Dalam Filsafatnya, ia
menyatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama dengan
orang lain. Akan tetapi, manusia memiliki kebebasan yang bersifat otonom. Dalam
hal itu, ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh kejasmanianya. Dari luar,
ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam, ia dikuasai oleh
kejasmanianya. Didalam pertemuanya dengan manusia lain, manusia mungkin
bersikap dua macam. Yang lain itu merupakan objek baginya, jadi sebagai dia,
mungkin juga merupakan yang ada bagi aku. Aku ini membentuk diri terutama dalam
hubungan engkau-aku ini. Dalam
hubungan ini, kesetialah yang menentukan segala-galanya. Jika aku percaya pada orang lain, setialah
aku terhadap orang lain itu, dan kepercaaan ini menciptakan diri aku itu. Setia itu mungkin hanya karena
orang merupakan bagian diakau yang
mutlak (Tuhan) kesetian yang menciptakan aku
ini akhirnya berdasarkan atas partisipasi manusia kepada Tuhan.
Manusia bukanlah makhluk
yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses) atau beinf and becoming. Ia selalu menghadapi objek yang harus
diusahakan, seperti yang tampak dalam hubunganya dengan orang lain.
Perjalanan manusia
ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. perjuangan manusia
sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara tidak berada. Oleh karena itu,
manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut pada kematian. Namun,
sebenarnya kemenangan kematian itu hanyalah semu saja, sebab hanya cinta kasih
sayang itulah yang memberi harapan untuk mengatasi kematian. Didalam cinta dan
kasih ada kepastian bahwa ada Engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang
menerobos pada kematian. Adanya harapan menunjukan bahwa kemenangan kematian
adalah semu.
Ajaran tentang harapan
ini menjadi puncak ajaran marcel. Harapan ini menunjukan adanya Engkau Yang
Tertinggi (Tci Supreme), yang tidak
dapat dijadikan objek manusia. Engkau Tinggi inilah Allah, yang hanya dapat
ditemukan dalam penyerahan seperti halnya kita menemukan Engkau atas sesame
kita dalam penyerahan dan dalam keterbukaan dan partisipasi dalam berada yang
sejati. (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 132, lihat A. chairil Basori,
1986:141)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar