PEMIKIRAN
FILSAFAT ISLAM IBNU RUSYD
Oleh
: m.hifni
A. Biografi
Ibnu Rusyd
Nama
lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova
sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer
dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat
menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di ambil dari
nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan terhormat,
bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek dan
ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat
pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa
dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah
Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.
Dalam
buku karangan Nurcholis Madjid, dijelaskan tentang penamaan Ibnu Rusyd, bahwa
penyebutan Averrios untuk Ibnu Rusyd adalah akibat dari terjadinya metamorfose
Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan seperti kata
Ibrani 9 bahasa Yahudi dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi
Rochd. Dengan demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam
bahasa Spanyol huruf konsonan ”b” diubah menjadi ”v”, maka Aben menjadi Aven
Rochd. Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut Idgham
kemudian berubah menjadi Averrochd, karena dalam bahasa Latin tidak ada huruf
”sy”, huruf ”sy” dan d dianggap dengan ”s” sehingga menjadi Averriosd.
Kemudian, rentetan ”s” dan ”d” dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka huruf
”d” dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara
huruf ”s” dengan ”s” posesif maka antara ”o” dan ”s” diberi sisipan ”e”
sehingga Averroes, dan ”e” sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois.
Ibnu
rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghairahnya pada ilmu pengetahuan.
Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik,
Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan ia
menghapalnya. Ia juga juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika,
filsafat, dan ilmu pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak
terkenal, tetapi secara keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi
filsafat. Adapun seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya.
Cordova pada saat itu menjadi saingan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo, dan
kota-kota besar lainnya di negeri-negeri Islam Timur.
Sebagai
seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga ilmuan terutama
fiqih, maka ketika dewasa ia diberikan jabatan untuk pertama kalinya yakni
sebagai hakim pada tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian iapun kembali ke
Cordova, sepuluh tahun di sana, iapun diangkat menjadi qhadi, selanjutnya ia
juga pernah menjadi dokter Istana di Cordova, dan sebagai seorang filosof dan
ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar di kalangan Istana, terutama di
zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-99 M). Sebagai seorang fiolosof,
pengaruhnya di kalangan Istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha.
Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan
berhajat pada kat-kata kaum ulama dan kaum fuqaha. Maka kedaan menjadi berubah,
Ibnu Rusyd disingkirkan oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa
aliran filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd
ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat yang bernama Lucena di daerah Cordova.
Oleh sebab itu, kaum filosof tidak disenangi lagi, maka timbullah pengaruh kaum
ulama dan kaum fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan
meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M.
1. Karya-Karyanya
Sebagai
seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah
membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar
memuat sudut pandang ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai
berikut :
a. Tahafut
at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir
keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih luwes daripada fashl
dalam menegaskan keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas akal yang
dikaitkan dengan agama yang murni rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut
juga setia kepada Fashl, melalui pandangan terhadap diri Nabi yang mempunyai
akl aktif untuk melihat gambaran-gambaran secara rasional. Seperti halnya juga
para filsuf, dan yang mengubah gambaran-gambaran tersebut dengan mengubah
imajinasi menjadi simbol-simbol yang sesuai kebutuhan orang awam. Dengan
demikian, rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan sekedar reduksionisme, seperti
halnya paham Al-Muwahhidun, ini merupakan keyakinan pada kemungkinan untuk
membangun kemabli rantai penalaran secara aposteriori.
b. Fash
al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal (Kitab ini
berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama)
c. Al-Kasyf’an
Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, (berisikan kritik terhadap metode para
ahli ilmu kalam dan sufi)
d. Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian di bidang fiqih).
2. Pemikiran
Ibnu Rusyd
Sebagai
komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat
dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk
membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha
mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu
Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles.
Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise
(filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.
Dalam
beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim
sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat
Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas
dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran
Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa
komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa
besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu
Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada
masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.
Namun
demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam
berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd
juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya
sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.
1. Pemikiran
Epistemologi Ibn Rusyd
Dalam
kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat
bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya
mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran /
hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha
Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang
ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang
adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk
senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.
Jika
kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar
Syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan /
kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan
dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang
dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang
handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek
pemikiran tertentu.
Oleh
karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak
mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada
dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor
di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut.
Sebab kemmapuan manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari
pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam
memperoleh pengetahuan yakni:
a. Lewat
metode al- Khatabiyyah (Retorika)
b. lewat
metode al-Jadaliyyah (dialektika)
c. Lewat
metode al-Burhaniyyah (demonstratif)
Pertama,
Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli
takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas
manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok
manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
Kedua,
Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan
ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir
secara dialektik.
Ketiga,
Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan
ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan
filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan
dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada
mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik.
Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa
menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak
lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara
interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 :
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
Artinya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa’: 85)
Allah
SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak
/ belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga
metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks
al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat
derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga
Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan
satu macam cara saja.
Satu
pendekatan yang diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks
yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah
kegiatan Ta’wil . Metode ta’wil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam
kitab beliau ini. Al-Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek
pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan
obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan nalar Burhani,
ia merpakan metode ta’wil / qiyas untuk membincangkan persoalan-persoalan
maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.
Qiyas
burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan Qur’anik
dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa
teks syar’iy memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl
dengan qiyas burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks.
Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian
suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi
majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab
dalam mebuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan
“tertentu lainnya” karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya,
menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan
terhadap obyek yang awal.
Ibn
Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu
dita’wil, agar diketahui makan bathinyyah (Esoteris) yang tersembunyi di
dalamnya adalah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran
manusia dan perbedaan karakter dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun
dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang paling mudah untuk dimengerti oleh
manusia dengan tidak menutup mata terhdap kecenderungan kelompok ulama yang
pandai (al Rasyikhuna fil ‘Ilm) untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang
tersurat.
1) Metafisika
Dalam
masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama
(muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah
”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud Allah ia;ah
Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.[9]
Konsepsi
Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles,
Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang
dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi
menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam
pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai dalam filsafat Aristoteles dan
Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Dalam
pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah,
dan falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang berbeda
satu sama lainnya, dan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata-kata Syar’i
sesuai denngan kepercayaan mereka.
Dalam
pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan:
a) Dalil
wujud Allah. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang
pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan
apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena
itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an
dalam berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang
dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang
khusus yang terpelajar.
b) Dalil
‘inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan).
Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi.
Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia.
Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian
ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian
oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut,
diantaranya Q.S, al-Naba’:78:6-7
أَلَمْ
نَجْعَلِ الأرْضَ مِهَادًا. وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا
Artinya: Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu
sebagai hamparan?,. dan gunung-gunung sebagai pasak? (QS. Al-Naba:6-7)
c) Dalil
Ikhtira’ (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala
makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis
hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda
mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang
menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk
seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui
Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di
alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini. Ayat
suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Hajj: 73
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ
دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ
الذُّبَابُ شَيْئًا لا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ
Artinya: Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka
dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain
Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka
bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka,
tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al-Hajj:73)
d) Dalil
Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya
sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh
Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam
suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada
gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya
dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada
dzatnya maupun pada sifatnya. Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada
kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
e) Sifat-sifat
Allah. Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada
perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn
Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih
(penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah
dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
2) Tanggapan
Terhadap Al-Ghazali
Ibnu
Rusyd di kenal oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali. Hal
ini terlihat dalam bukunya berjudul Tahafutut-tahafut, yang merupakan reaksi
buku al-Ghazali berjudul Tahafutut Falasifah.
Dalam bukunya, Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani
dan umat Islam yang telah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali. Sebagai
pembela Aristoteles (filsafat Yunani), tentunya Ibnu Rusyd menolak prinsip
Ijraul-Adat dari al-Ghazali. Begitu pula al-Farabi, dia juga mengemukakan
prinsip hukum kausal dari Aristoteles. Perdebatan panjang antara Al-Ghazali dan
Ibn Rusyd, kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya memiliki pengikut
setia dalam mempertahankan pendapat-pendapat dari kedua pemikir Islam tersebut.
Al-Ghazali
adalah sebagai golongan filsafat Islam di dunia Islam Timur, sedangkan Ibn
Rusyd adalah sebagai salah satu pemikir dari golongan filsafat Islam di dunia
Islam Barat. Walau pun kita tidak membaca keseluruhan, hanya melihat dari
pembagian dalam daftar isi dalam buku itu, kita sudah menilai bahwa pemikir
Islam Timur dan Barat jelas-jelas akan mengalami perbedaan pendapat satu dengan
yang lainnya.
Melalui
buku Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali
melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari
masalah tersebut, menurut Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran: yaitu,
qidamnya alam, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan tidak
adanya pembangkitan jasmani.
Sehubungan
serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari
serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis
buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Berikut perdebatan
Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Perincian 20 persoalan di atas adalah sebagai
berikut:
1) Alam
qadim (tidal bermula),
2) Keabadian
(abadiah) alam, masa dan gerak,
3) Konsep
Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya; uangkapan
ini bersifat metaforis,
4) Demonnstrasi/
pembuktian eksistensi Penciptaan alam,
5) Argumen
rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud,
6) Penolakan
akan sifat-sifat Tuhan,
7) Kemustahilan
konsep genus (jins) kepada Tuhan,
8) Wujud
Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi
9) Argumen
rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism),
10) Argumen
rasional tentang sebab dan Pencipta alam (hukum alam tak dapat
berubah),
11) Pengetahuan
Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan secara
universal,
12) Pembuktian
bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri,
13) Tuhan
tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum,
14) Langit
adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya,
15) Tujuan
yang menggerakkan,
16) Jiwa-jiwa
langit mengetahui partikular-partikular yang bermula,
17) Kemustahilan
perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa,
18) Jiwa
manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati
ruang, tidak ter pateri pada tubuh dan bukan tubuh,
19) Jiwa
manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya
mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.
20) Penolakan
terhadap kebangkitan Jasmani.
Dari
20 persoalan ini ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat
yaitu: pertama, alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal.
Filsuf-filsuf mengatakan (yang juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim.
Qadim-nya Tuhan atas alam sama dengan qadim-nya illat atas ma’lul-nya
(sebab-akibat), yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman atau
masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar