Di tengah perdebatan antara paradigma pendidikan Aristotelian
(pembiasaan dan pengkondisian) dan Platonian (pengetahuan), saya ingin
menawarkan satu pandangan, yakni pendidikan sebagai penyadaran (to be aware). Untuk
menjalani proses penyadaran ini, orang harus belajar melupakan semua informasi
maupun pengetahuan yang telah ia peroleh. Ia juga perlu berhenti menganalisis
segala peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya. Orang harus belajar untuk unlearn.
Setelah semua informasi dan pengetahuan ditunda, dan pola
berpikir analisis dihentikan, pendidikan harus mengajak orang untuk merasa,
yakni merasa dengan keseluruhan eksistensi diri. Kejujuran tidak lagi sekedar
konsep ataupun informasi, melainkan menjadi “rasa kejujuran” yang menempel di
dalam seluruh diri. Kemurahan hati tidak lagi sekedar kebiasaan, yang
sebelumnya dilatih dalam proses pengkondisian, melainkan menjadi gerak
keseluruhan diri yang muncul dari perasaan yang mendalam tentang realitas itu
sendiri.
Pada titik ini, pendidikan tidak lagi soal menghafal fakta,
atau membangun kebiasaan, melainkan soal membangkitkan kesadaran diri manusia
terhadap diri dan lingkungannya. Untuk melahirkan kesadaran semacam ini, orang
perlu belajar untuk berhenti belajar (unlearn), dan melepaskan diri dari segala pola
kebiasaan yang mencekik diri. Kesadaran mengubah cara orang di dalam melihat
dunianya. Dan dengan itu, kesadaran mengubah seluruh diri manusia. Ia menjadi
manusia yang bebas, bermartabat, sekaligus aktif membangun dunia dengan
kebebasannya.
Ia tidak lagi menjadi bank informasi, yang hanya pandai
menyerap dan memuntahkan informasi belaka. Ia tidak lagi menjadi robot-robot
hasil bentukan lingkungan sosialnya melalui proses pembiasaan yang dilakukan
secara rutin dan sistematik, sehingga menjadi pribadi yang tak mampu berpikir
kritis, apalagi mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Membangun kesadaran berarti
menolak untuk tunduk pada satu atau dua pola pendidikan yang seringkali
memenjara jiwa, melainkan melihat realitas apa adanya dengan segala rasa yang
ada di dalam eksistensi diri manusia, lalu bertindak atas dasar rasa serta
kebebasan itu.
Kualitas sebuah bangsa tidak dilihat dari tingkat ekonominya
semata, tetapi dari kualitas pribadi orang-orang yang ada di dalamnya. Pribadi
yang mirip bank informasi dan robot-robot patuh tidak akan membawa peradaban ke
arah keagungannya, melainkan justru merusaknya. Pendidikan di Indonesia perlu
menjadikan penyadaran sebagai jantung hati paradigma maupun
kebijakan-kebijakannya. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun harapan yang
konkret akan masa depan yang lebih baik dan bermartabat untuk anak-anak kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar