,
bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ
tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang
lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada.
Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki
kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam,
cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks,
cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan,
ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua
kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi
yang diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti
gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh.
Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif
antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal
sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan,
Al-Farabi tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi
berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari
pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang
melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah
diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.
C. Ibnu
Sina
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn
Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan didesa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia
Utara pada 370 H. Ia mempunyai kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga
dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab
dan juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat
puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan,
sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan bahkan ilmu kedokteran
dipelajarinnya sendiri.
2. Pemikirannya
a. Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu
Sina membagi manusia kedalam empat kelompok:
mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan
yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa
manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang
demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara
langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang.
Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai
daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak
praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman
daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan
seorang Nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan
fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran
orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang
luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan psikologis yang
mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi
imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang
mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu.
Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup
tentang makanan dan minuman. Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini
berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup
sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar
mendengar dan melihatnya.
b. Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud,
beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi
sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan
kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari
al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan
ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya
terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau
bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena
manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk
menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak
tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat
sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung
keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.
D. Al-Razi
1. Sejarah
lahir
Nama lengkap al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu
Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat, beliau dikenal dengan
sebutan Razhes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama
Rhoges, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 H/865 M.
Perlu diingat bahwasanya tempat yang ia tinggali yakni Iran ,yang sebelumnya
terkenal dengan sebutan Persia, merupakan tempat dimana terjadinya pertemuan
berbagai kebudayaan terutama kebudayaan Yunani dan Persia. Dengan suasana
seperti lingkungan seperti ini mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang
intelektual.
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggil
al-razi, yakni Abu Hatim Al-Razi dan Najmun Al-Razi. Oleh karena itu, untuk
membedakan Al-Razi dengan yang lainnya, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu
Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).
Beliau pernah menjadi tukang intan pada mudanya,
penukar uang, dan pemain kecapi. Lalu beliau memusatkan perhatiannya pada ilmu
kimia dan meninggalkannya akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya yang
menyebabkan mata terserang penyakit. Setelah itu, beliau mendalami ilmu
kedokterang dan filsafat yang ada pada masa itu.
Ayahnya berharap Al-razi menjadi seorang pedagang
besar, maka dari itu ayahnya membekali Al-razi ilmu-ilmu perdagangan. Akan
tetapi, Al-Razi lebih memilih kepada bidang intelektual ketimbang dengan
perdagangan karena menurutnya bidang intelektual merupakan perkara yang lebih
besar ketimbang urusan dengan materi belaka.
Karena ketekunannya dalam bidang kedoteran dan
filsafat, Al-Razi menjadi terkenal sebagai dokter yang dermawan, penyayang
kepada pasien-pasiennya, oleh karena tiu dia sering memberi pengobata cuma-Cuma
kepada orang miskin. Dan karena reputasinya dalam kedokteran, dia pernah
mejabat sebagai kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur
Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia berpindak ke Baghdad dan memimpin rumah saki
di sana pada masa pemerintahan Khlifah Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi
meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian id berpindah-pindah dari
satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/
27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.
2. Karyanya
Mengenai karyanya, tentu berkaitan dengan siapa dia
belajar, dan siapa yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya. Menurut
Al-Nadim, beliau belajar filsafat kepada Al-Bakhli yang menguasai filsafat dan
ilmu-ilmu kuno. Ia sangat rajin dalam menulis dan membaca, mungkin inilah yang
menyebabkan penglihatannya secara berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta
total. Ia menolak akan untuk di obati dengan mengatakan bahwa pengobatan
untuknya itu sia-sia karena tak sebentar lagi dia akan meninggal.
Tak heran jika karya-karyanya sangat banyak sekali
bahkan dia menuliskan pada salah satu kitabnya, bahwasanya dia menulis tidak
kurang sari 200 karya tulis dalam berbagai ilmu pengetahuan. Karya-karyanya
yang meliputi:
1) Ilmu
Falak,
2) Matematika,
3) Bidang
kimia, yang terkenal dengan Kitab As-rar
4) Bidang
kedoteran, yang terkenal dengan al-mansuri Liber al-Almansoris
5) Bidang
Medis, yang terkenal dengan kitab Al-Hawi,
6) Mengenai
penyakit cacar dan pencegahannya, yakni Kitab al-Judar wa al-Hasbah
Sebagian dari karyanya telah dikumpulkan menjadi satu
kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat dan buku-buku yang lainnya seperti
Thib al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai
ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding dengan sebagai filosof.
3. Filsafatnya
a. Lima
Kekal ( Al-Qadiim )
Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka
kami sebagai pemakal memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya
sangat banyak, akan tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada pemikirannya
mengenai 5 hal yang kekal.
5 hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala
(Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula
(materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan
al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya pada yang hidup dan
aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak hidup dan pasif itu
materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang dan
waktu.
Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu
kekal karena Dia-lah yang menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan
tidak mungkin dia menciptakan ala mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo).
Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang
kekal selain Allah, akan tetapi kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah.
Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain
adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi
pertama, bahwasanya ia juga kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.
Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal
dank arena materi ini menempati ruang, maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang
absolute) juga kekal. Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua kategori,
yakni ruang pertikular yang terbatas dab terikat dengan sesuatu wujud yang
menempatinya, dan ruang universal yang
tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan
al-Muthlaq (masa absolut) padad dua kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak
yang bersifat qadiim dan substansi yang bergerak atau yang mengalir (jauhar
yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur adalah waktu yang
berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan
mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal. Menurutnya, bahwasanya waktu yang
kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya waktu yang terbatas.
E. Ibnu
Miskawaih
1. Sejarah
lahir
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu
Muhammad ibnu Ya’kub ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada
tahun 330 H/ 941 M dan wafat di asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16
Februari 1030 M. Dari buku yang kami dapatkan, tidak ada penjelasan yang sangat
rinci mengungkapkan biograpinya. Namun, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan,
bahwa ibnu miskawaih belajar sejarah terutama Taarikh al-Thabari kepada Abu
Bakar Ibnu Kamil Al-Qadhi dan belajar filsafat kepada Ibnu Al-Khammar, mufasir
kenamaan karya-karya aristoteles.
Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut syi’ah. Hal ini
didasarkan pada pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir syi’ah pada masa
pemerintahan Bani Buwaihi ( 320 – 448 M ). Dan ketika sultan Ahmad ‘Adhud Al-Daulah
menjabat sebagai kepala pemerintahan, ibnu Miskawaih menduduki jabatan yang
penting, seperti pengangkatannya sebagai Khazin, penjaga perpustakaan Negara
dan bendarahara negara.
2. Karyanya
Dalam karyanya dalam disiplin ilmu meliputi
kedokteran, sejarah dan filsafat. Akan tetapi, dia lebih terkenal sebagai
seorang filosof akhlak, ( al-falsafat al-‘amaliyat ) ketimbang dengan seorang
filosof ketuhanan ( al-falsafat al-nazhariyyat al-Illahiyat ).
Dalam buku The History of the Muslim Philoshopy
disebutkan bahwa karya tulisannya itu; Al-Fauz al-Akbar, al-Fauz al-Asghar,
Tajaarib al-Umaan ( sebuah sejarah tentang banjir besar yana ditulis pada tahun
369 H/ 979 M), Uns al-Fariid ( yakni koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan
kata-kata hikmah ), Tartiib al-Sa’adat ( isinya ahlak dan politik ),
al-Mustaufa ( isinya syair-syair pilihan ), al-Jaami’, al-Siyaab, On the Simple
Drugs ( tentang kedokteran ), On the composition of the Bajats ( tentang
kedokteran ), Kitaab al-Ashribah ( tentang minuman ), Tahziib al-Akhlak (
tentang akhlak ), Risaalat fi al-Lazza wa al-Aalam fil jauhar al-Nafs, ajwibaat
wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql, Al-Jawaab fi Al-Masaa’il al-Salas, Risaalat
fi Jawaab fi Su’al Ali ibnu Muhammad Abuu Hayyan al-Shufii fi HAqiiqat al-‘Aql,
dan Tharathat al-Nafs.
3. Akhlak
Ibnu miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang
moralis berpendapat bahwa akhlak adalah
suatu sikap atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa berpikir
dan sama sekali tidak ada pertimbangan. Dengan kata lain, ahklak adalah
tindakan yang tidak ada sama sekali pertentangan dalam dirinya untuk melakukan
sesuatu. Menurut kami, ungkapan beliau mengenai hal ini sama dengan perkataan
plato yang mengatakan bahwasanya cinta adalah gerak jiwa yang kosong.
Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua
unsur yakni; unsur watak naluriah dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan
latihan ( riyadhoh ). Serta dia berpandangan bahwa jiwa mempunyai tiga daya
yang mana apabila ketigak daya ini beserta sifat-sifatnya selaras, maka akan menimbulkan
sifat yang keempat yakni adil.
Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir,
daya marah, dan daya keinginan. Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama
mengenai ketiga daya ini antara lain adalah; sifat hikmah merupakan sifat utama
bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah ini lahir dari ilmu. Rasa berani
merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana sifat berani ini timbul dari
sifat hilm ( mawas diri ). Sedangkan sifat utama bagi jiwa keinginan adalah
sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir dati ‘iffah ( memelihara
kehormatan diri ).
Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara
lain; hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras,
maka sifati keempat akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari
semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.
F. Ibnu
Rusyd
1. Sejarah
kelahirannya
Nama asli dari Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad
ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd, beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada
tahun 510 H/ 1126 M, 15 tahun setelah kematiannya imam ghazali. Di dunia barat
dia lebih terkenal dengan sebutan Averros, sedang di dunia islam sendiri lebih
terkenal dengan nama ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah keturunan keluarga terhormat
yang terkenal sebagai tokoh keilmuwan, sedang ayah dan kakeknya adalah mantan
hakim di andalus. Pada tahun 565 H/ 1169 M dia diangkat menjadi seorang hakim
di Seville dan Cordova. Dan pada tahun 1173 ia menjadi ketua mahkamah agung,
Qadhi al-Qudhat di Cordova.
Salah satu faktor yang membuatnya menjadi seorang
ilmuwan adalah karena dia tumbuh dan hidup dalam keluarga yang Ghirah-nya besar
sekali dalam bidang keilmuwan. Akan tetapi yang menjadi faktor utamanya karena
ketajamannya dalam berpikir serta kejeniusan otaknya. Dengan semua faktor-faktor
di atas, tidaklah heran apabila dia menjadi seorang ilmuwan Muslim yang
terkemuka.
Hal yang sangat mengagumkan dari ibnu Rusyd adalah
semenjak dia sudah mulai berakal ( masa baligh ) hampir semua hidupnya ia
pergunakan untuk belajar dan membaca. Tak pernah dia melewatkan waktunya selain
untuk berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan ketika
malam pernikahannya. Dengan keadaan seperti ini, membuat pemikirannya semakin
tajam dan kuat dari waktu ke waktu.
Kehidupannya sebagai seorang hakim tidaklah mulus,
ibnu Rusd pernah mengalami akan tuduhan pahit, yang pada dasarnya hanya untuk
keperluan mobilisasi menghadapi pemberontakkan Kristen Spanyol, dia di tuduh
kafir, lalu dia di adili dan sebagai hukumannya dia di buang ke Lucena, dekat
Cordova. Tidak hanya itu saja, semua jabatannya sebagai hakim mahkamah agung
dicopot serta semua bukunya di bakar, kecuali buku yang bersifat ilmu
pengetahuan murni ( sains ), seperti kedokteran, matematika dan astronomi.
Setahun lamanya ibnu Rusyd mengalami masa yang sangat
getir itu, dan pada tahun 1197 M, khlifah mencabut hukumannya dan
mengembalikkan semua pangkat yang pernah dia pegang sebelumnya. Ibnu Rusyd
meninggal 10 desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di marakesh dalam usia 72 tahun
menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijriyah.
2. Karyanya
Tulisan ibnu Rusyd yang dapat kita dapati pada
sekarang ini antara lain; Fashl al-Maqaal fi maa bain al-Hikmat wa al-Syari’ah
min al-Ittishaal, buku ini berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
Al-Kasyf’an Manaahij al-Sdillah fi Aqaa’id al-Millat, sedang buku ini berisikan
tentang kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi. Tahaafut
al-Tahaafut, kitab ini berisikan tentang kritikan terhadap imam ghazali yang
kitabnya berjudul Tahaafut al-Falaasifah. Sedangkan karnyanya dalam bidah fiqih
yaitu buku yang berjudul Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid.
3. Hukum
Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan Mukjizat
Berikut ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap
imam ghazali mengenai sebab-akibat yang memang merupakan kejadian yang keluar
dari kebiasaan;
a. Terdapat
hubungan yang dharuuriiy ( pasti ) antara sebab dan akibat
Menurut ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala
sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan cirri tertentu yang disebut
dengan zatiyah. Dengan arti bahwasanya untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti
ada daya atau kekuatan yang telah ada sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd, kita bisa
mengenali mawjud yang ada ini dengan adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka
dengan itu pula kita bisa membedakan antara satu dengan lainnya.
Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar,
air yang sifat zatiyyah-nya adalah membasahi. Sifat membakar dan membasahi ini
adalah sifat zatiyyah-nya dan merupakan pembedan antara api dengan air, jika
tidak ada sifat tertentu, tentunya air dan api sama saja, tidak ada bendanya,
akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang mustahil.
b. Hubungan
sebab-akibat dengan adat atau kebiasaan
Menurut ibnu rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah
jelas dalam mengemukakan pendapatnya mengenai sebab-akibat yang dianggap
sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu Rusyd mempertanyakan apakah yang al-ghazali
maksud ini adalah adat fa’il (Allah), atau adat maujud, atau juga adat bagi
kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap maujud ini.
Kalaulah yang dimaksudnya adalah adat Allah, hal ini
mustahil karena apa yang disebut dengan adat adalah suatu kemampuan atau
potensi yang diusahakan oleh fa’il yang mengkibatkan berulang-ulangnya perhatin
mawjud ini. Hal ini sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan
bahwa sunnatullah tidak akan berganti dan tidak berubah[1]. Jika yang
dimaksudnya adalah adat bagi maujud, maka hal ini hanya akan berlaku bagi yang
memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain itu, bukanlah adat namanya,
tetapi tabia’at. Dan apabila yang dia maksud adalah adat bagi kita dalam
menentukan suatu sifat atau predikat terhadap mawjud, sepert si fulan baik san
sebagainya, maka hal ini mawjud terlepas daripada nisbat (hubungan)-nya kepada fa’il
(Allah).
c. Hubungan
sebab-akibat dengan akal
Menurut ibnu Rusyd; pengetahuan akal tidak lebih
daripada pengetahuan tentang gejala yang mawjud beserta sebab-akibatnya yang
menyertainya. Pengingkaran terhadap sebab-akibat berarti pengingkaran terhadap
akal dan ilmu pengetahuan.
d. Hubungan
sebab-akibat dengan mukjizat
Di awali dengan pendapatnya imam Ghazali, ketika
seseorang percaya akan keniscayaan, maka akan mengakibatkannya tidak percaya
terhadap adanya mukjizat nabi. Mengenai hal ini, ibnu rusyd membedakan antara
dua mukjizat; mukjizat al-Barraaniy dan mukjizat al-Jawaaniy.
Mukjizat al-Barraaniy, adalah mukjizat yang diberikan
kepada seorang Nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti
tongkat nabi musa yang merumbah menjadi ular, nabi Isa yang dapat menghidupkan
orang mati, dan lainnya. Mukjizat seperti ini yang saat itu dipandang sebagai
mukjizat atau perbuatan diluar kebiasaan dan boleh jadi satu waktu dapat
diungkapkan oleh pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapkannya, maka
ia tidak dipandang sebagai mukjizat lagi.
Mukjizat al-Jawaaniy, adalah mukjizat yang diberikan
kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti
mukjizatNabi Muhammad yakni al-Quran. Mukjizat seperti inilah yang dipandang
oleh ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang sebenarnya, karena al-quran tidak dapat
diungkapkan oleh pengetahuan (sains) dimana pun dan kapan pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar