FILSAFAT
PLOTINUS
A. Riwayat
Hidup Plotinus
Plotinus
dilahirkan di Lycopolis (Mesir) pada tahun 203 M. Di zaman itu agama Kristen
sudah berkembang di daerah timur dan eropa. Plotinus sendiri tinggal di daerah
Mesir, dekat dengan salah satu pusat agama Kristen, Alexandria. Ia juga berguru
pada seorang yang bernama Ammonius Saccas, yang mengajarkan padanya filsafat.
Kemudian ia sempat pergi ke Persia dan bersentuhan dengan budaya timur disana.
Semuanya ini membuat filsafat Plotinus yang merupakan analisis serta kritik
dari aliran filsafat yang berkembang diwaktu itu. Dari ajaran Plato, Kristen,
Filsafat Timur, Epikuros dan Stoa, serta Gnostik. Kedekatannya pada ajaran
Plato kemudian mengimbuhkan label Neoplatonisme pada ajaran Plotinus.
Plotinus
tidak semata-mata seorang filsuf, ia adalah seorang mistikus, mungkin
terpengaruh dari Kristen atau filsafat timur. Sebagai seorang mistikus, ia
bukan hanya merumuskan metafisika, melainkan mengacu kepada kembali ke Sang
Asal, sumber dari segala sesuatu. Sesuatu yang tidak ditemui pada ajaran Plato.
B. Filsafat
Plotinus
Pada
usia 40 tahun ia pergi ke Roma. Di sana ia menjadi pemikir terkenal pada zaman
itu. Ia meninggal di Minturnea pada 270 M di Minturnae, Campania, Italia. Ia
bermula mempelajari filosofi dari ajaran Yunani, terutama dari buah tangan
Plato. Pada usia 50 tahun ia mulai menulis karangan-karangan filosofisnya.
Muridnya yang bernama Porphyry mulai menerbitkan karangan-karangan Ployinus
yang berjumlah 54 karangan. Karangan itu di kelompokkan menjadi 6 set, dan
setiap setnya terdiri atas 9 karangan, masing-masing set itu disebut enned,
seluruhnya ada 6enned. Diantara isi enned tersebut antara lain :
1. Enned
pertama berisi tentang masalah etika, kebajikan, kebahagiaan, bentuk- bentuk kebaikan, kejahatan, dan masalah
penacabutan dari kehidupan.
2. Enned
kedua berisi tentang fisik alam semesta, bintang-bintang, potensialitas dan
aktualitas, sirkulasi gerakan, kualitas dan bentuk, dan kritik terhadap
gnostisisme.
3. Enned
ketiga berisi tentang implikasi filsafat tentang dunia, seperti masalah iman,
kuasa Tuhan, kekekalan, waktu, dan tatanan alam.
4. Enned
keempat berisi tentang sifat dan fungsi jiwa.
5. Enned
kelima berisi tentang roh Ketuhanan (alam idea).
6. Enned
keenam berisi tentang free will dan ada yang menjadi realitas.
Seperti yang telah disinggung diatas, bahwa secara
umum ajaran Plotinus disebut Neo-Platonisme. Jadi ajarannya itu tentu ada
keterkaitan dengan filsafat plato. Dalam berbagai hal Plotinus memang bersandar
pada doktrin-doktrin Plato. Sama dengan Plato, ia menganut ralitas idea. Akan
tetapi ada sebuah perbedaan antara ide yang di tuangkan oleh Plato dengan
Plotinus. Perbedaannya ialah, pada Plato idea itu bersifat umum ; artinya
setiap jenis objek hanya ada satu ideanya, akan tetapi Plotinus mengatakan bahwa
idea itu bersifat partikular, sama dengan dunia yang partikular. Pebedan mereka
yang pokok ialah pada titik tekan ajaran mereka masing-masing. Plotinus kurang
memperhatikan masalah-masalah sosial seperti halnya Plato. Ada beberapa ajaran
filsafat Plotinus yang perlu dikaji lebih lanjut, yakni antara lain :
a. Teori
Metafisika Plotinus
Sistem metafisik Plotinus ditandai dengan konsep
transenden. Menurut pendapatnya, di dalam alam pikiran terdapat tiga realitas :
The One, The Mind, dan The Soul.Realitas yang pertama The One(Yang Esa) adalah
Tuhan: yaitu realitas yang tidak dapat dipahami dengan metode sains dan logika.
Ia berada di luar eksistensi, di luar segala nilai. Keberadaannya bersifat
transenden dan hanya dapat dihayati. Ia dapat didekati dengan tanda-tanda dalam
alam.
Realitas yang kedua The Mind atau Nous. Ini adalah
gambaran tentang Yang Esa dan di didalamnya mengandung idea-idea Plato.
Idea-idea itu merupakan bentuk asli obyek-obyek. Kandungan Nous adalah
benar-benar sebuah kesatuan. Untuk menghayatinya kita haruslah melalui proses
perenungan.Realitas yang ketiga The Soul adalah sebagai arsitek semua fenomena
yang ada di alam ini, Soul itu mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia
kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, ia adalah energi di belakang
dunia, dan pada waktu yang ia adalah bentuk-bentuk alam semesta. Jiwa manusia
juga mempunyai dua aspek: yang pertama intelektualitas yang tunduk pada
reinkarnasi, dan yang kedua adalah irasional.Penyatuan bentuk dan benda
menyebakan terciptanya dunia. Dengan demikian jagat raya mewujudkan suatu
gambaran idea. Seluruh jagat raya ini adalah suatu kesatuan organis. Di
dalamnya jiwa dunia menjadi asas segala fungsi sehingga segala kekuatan
dihubungkan yang satu dengan yang lain.
Di dalam diri manusia terdapat tiga substansi, yaitu
roh, jiwa, dan tubuh. Ketiganya mewujudkan suatu kesatuan, yang mana jiwa
sebagai tempat kesadaran mengambil tempat yang pusat. Tubuh mewujudkan suatu
alat benda. Sedangkan roh tetap senatiasa dipersatukan dengan nous tertinggi,
yaitu Yang Esa. Tujuan hidup menurut Plotinus ialah kembali dipersatukannya
manusia dengan Yang Esa.
1. To
Hen (Yang Esa)
Sang sumber segala sesuatu, yang dinamakan TO HEN.
Yang Satu, adalah sesuatu yang tidak terdefinisikan, mirip dengan para Brahman,
dalam ajaran Hindu. Ia adalah sesuatu yang tidak dapat dinamakan, tidak dapat
dibayangkan, sesuatu yang dapat dipahami dengan logika negatif (via negative).
Karena tidak bisa dinamakan, maka TO HEN pun sebenarnya bukan nama yang layak.
Penamaan ini semata-mata karena sebagai manusia kita tidak bisa menghindari
pemakaian kata-kata.
Konsep TO HEN tidak sama dengan konsep Tuhan dalam
ajaran monoteisme, karena TO HEN bukan sesuatu dengan daya kreatif yang
menciptakan alam semesta. Alam semeta mengalir, atau memancar darinya sebagai
sebuah keniscayaan. Ia adalah sumber dari segala sesuatu dan tidak membutuhkan
segala sesuatu. Ia mampu mencukupi dirinya sendiri. Segala sesuatu memancar
dari dirinya secara otomatis. Pandangan ini jangan dilihat seperti materi
penciptaan alam semesta ada pada dirinya, sehingga dari “tubuhnya” ia
menciptakan alam semesta, seperti yang dijelaskan oleh mitologi Babilonia
misalnya, yang mengatakan bahwa alam semesta dibentuk dari Tiamat, naga raksasa
yang mengandung semua dewa. Pandangan ini lebih baik dijelaskan seperti
hubungan antara penari (sang pencipta) dengan tariannya (ciptaan). Atau
bayangan sang pencipta adalah seorang pemain musik, dan musiknya adalah
ciptaannya.
Thomisme kemudian melihat persoalan ini dan mengatakan
bahwa TO HEN yang otomatis mencipta tidak dapat diterima, karena dengan
demikian ia tidak memiliki kehendak bebas. Kritik ini kurang tepat karena
kehendak bebas dalam konsepsi Plotinus diletakkan bukan di TO HEN, melainkan di
Nous, yang akan dijelaskan lebih lanjut dibawah.
Pandangan ini juga bisa dilihat dari kaca mata
Panteisme. Panteisme Plotinus kurang lebih sama dengan Panteisme Spinoza.
Panteisme tidak dilihat dengan pandangan sempit bahwa alam adalah Allah. TO HEN
ada dalam setiap ciptaan, tetapi semua ciptaan bukanlah TO HEN. Ciptaan sebagai
pancaran dari TO HEN, seperti bayang-bayang dari dia, yang lebih tidak sempurna
darinya. Dan ketidaksempurnaan ini bertingkat-tingkat sampai kepada hirarki
yang paling bawah yaitu materi.
Emanasi ini jangan dilihat sebagai sesuatu yang berada
di dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu justru adalah hasil dari emanasi.
Ruang dan waktu adalah pengertian dari dunia materi yang merupakan emanasi
terakhir.
2. Nous
(akal)
Nous atau intelek atau akal adalah emanasi pertama
dari TO HEN. Sebagai emanasi yang paling dekat dengan TO HEN, Ia memilki
kemampuan untuk berkontemplasi tentang TO HEN. Ia adalah sesuatu yang bisa
memikirkan tentang subyek, yaitu dirinya sendiri, yang sedang berfikir, dan
objek, sesuatu yang sedang dipikirkan. Ini tentunya mirip dengan rescogitans
dalam filsafat Descartes. Dalam hal ini Descartes setuju dengan Plotinus dengan
mengatakan Nous, atau rescogitans dalam istilah Descartes, sebagai prinsip
pertama.
Sebagai emanasi dari TO HEN, Ia kurang sempurna dari
TO HEN. Nous tidak lagi satu, melainkan telah mengalami keterpisahan satu sama
lain. Ia benar dalam dirinya sendiri, dan mutlak pada dirinya sendiri, seperti
yang terlihat dari fenomena suara hati. Keterpisahan inilah yang melahirkan
otonomi.
Nous sebagai prinsip otonom, berdikari .Keotonoman ini
melahirkan kehendak bebas. Ia bisa berkontemplasi keatas ke TO HEN, namun ia
juga bisa jatuh kebawah, menuruti psyche. Terlihat disini kalau Plotinus mau
memasukkan konsep jatuhnya Adam kedalam dosa kedalam filsafatnya. Bedanya, ia
tidak meletakan label dosa pada proses jatuhnya Nous ke psyche, melainkan
sekedar sesuatu yang alami yang merupakan keniscayaan kehidupan yang beremanasi
dari TO HEN.
3. Jiwa
Emanasi yang pertama dari TO HEN adalah dasar yang
pertama (arkhe) yaitu Nous, dan emanasi berikutnya adalah lokasi (topos) yaitu
Jiwa. Lokasi memungkinkan emanasi berikutnya yaitu materi memiliki tempat.
Psykhe ini berfungsi seperti benih yang melahirkan materi, oleh karena itu ia
dinamai logoi spermatikoi.
Jiwa adalah prinsip dipertengahan, ia mampu
berkontemplasi keatas, memberikan informasi dari dunia materi kepada Nous, dan
dilain pihak secara aktif beremanasi kebawah, menciptakan dunia materi. Jiwa
ini basa dipandang seperti nafsu, yang membuat manusia mengikatkan diri dengan
dunia materi, baik mencipta atau mengkonsumsinya.
Manusia dijelaskan oleh Plotinus dengan menggunakan
nous dan jiwa ini. Ia memang bias berkontemplasi ke TO HEN karena ia memiliki
nous, tetapi ia juga memiliki tarikan kebawah kemateri karena ia memiliki jiwa.
Jiwa disini tidak sama dengan jiwa dalam pengertian
Plato. Jika Plato melihat bahwa jiwa terpenjara dalam tubuh dan baru bisa
dibebaskan dengan kematian, Plotinus sebagai seorang mistikus, melihat
kemungkinan bahwa jiwa bisa melepaskan diri dari tubuh. Jiwa secara hirarkis
berada diatas materi, sehingga ia mampu menguasai materi.Jiwa merupakan akhir
alam akal (rohani) dan menjadi permulaan makhluk-makhluk yang terdapat pada
alam indrawi. Karena itu, ia mempunyai pertalian dengan kedua alam tersebut. Jiwa
mempunyai bermacam-macam kekuatan, dan dengan kekuatannya ia menempati
permulaan, pertengahan dan akhir segala sesuatu. Menurut Inge, jiwa tersebut
adalah pelancong pada alam metafisika dan menurut Brehier, didalam jiwa ada
kerinduan dan gerakan.
Ada tiga aliran yang membicarakan soal jiwa dan yang
didapati oleh Plotinus. Pertama, ialah aliran Stoa yang memandang jiwa sebagai
kekuatan pengatur. Kedua, ialah aliran Pytagiras yang menganggap turunnya jiwa
kealam indrawi sebagai suatu kemerosotan derajat. Ketiga, ialah aliran yang
masih berbau Pytagoras, yakni yang menganggap bahwa alam indrawi ini
buruk.Plotinus telah mengambil aliran pertama, serta melangkahkan pikirannya
sejauh mungkin, dan menganggap setiap kekuatan yang bekerja dalam alam ini
adalah jiwa atau bertalian dengan jiwa. Ia juga berpendapat bahwa langit
mempunyai jiwa, tiap-tiap binatang juga mempunyai jiwa, dan bumi juga mempunyai
kekuatan yang menumbuhkan. Plotinus sama pendapatnya dengan aliran Pytagoras
tentang jiwa menjadi rendah (hina), tetapi ia berbeda dengan aliran Gnostik,
karena ia menganggap bahwa alam indrawi mencapai kesempurnaan setinggi mungkin
yang dapat dicapainya.
4. Materi
Materi adalah emanasi terakhir yang paling jauh dari
TO HEN. Ia adalah emanasi dari jiwa dunia (anima mundi). Materi yang berada
dihirarki terbawah sepenuhnya pasif, menerima pencurahan dari atas, ia karena
sepenuhnya pasif, tunduk pada hukum deterministic. Materi tidak sepenuhnya
jahat. Ia jahat kalau dilihat dari hubunganya dengan prinsip diatasnya. Menurut
Plotinus, sumber kajahatan adalah keinginan jiwa untuk terus mencipta. Ini juga
bukan sesuatu yang dikatakan dosa, karena jiwa memang memiliki kecenderungan
seperti itu. Karena keterikatannya pada materilah, jiwa lupa pada ikatannya
diatas, kepada nous. Fenomena ini bisa dijelaskan oleh orang yang sudah
terperangkap oleh nafsu sehingga tidak bisa berfikir rasional.Plotinus dengan
ajaran emanasinya tidak menjelaskan sumber kejahatan berasal juga dari Sang
Pencipta, seperti halnya ajaran Gnostik, yang melihat alam ini jahat karena
Demiurgos, sang pencipta alam semesta, adalah jahat. Plotinus memotong akar
kejahatan sampai pada jiwa saja. Pada nous sendiri sudah tidak ada kejahatan,
yang ada hanya keterpisahan.
5. Remanasi
Seperti telah dikatakan sebelumnya, Plotinus juga
seorang mistikus dan mengklaim mengalami pengalaman mistik didalam hidupnya.
Dengan demikian ia tidak hanya tertarik untuk berfilsafat namun mencari jalan
untuk kembali ke TO HEN (remanasi).
Materi sebagai bagian yang paling jauh dari TO HEN adalah
bagian yang paling gelap atau jahat. Disini terlihat pengaruh aliran Gnostik
yang melihat dunia sebagai dualism, yang mengatakan bahwa materi pada dasarnya
adalah jahat. Ia adalah hirarki terakhir yang menerima penciptaan dari atas,
dan punya kecenderungan untuk menarik hirarki di atasnya yaitu jiwa ke bawah.
Dengan demikian usaha remanasi yang pertama adalah melawan materi, yang dalam
prakteknya bisa dilakukan dengan berpuasa misalnya. Dalam bahasa latin ini
disebut dengan purificatio, yaitu memurnikan diri, melepaskan diri dari materi.
Hal ini adalah persiapan untuk melakukan langkah
kedua, yaitu pencerahan. Pengaruh filsafat timur terlihat disini. Pencerahan
artinya melepaskan diri dari persepsi indrawi, dan memenuhi diri dengan
pengetahuan tentang idea. Ini sama dengan ajaran Plato dan Aristoteles, yaitu
episteme.
Langkah yang terakhir, adalah penyatuan diri dengan TO
HEN, yang diberi nama ekstasis oleh Plotinus. Ekstasis adalah sebuah upaya
mengatasi keterpisahan atau diferensiasi dari nous yang melihat diri sebagai
subyek. Jika ia bisa mengatasi
batasan diri ini, dengan melihat bahwa aku sama dengaan dia, sama dengan semua,
dengan demikian juga adalah TO HEN. Disinilah terlihat bahwa Plotinus pada
dasarnya adalah seorang mistikus, dan ia menyusun keseluruhan filsafatnya untuk
menuju kesini. Pada titik ini ajarannya sama dengan ajaran mistik yang lain,
baik dari tradisi timur, hindu, budha, tradisi barat, ataupun yang di kejawen
dikenal dengan manunggaling kawulo Gusti, menyatu dengan Allah.
C. Plotinus
dan Tasawuf
Teori Plotinus tentang Yang Esa bersifat fikiran dan
tasawuf bersama-sama, meskipun sebenarnya kedua corak ini saling berlawanan.
Teori tersebut biasa terdapat pada masa Plotinus, sebagai akibat percampuran
fikiran Yunani dengan agama-agama timur. Tuhan terlihat dalam waktu yang
bersamaan sebagai batas pertama bagi penafsiran rasionil terhadap alam semesta
dan juga menjadi objek pengetahuan langsung dan intuisi batin. Plotinus
mengambil teori sebagai berikut:
“Yang terbaik pada benda matter adalah form, kalau
benda mengetahui, tentu mencintai form” “Pada alam ini terdapat urutan-urutan
yang (vertical), sehingga tiap-tiap perkara (wujud) menjadi lebih baik, bila
dibandingkan dengan perkara (wujud) yang dibawahnya. Yang lebih baik dari pada
benda ialah form, dan yang lebih baik daripada badan ialah jiwa, dimana tanpa
jiwa ini badan tidak bisa wujud dan tidak tetap. Yang lebih baik daripada jiwa
adalah keutamaan, dan diatas keutamaan adalah akal. Diatas akal adalah wujud
yang kita sebut Yang ”Pertama.”
Jadi kebaikan adalah tujuan tertinggi yang bisa
dicapai oleh jiwa yang cinta, dan (cinta) disini bukanlah cinta kepada
perkara-perkara yang inderawi. ”Selama orang-orang yang cinta bertautan dengan
hal-hal yang inderawi, berarti mareka tidak cinta. Tetapi dengan melalui gejala
luar ini, mereka membentuk pada jiwanya yang tidak terpisah-pisah suatu
gambaran yang tidak terlihat. Dengan demikian maka timbullah kecintaan”.
Cinta tasawuf adalah cinta hakiki yang sempurna dan
yang tidak berhubungan dengan obyek tertentu yang terbatas.”Tidak ada batas
kecintaan yang kita rasakan untuk kebaikan. Memang cinta disini tidak mengenal
batas, karena yang dirindukan sendiri adalah zat yang tidak mengenal batas.
Keindahannya lain daripada keindahan biasa ia adalah keindahan diatas
keindahan”.Cinta tersebut baru terdapat sesudah mengalami
penderitaan-penderitaan, dan hanya dapat dimiliki oleh para yang meninggalkan
perkara-perkara yang ada sekarang dan membersihkan dirinya dari semua gambaran.
Pada saat ini jiwa merasakan pingsan dan menyaksikan kebenaran. Tetapi
penyaksian ini pendek masanya dan jarang terjadi.
Demikianlah jalan kecintaan yang dapat membawa kita
kepada kebaikan (Tuhan). Kebaikan bukan menjadi kebaikan karena dicintai,
melainkan dicintai karena ia baik. Dengan demikian maka Plotinus sampai kepda
jalan yang kedua, yakni jalan akal fikiran, dengan berusaha untuk menafsirkan
jalan cinta dengan tafsiran rasionil.
Tinjauan sepintas tentang filsafat Plotinus,
menunjukkan bahwa ia menganggap kehidupan agama berbeda sama sekali dengan
kehidupan akal pikiran, karena perbedaan tabiat dan alamnya. Berkali-kali
Plotinus menandaskan, tidak mungkin mengetahui tabiat (hakikat) Yang Esa dengan
melalui akal pikiran. Pengetahuan ini baru dapat dicapai dengan jalan sinar ke-Tuhanan
dan perhubungan dengan-Nya (isyraq wa ittishal).
D. Unsur-Unsur
Ketimuran Pada Filsafat Plotinus
Kita melihat bahwa akal menurut Plotinus, menjadi alat
pengetahuan, dan juga merupakan zat yang universal, dimana semua perkara
(makhluk) berlarut padanya dan juga keluar dari padanya. Fungsi akal yang
pertama berhubungan erat dengan fikiran Helenisme (Yunani), sedang fungsi yang
kedua, berakar pada fikiran bukan Yunani, meskipun agak mirip dengan filsafat
aliran Stoa.Persoalan ini telah disinggung oleh Emile Brehier, dan mengatakan
bahwa semua persoalan tersebut berkisar pada satu persoalan saja, yaitu
pertalian kita sebagai makhluk partial dengan zat yang universal. Ringkasnya,
bagaimana zat universal terdapat dimana-mana dengan keuniversalanya ,tetapi
meskipun demikian tetap universal?.
Persoalan ini tidak dikenal oleh filsafat Yunani.
Pertalian partial dengan zat universal bagi Plotinus merupakan kesatuan
tasawuf, dimana zat partial hilang. Bukan pertalian akal pikiran (rasionil),
seperti yang dibataskan oleh Plato, Aristo dan filosof-filosof Stoa.Sejarah
Plotinus menunjukkan bahwa ia setelah selesai mempelajari filsafat Yunani, maka
ia ingin melihat filsafat Persi dan India. Karena itu ia memasuki tentara
Kaisar Gordianus yang menyerang negeri Persi. Kepercayaan mereka yang
terpenting pada waktu itu terletak pada pemujaan terhadap Mitra. Kepercayaan
agama ini menjadikan zat yang Maha Tinggi sebagai sumber sinar yang mengirimkan
cahayanya, kemudian membakar benda dan menyinari kegelapannya.
Porphyre ketika menceritakan sejarah hidup gurunya,
Plotinus mengatakan bahwa gurunya tersebut dengan asyiknya mempelajari filsafat
orang-orang barbar, yakni filsafat bukan yunani, dan banyak mengambil dari
padanya kesatuan ”saya” (Atman) dengan zat universal (Brahman) yang terdapat
dalam buku Upanishad dari india. Dalam kitab-kitab agama Hindu juga ada prinsip
lain yang kita dapati dalam Plotinus dan yang asing bagi filsafat Yunani.
Ajaran ini menganggap bahwa persatuan ”saya” dengan “zat universal” tidak
mungkin terjadi dengan pengetahuan universal, melainkan dengan jalan intuisi,
dan intuisi ini dapat diperoleh dengan latihan-latihan rohani dan renungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar